Waktu masih SD sampai SMP saya sering menggambar tokoh Pangeran Diponegoro. Kalau ada kesempatan menggambar bebas di sekolah, atau mengikuti lomba-lomba menggambar, saya suka menggambar wajah Pangeran Diponegoro. Saya memang mengagumi beliau. Tokoh ini melekat di hati saya dan tentu teman-teman sekolah yang sering mendengar kisah kepahlawanannya dari guru-guru kami. Kalau bermain peran dengan teman sebaya, tentu kami memilih peran hero ini, di samping Superman dan Gundala Putra Petir.
Ketika muncul penggambaran Pangeran Diponegoro dalam lukisan Basoeki Abdullah, semakin real kami mengenali dan berfantasi tentang tokoh ini. Kostumnya yang khas, kuda tunggangannya, kerisnya, wah pokoknya keren, bagi kita anak jaman itu. Kedewasaan kami memahami nasionalisme atas bangsa ini dan semangat membela tanah air diperkenalkan lewat tokoh Pangeran Diponegoro.
Ketika beberapa kali transit di Makasar, saya ingin mengunjungi makamnya, sambil menghayati rasa keterasingan yang dialaminya, setelah dibuang jauh dari Jawa. Sayang beberapa kesempatan gagal membawa saya berziarah kemakamnya.

Di Ungaran, di depan kantor Kabupaten ketika ada tugas di sana, saya sempat terhenyak mengetahui penjara tempat penahanan beliau. Kisah penangkapannya di Magelang yang diwarnai intrik tipu daya Belanda sedikit banyak ikut menghasut nurani saya.
Di depan lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh, ketika dipamerkan di Galeri Nasional, saya merasa drama itu hidup dan menghanyutkan emosi. Bahkan anda bisa bayangkan betapa saya begitu “excited” ketika di Rijks Museum Amsterdam menemukan dan memegang langsung lukisan asli Nicolaas Pineman tentang penangkapan Pangeran Diponegoro, lukisan yang memprovokasi Raden Saleh sehingga menggubanhnya dengan versinya yang begitu berani.
Ya, sampai kapanpun Pangeran Diponegoro adalah fenomena yang mewakili pendidikan sejarah serta rasa nasionalisme saya.
Seiring usia, saya memahami arti pahlawan menjadi lebih utuh. Pahlawan adalah seseorang yang membangunkan dan menghidupkan arti nilai “jasa” dalam hidup kita. Semakin memahami pentingnya menghargai jasa orang di masa lalu dan merefleksikannya kedalam hidup kita masa kini, yang tersisa adalah nurani hormat, sebab meninggikan seseorang diperlukan sikap merendahkan hati.
Ngomong-ngomong tentang orang yang berjasa dalam hidup saya, tentu tidak bakal terlepas dari orang tua saya, maka menghormati mereka adalah keharusan bagi saya. Sebagai orang Jawa sejak kecil kami dibiasakan mengingat dan hormat kepada seluruh leluhur trah kami, bagaimanapun DNA dan rangkaian memori genetik yang ada di seluruh sel tubuh saya adalah copian DNA mereka. Pendeknya mereka adalah pahlawan yang telah berjasa bagi eksistensi saya.
Dalam rangka mengulik siapa para leluhur saya, sampailah pada sebuah dokumen yang menggelitik hati ini. Dalam satu lembarnya tertulis bahwa kakek dari kakek saya pernah memperoleh bintang tanda jasa atas pengorbanannya dalam perang menumpas pemberontakan Pangeran Diponegoro.
Hhmm…..para Pahlawan itu…
T. Sunu Prasetya












