Heru Budi Hartono akhirnya dilantik sebagai Pejabat Gubernur DKI Jakarta menggantikan Anies Baswedan pada 17 Oktober 2022. Seperti telah diduga, Heru yang pernah menjadi Walikota Jakarta Utara segera batbetsatset, tancap gas membuat sejumlah gebrakan. Pertama, layanan pengaduan masyarakat secara langsung di Balai Kota kembali dibuka. Sebagaimana yang pernah sukses dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kendati sudah ada aplikasi Jakarta Kini atau Jali, layanan pengaduan ini diperuntukkan bagi warga yang ingin secara fisik datang ke Balaikota. Terutama warga yang belum familiar dengan teknologi informasi dan aplikasi pengaduan, sehingga tak ada jarak antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah benar-benar melakukan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Pemprov DKI pun berjanji, semua laporan di meja pengaduan akan diselesaikan paling lambat dalam tiga hari.
Tak hanya itu. Pemprov DKI Jakarta juga bekerjasama dengan BUMN, melakukan sinergi transportasi umum yang mencakup MRT, LRT, commuter line, kereta bandara, hingga kereta cepat Jakarta-Bandung. Berbagai moda transportasi umum di Jakarta selama ini belum bisa berjalan maksimal karena belum ada payung bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sampai di sini kita tentu bertanya-tanya, apa yang dilakukan Gubernur lama yang pandai merangkai kata-kata itu? Rangkaian kata-katanya ternyata tak dapat dipakai untuk melakukan koordinasi dengan pihak lain.
Namun gebrakan Heru Budi Hartono yang paling menohok tentu saja terkait penanggulangan banjir. Pejabat Gubernur Baru itu langsung memenuhi aspirasi warga Duri Kosambi yang menjadi langganan banjir parah di era Anies. Di sana segera dibangun tanggul Kali Semanan sekaligus penambahan jaringan air bersih oleh Perumda PAM Jaya. Pembangunan ini membuat haru warga yang selama ini merasa kurang diperhatikan Anies Baswedan. “Sebentar lagi permasalahan warga di sini teratasi. Semoga tidak ada banjir lagi di Jakarta,” kata Ketua RW 06, Kelurahan Duri Kosambi, Santoro. Hebatnya lagi, tanggul itu direncanakan akan sudah selesai pada Desember 2022 ini.
Heru Budi Hartono secara periodik juga akan melakukan pengecekan langsung di titik-titik rawan banjir. Memastikan semua kesiapan mobile pomp portable, dan rumah-rumah pompa. Pejabat Gubernur DKI Jakarta ini tahu persis, permasalahan Jakarta harus diselesaikan dengan tindakan nyata dan bukan hanya melempar untaian kata-kata.
Semua ini tentu saja menampar reputasi Anies Baswedan yang baru saja lengser. Apalagi Heru juga diketahui mulai merintis lahan parkir vertikal di titik-titik yang padat, rawan macet dan semrawut. Heru pun mulai merintis Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Kekecewaan masyarakat Jakarta terhadap Anies dimulai sejak hari pertama Anis menjadi Gubernur. Saat itu aplikasi Qlue yang sebelumnya sangat responsif dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, mendadak sulit diakses. Masyarakat merasa di bawah Anies tak ada lagi ‘keterbukaan’ alih-alih ‘jiwa melayani’ dari Pemprov DKI yang sangat terasa di era Jokowi dan Ahok.
Kejengkelan warga ini bertambah karena Anies membentuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) beranggotakan 73 orang. Anggaran untuk tim pun sangat fantastis yaitu 28 miliar rupiah. Kian hari, Anies pun terlihat makin tidak efisien dengan anggaran, bahkan mungkin ‘bermain’ dengan anggaran. Publik berulang kali marah besar, terutama saat Anies ketahuan menggunakan APBD DKI lebih dari satu milyar hanya untuk membeli lem Aica Aibon. Anies kemudian mengulanginya dengan pengadaan instalasi bambu ‘getah-getih’ dengan biaya setara bangunan bertingkat berkonstruksi baja rumit. Dalam kasus Formula E, Anies bahkan masih dalam proses penyelidikan dan terancam naik status menjadi penyidikan.
Semua indikasi penyelewengan jabatan ini membuat lengsernya Anies disambut dengan gembira oleh warga. Anies bukan saja tak mampu membangun Jakarta, namun ia punya cacat bawaan yang tak akan pernah dilupakan masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, naiknya Anies terutama karena ia membiarkan dirinya didukung kelompok-kelompok radikalias yang gemar menggunakan kampanye-kampanye SARA kepada lawan politiknya. Termasuk juga kampanye yang menggunakan ayat dan mayat. Intimidasi bagi warga yang tidak memilih Anies tidak akan dikuburkan jenazahnya. Anies menggunakan Politik identitas. Perpecahan yang ditimbulkan oleh Pilkada DKI tahun 2017 itu, belum seratus persen pulih hingga kini. Masyarakat Indonesia terpolarisasi. Tidak heran Anies dicap sebagai Bapak Politik Identitas.
