Berani Memanggil Tommy Soeharto karena Utang 2,61 Trilyun: Akankah Perburuan Obligor BLBI Sukses?

Banyak pihak kaget karena pemerintah dengan berani memanggil Tommy Soeharto sebagai obligor alias penunggak utang BLBI. Akankah hal ini sangat mempengaruhi secara signifikan pada perpolitikan di Indonesia? Yang jelas, tak banyak yang tahu bila Pemerintah lebih berani menghadapi Cendana daripada MA dan KPK. Simak kisahnya.

Di tengah hebohnya pemberitaan tentang Taliban dan aneka politisi yang berminat pada Pilpres 2024 plus kisah gontok-gontokan para pendukungnya, tidak banyak yang tahu bila Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( Satgas BLBI) akhirnya memanggil Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto selaku Pengurus PT Timor Putra Nasional, terkait penyelesaian utang BLBI senilai Rp 2,61 triliun.

Agenda pemanggilan tersebut akan dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009, demikian pengumuman yang ditandatangani Ketua Satgas BLBI, Ronald Silaban. Pihak Satgas BLBI pun memberikan ancaman jika Tommy tidak memenuhi kewajiban penyelesaian hak tagih negara tersebut akan dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Bravo….!

BLBI merupakan dana darurat yang disuntikkan pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah setelah penutupan 16 bank pada tahun 1997 memicu serbuan para deposan Indonesia yang takut kehilangan tabungan mereka jika bank yang mereka gunakan ditutup. Situasi ini diperparah oleh devaluasi rupiah. Bank-bank mendadak kehilangan kas untuk membayar para deposan. Akhirnya pemerintah memberikan BLBI yang jumlahnya saat itu mencapai Rp 144,5 triliun.

Salah satu bank penerima BLBI adalah Bank Pesona Utama milik Tommy Soeharto yang memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun, selain itu juga masih ada sekitar 40 obligor lain. Sayang dana BLBI tersebut banyak disalahgunakan oleh para pemilik bank. Mereka menggunakannya untuk mendanai bisnis mereka yang runtuh. Ada juga yang menggunakan dana BLBI untuk spekulasi dolar dan mentransfernya ke luar negeri, sehingga memperparah devaluasi rupiah.

Hampir seperempat abad berlalu, pergantian presiden berkali-kali ternyata tak mampu membuat masalah BLBI ini selesai. Puncaknya adalah saat Mahkamah Agung tidak memutuskan masalah BLBI ini sebagai perkara pidana. Diperparah lagi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Penuntutan kasus korupsi BLBI pada 1 April 2021. Membuat kasus BLBI menjadi semakin sulit terungkap, sehingga potensi kerugian negara semakin sulit diperbaiki.

Hingga kemudian Presiden Joko Widodo membuat keputusan yang sangat berani. Jauh lebih berani dari MA dan KPK. Presiden memutuskan untuk membentuk satuan tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI untuk mengejar utang perdata BLBI, pada 6 April 2021. Satgas BLBI bertugas untuk menagih dan memproses jaminan agar menjadi aset negara. Aset BLBI yang dikejar pemerintah ini kemungkinan nilainya kini sudah naik, meski dalam perhitungan Kementerian Keuangan, total aset hak tagih dana BLBI mencapai Rp110 triliun lebih.

Tak pelak lagi keputusan Presiden Jokowi membentuk Satgas BLBI membuat keberaniannya dibanding-bandingkan dengan presiden sebelumnya. Jokowi dianggap jauh lebih bernyali. Bila SBY sudah pernah ingin mencabut subsidi BBM, tetapi tidak pernah berani, Jokowi melakukannya tanpa ragu. Tanpa peduli popularitasnya turun serta mafia-mafia di sekitarnya ribut. Dan kini, lagi-lagi Jokowi melebihi nyali SBY dengan memburu obligator BLBI.