Mungkin tak banyak yang tahu kepribadian asli Anies Baswedan? Saat remaja di tahun 1987, Anies pernah terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar American Field Service (AFS). Anies tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Inilah masa-masa pembentukan karakter Anies, yang kelak membuatnya menjadi cenderung western atau kebarat-baratan. Sifatnya ini terlihat sekali dari keinginannya menjadi Presiden, tanpa diikuti kemampuan untuk dekat dengan masyarakat. Anies sejak muda menunjukkan ambisi yang besar untuk menjadi Presiden dengan cara-cara ala Amerika. Mengajukan diri tanpa malu. Dalam budaya Nusantara, budaya Timur, pemimpin tak pernah mengajukan diri, melainkan dipilih. Pemimpin menunjukkan prestasi dulu, baru kemudian masyarakat beramai-ramai mencalonkannya menjadi pemimpin. Mekanisme yang telah berlaku sejak tahap Ketua RT, Kepala Desa hingga Presiden.
Di sisi lain, Anies pun tak mampu menunjukkan prestasi yang cukup bisa dibanggakan ataupun kemampuan perencanaan yang handal sebagaimana yang ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpin di Amerika Serikat, negara idolanya. Kita ambil contoh Barack Obama, sebelum terjun ke politik, ia mengukir sejumlah prestasi selama menjadi mahasiswa hukum di Harvard. Ia pun menjadi presiden jurnal bergengsi Harvard Law Review. Tak sembarangan orang bisa menjadi anggota jurnal ini. Hanya yang berprestasi akademik luar biasa, dan kita tahu betapa ketatnya penilaian akademik di sana. Lulus sekolah hukum, Obama yang mulai memutuskan berkarir di bidang politik itu mulai merintis kerja-kerja sosial bagi Partai Demokrat dari level terendah setingkat ranting.
Dan Anies Baswedan? Ia jelas sangat tidak paham karakter bangsa Indonesia, sekaligus juga tak berprestasi tinggi sebagaimana standar Amerika negeri idolanya. Ia hanya seorang ambisius, namun mencla-mencle. Tak pernah terikat satu partai, alih-alih merintis karir dari level ranting. Anies bahkan tak pernah punya arah perjuangan yang jelas. Ambil perbandingan Budiman Sudjatmiko misalnya, sedari muda BS sudah menjadi aktivis yang tak jarang membuat nyawanya diburu pemerintah Orde Baru. Mungkin masa itu Anies Cuma sibuk tebar pesona dengan para wanita.
Anies Baswedan, si mencla-mencle juga tak punya kesetiaan pada organisasi atau partainya. Di tahun 2013, Anies mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat. Ia tentu saja kalah. Berbeda dengan Jokowi yang merajai survei-survei Pilpres saat itu karena memiliki segudang prestasi, nama Anies tak dikenal masyarakat. Tak punya bukti nyata kemampuan memimpin ataupun membangun wilayah.
Diam-diam Anies pun memiliki sifat bunglon. Setelah kalah dalam konvensi Demokrat, Anies merapat ke Jokowi sambil mengkritik keras Prabowo. Ia mendadak berjubah nasionalis sekuler. Anies sempat menjadi Menteri Pendidikan saat itu. Tapi segera saja ia diganti karena kinerjanya buruk. Tak menjalankan program KIP yang menjadi prioritas pemerintah, malah sibuk pencitraan sendiri melalui gerakan antar anak ke sekolah. Anies bahkan tersangkut kasus Frankfurt Bookfair, yang menjadi bukti awal ketakmampuannya menggunakan anggaran dengan efisien dan transparan. Ketidakmampuan yang terus diulanginya saat menjadi Gubernur DKI.
Si bunglon Anies kemudian sakit hati, mengganti jubah nasionalis sekulernya dan merapat ke Prabowo. Memuji-muji Prabowo sambil mengkritik Jokowi sehingga Gerindra mencalonkannya menjadi Cagub DKI pada Pilkada 2017. Pilkada paling intoleran sepanjang sejarah Indonesia. Saat dilantik menjadi Gubernur DKI, Anies berpidato dengan muatan rasis: “saatnya pribumi berkuasa, dan Jakarta sudah merdeka sekarang.”
Mau tahu mencla-mencle Anies lainnya? Saat aktif di Yayasan Paramadina, ia dekat dengan kaum pembaharuan Islam yang kerap disebut Jaringan Islam Liberal. Belakangan setelah berganti jubah dan dekat dengan kelompok intoleran, teman-teman lamanya di Paramadina itu selalu menjadi sasaran hujatan pendukung-pendukung Anies dengan ujaran-ujaran intoleran seperti kafir, murtad dan lain-lain. Si mencla-mencle tak sedikit pun membela teman-teman lamanya.
Dan kini, sifat mencla-mencle Anies makin klop saat bertemu politikus super pragmatis Surya Paloh (SP). Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh mencalonkan Anies sebagai capres. Keduanya dipersatukan oleh kesamaan sifat yang mungkin publik tak banyak yang tahu, gemar mementingkan diri sendiri, bila perlu menjadi bunglon.
Sudah lama Partai Nasdem dianggap menjadi pemangsa brutal untuk kader penting partai-partai yang berkoalisi dengannya. Nasdem seolah tak mempunyai ideologi dalam bersikap. Politik menjadi selubung untuk memenangkan kepentingan bisnis SP dengan tujuan semata materi, memperluas jaringan bisnis dan melakukan politik transaksional yang menguntungkan konglomerasi SP. Nasdem gemar memanfaatkan celah dalam kebekuan politik, lalu tampil seolah-olah sebagai ‘Ice Breaker’ yang merasa pahlawan dan pelan-pelan memanfaatkannya untuk menekan mereka-mereka yang terlibat.
Partai-partai yang paling dirugikan atas kelakuan predator Nasdem adalah Golkar dan PAN. Golkar yang di tahun 2014 meraih suara 14,75% turun menjadi 12,31% , penurunan ini diakibatkan Nasdem merebut basis wilayah Golkar karena kader Golkar direkrut Nasdem. SP sendiri dahulunya adalah salah satu petinggi Partai Golkar. PAN sendiri banyak dirugikan karena kader PAN yang memimpin daerah kemudian dibajak ke Partai Nasdem. Pembantaian suara terhadap Golkar dan PAN oleh Nasdem dilakukan dengan sistematis dan massif di bawah komando SP.
Konon salah satu alasan SP melakukan strategi “Menggebuk Jokowi, merangkul Anies” karena banyak kadernya bermasalah saat menjabat, sehingga jika korupsi ini bocor ke publik maka Nasdem dapat perlindungan dari publik terutama dari para pendukung Anies. Hal yang sama juga dilakukan Anies terhadap kasus-kasusnya terkait APBD DKI, Anies menggunakan pendukungnya untuk menyebar fitnah bila KPK ataupun BPK memeriksanya dengan alasan politis, karena kepentingan 2024. Padahal orang buta pun tahu, meski APBD DKI yang nyaris tembus 100 Trilyun Rupiah itu tidak diikuti pembangunan yang masif ataupun program-program pemberdayaan masyarakat yang langsung berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Surya Paloh adalah gambaran orang yang memperlakukan politik sebagai bisnis transaksional. Tidak heran meski berasal dari Aceh, SP kalah total di sana. Orang Aceh sudah banyak tahu kelakuan dan sifat SP. Sesaat setelah mengumumkan akan mencapreskan Anies, terjadi eksodus besar-besaran di antara kader Nasdem. Konon sebagian besar memang sudah lama menahan diri dan berusaha sabar dengan tindakan ultra pragmatis Paloh.
Di internalnya sendiri SP sangat licik menyingkirkan orang yang tak disenanginya. Tercatat mantan Menteri Tata Ruang, Ferry Mursidan Baldan yang membangkang SP dikriminalisasi lewat isteri Ferry dalam kasus tuduhan penggelapan laporan saham pengalihan pemilik Batubara Lahat. Begitu juga dengan Rio Capella karena kedekatan Rio dengan Jokowi mengundang rasa iri SP.
Permainan politik ultra pragmatis SP dengan menggunakan Partai Nasdem ini sangat bahaya bagi perkembangan demokrasi dan hukum di Indonesia. Sifat gemar mencari keuntungan pribadi inilah yang menjadi titik persamaan SP dan Anies Baswedan. Tak ada idealisme, alih-alih jiwa kebangsaan yang rela berkorban demi nusa bangsa. Kalau bisa justru rakyat Indonesia diminta keduanya berkorban untuk mereka. Tak heran keduanya klop, saling cocok bagai tumbu ketemu tutup. Bagai jentik-jentik bertemu kubangan air.
Satu persamaan lagi, keduanya pandai merangkai kata. SP dengan jargon ‘restorasi’nya, dan Anies dengan jargon ‘tenun kebangsaan’nya. Tapi sekali lagi Indonesia membutuhkan kerja nyata. Bukan orasi ataupun omongan kosong. Kata-kata manis digunakan untuk menutup diri yang penuh ketidakmampuan. Entah jargon jahat apa yang akan dimainkan keduanya untuk membutakan mata warga.
2024 sudah dekat, kampanye pencitraan dan politik identitas bertebaran di seluruh penjuru negeri. Popularitas seorang yang pandai bercitra santun dan merangkai kata kerap menipu masyarakat kita yang polos dan gemar berprasangka baik. Mereka terbuai menjadi pendukung fanatik tanpa betul-betul mengenal sosok capres favoritnya. Adalah kewajiban kita untuk membukakan fakta pada mereka agar bisa memilih yang kompeten dan bukan hanya populer. Yang berintegritas dan bukan hanya mencla-mencle dan hanya mencari keuntungan pribadi. Hati-hati dengan mereka. Karena di balik kata-kata santunnya, kedua justru merobek tenun kebangsaan Bangsa Indonesia dan tentu saja tak mampu merestorasinya.
Nia Megalomania