Tidak sedikit yang meragukan keberhasilan Pembentukan Satgas BLBI untuk berburu obligor BLBI. Pakar hukum pidana pencucian uang dari Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih, mengaku pesimis Satgas BLBI bisa mengembalikan uang negara yang dikemplang oleh setidaknya 40 lebih obligor. Pasalnya, pendekatan yang digunakan Satgas adalah hukum perdata, bukan hukum pidana yang ‘lebih tegas’.

Dalam catatan Yenti setidaknya ada tiga lembaga serupa yang dibentuk pemerintah untuk memburu aset BLBI tapi gagal, di antaranya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998 dan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) pada 2004. Menurut Yenny, penggunakan upaya hukum pidana, bakal memudahkan Satgas BLBI ketika hendak melacak aset bermasalah di luar negeri, sebab Indonesia bisa meminta bantuan negara lain, yang telah menjalin perjanjian hukum pidana timbal balik (Mutual Legal Assistance), untuk membekukan kekayaan hasil kejahatan mereka. Berbeda dengan hukum perdata, yang tak memiliki upaya paksa dan tegas.

Pendapat Yenti ini ditepis Pengarah Satgas BLBI yang juga Menkopolhukam, Mahfud Md. Menurutnya, meski berstatus hukum perdata, dapat dilakukan penggunaan Gijzeling yaitu paksaan fisik untuk membayar, bagi mereka yang sengaja ingkar memenuhi kewajibannya dan obligor yang berusaha menghindari kewajibannya. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly pun meyakini, Satgas BLBI akan bekerja optimal hingga tenggat waktu pada tahun 2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan pemerintah akan melacaknya dan mengeksekusi melalui Panitia Urusan Piutang Negara serta bekerja sama dengan BI dan OJK agar akses mereka terhadap lembaga keuangan bisa dilakukan pemblokiran.

Pemanggilan Tommy Soeharto ini menjadi jawaban keraguan pada keberanian Satgas BLBI khususnya, serta pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan carut marut kasus penyelewengan keuangan yang terjadi di Indonesia. Jokowi seakan tidak peduli siapa dan reputasi orang yang akan dipanggilnya. Sederet aset Presiden kedua Soeharto dan keluarga, satu per satu sudah di tangan negara. Sebagian disita lantaran terkait kasus hukum. Sisanya diambil alih pengelolaannya. Semua dilakukan Pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2018 silam. Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sampai ke Gedung Granadi dan Vila Megamendung adalah sebagian dari aset yang diambil alih itu. Jokowi seolah tak gentar berurusan dengan nama Cendana. Harta Cendana diyakini tidak akan habis dimakan oleh tujuh generasi, trah ini pula dianggap berada di belakang banyak gerakan-gerakan intoleransi yang marak dalam era reformasi. Lumpuhnya keuangan Cendana, dianggap akan berpengaruh signifikan pada keamanan dan stabilitas politik.

Bukan kebetulan pula jika pemanggilan Tommy kali ini terjadi tak lama berselang dengan menangisnya Presiden kelima Megawati Soekarnoputri karena Presiden Jokowi begitu sering dihina. Megawati bahkan siap dibully dan berhadapan dengan seribu orang sekalipun yang membully-nya. Megawati pula tokoh yang paling disia-sia di era Orde Baru. Ia pun terbiasa dihina seperti Presiden Jokowi. Dilupakan jasa-jasanya. Adakah kaitannya, keprihatinan Megawati ini dengan semangat Presiden Jokowi dan kabinetnya untuk menuntaskan perkara-perkara yang membuat negeri ini terlibat carut-marut masalah keamanan, intoleransi dan kemiskinan?

Jika demikian, mari kita dukung Presiden Jokowi agar semakin semangat membenahi negeri, memberantas koruptor dan membasmi mereka yang bergerak untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang mengancam keutuhan NKRI, serta meninggalkan legacy besar pada bangsa ini untuk patuh pada hukum dan perundangan yang berlaku.

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *