Tradisi memberi tambahan penghasilan pada karyawan di hari raya sudah dimulai sejak era demokrasi parlementer. Tahun 1951, kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi memiliki program kerja meningkatkan kesejahteraan pamong praja, sebutan untuk PNS di awal kemerdekaan.
Masa itu para pamong praja sebagian besar adalah para priyayi, menak, kaum ningrat yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekiman ingin mengambil hati mereka. Tujuannya, agar para PNS dan keluarganya di masa itu memberikan dukungan pada program-program pemerintah. Kepada mereka kemudian diberikan THR yang saat itu disebut ‘uang tunjangan‘ di akhir bulan puasa. Tak hanya uang yang diberikan melainkan juga tunjangan beras.
Pemberian uang tunjangan hanya bagi PNS ini rupanya menjadi kabar tidak menyenangkan bagi para buruh. Menurut Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), THR yang hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta, ditentang keras terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja tidak adil, sebab mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Di tahun 1951-1952 belum ada aturan resmi pemerintah menyangkut THR. THR dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela. Dari waktu ke waktu, kaum buruh terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1952 para buruh melakukan aksi protes dan mogok kerja. Protes ini tak kunjung didengar oleh Pemerintah Indonesia.
Sementara itu, pemberian hadiah lebaran kepada PNS ini terus berlanjut. Tahun 1954 dikeluarkan dalil tentang ‘Persekot Hari Raja‘ kepada PNS dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1954. Diberikan sebesar 125 rupiah hingga 200 rupiah. Karena sebutannya adalah ‘persekot‘ alias uang muka, maka uang yang diberikan sifatnya sebagai pinjaman kepada pegawai. Para pegawai harus mengembalikannya dalam enam bulan dengan mekanisme pemotongan gaji. PNS kala itu itu juga diberikan paket berupa sembako, kebiasaan yang belakangan rupanya menjadi tradisi banyak perusahaan di Indonesia menjelang Lebaran hingga saat ini.
Bila di tahun 1954 para PNS menerima persekot hari raya, kisah buruh berbeda. Untuk mengakomodir buruh, Menteri Perburuhan S.M. Abidin dari Kabinet Ali Sastroamidjojo I di tahun yang sama mengeluarkan Surat Edaran tentang ‘Hadiah Lebaran’. Perusahaan-perusahaan diminta secara sekarela memberi hadiah lebaran sebesar ‘seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam setahun, sekurang-kurangnya 50 rupiah dan sebanyak-banyaknya 300 rupiah.’ Harga emas saat itu sekitar 12 rupiah per gram, maka hadiah lebaran yang diterima tersebut setara minimal 4 gram emas. Sekitar 4 juta rupiah dengan kurs saat ini.
Sayangnya, surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum meski sudah beredar. Para buruh pun tidak berhenti berjuang agar THR bagi mereka benar-benar diberikan sesuai aturan. Hingga akhirnya di tahun 1961, Ahem Erningpraja , Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II mewajibkan THR dibayarkan kepada para buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja.
Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 yakni lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan. Diberikan pada pegawai dengan masa kerja minimal 3 bulan atau lebih. Besarnya disesuaikan dengan masa kerja tiap-tiap pekerja.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, regulasi THR kembali diperbarui pada tahun 2016 dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Dalam aturan ini, pekerja dengan masa kerja satu bulan sudah berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya Keagamaan. THR juga diberikan kepada pegawai kontrak lepas. Bagi yang sudah bekerja setahun penuh atau lebih, besaran THR dibayarkan minimal senilai satu kali gaji. Sementara untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun, THR dibayar dengan perhitungan secara proporsional.
Bila pegawai swasta resmi menerima THR sejak tahun 1961, bagaimana dengan PNS? Sebelum era Presiden Jokowi, PNS tidak menerima THR kecuali di tahun 1969. PNS memang menerima gaji ke-13 menjelang tahun ajaran baru, agar dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah anak. Presiden Megawati menjadi presiden pertama yang menetapkan hak PNS untuk menerima gaji ke 13 setiap tahun. Sebelumnya di era Presiden Suharto, gaji ke 13 hanya pernah diterimakan tiga kali yaitu di tahun 1969, 1979 dan 1983.
Gaji yang diberikan ini sebenarnya merupakan hak yang diterima oleh PNS. Dasar pemikirannya, Indonesia menganut sistem penggajian bulanan, sedangkan negara maju umumnya menganut sistem mingguan. Kalau diselaraskan, satu bulan ada 4 minggu, setahun hanya akan dihitung 48 minggu. Padahal sebenarnya satu tahun ada 52 minggu. Selisih 4 minggu ini dijadikan ‘gaji bulan ke 13’. Besaran Gaji ke 13 sebagaimana gaji bulanan adalah sebesar gaji pokok beserta tunjangan-tunjangan lainnya.
Jika gaji ke 13 pertama kali ditetapkan Presiden Megawati, Presiden Jokowi di tahun 2016 menjadi kepala negara pertama yang memberikan fasilitas THR resmi setiap tahun kepada PNS. Besarnya minimal sebesar gaji pokok. Selanjutnya THR ini disebut gaji ke 14. Di tahun itu pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 7 persen, dan efisiensi yang dilakukan dalam melaksanakan pemerintahan telah membuat anggaran negara memungkinkan pemberian gaji ke 14.
Lalu bagaimana PNS di masa lalu menutup kebutuhan hidupnya yang berlipat setiap hari raya. Cerita ini menjadi bagian kisah kebersahajaan PNS dari masa ke masa. Tak mampu berlebaran dengan meriah sebagaimana pegawai-pegawai swasta. Yang menjadi pengharapan untuk hari raya adalah Sisa Hasil Usaha dari Koperasi yang sering dibagikan menjelang hari raya.
Meski gaji ke 14 adalah prestasi Presiden Jokowi untuk mensejahterakan aparatur negara, seringkali PNS justru mengeluh bila gaji PNS di era Jokowi nyaris tak pernah naik. Mereka lupa apa yang diberikan sebagai gaji ke 14 itu, mungkin besarannya jauh lebih besar dari kenaikan gaji yang diterima selama setahun karena kenaikannya biasanya hanya di bawah 10 persen. Bahkan di tahun 2022 ini, PNS menerima gaji ke 14 ditambah 50 persen tunjangan kinerja.
Selama pemerintahan Jokowi, gaji PNS hanya mengalami kenaikan dua kali, yaitu di tahun 2015 dan 2019. Besarannya pun sama yaitu 5 persen. Di era Jokowi juga, tunjangan kinerja berhasil diberikan kepada semua PNS, baik pusat maupun daerah. Sekali lagi, tak banyak PNS yang menyadari ini.
Presiden SBY tercatat menaikan gaji PNS hingga 9 kali, yang secara kumulatif dijumlahkan mencapai 143 persen. Namun rekor kenaikan gaji tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada era Presiden Gus Dur. Tepatnya pada tahun 2001 dengan kenaikan mencapai 270 persen. Hampir tiga kali lipat.
Presiden Megawati Soekarno Putri hanya sekali menaikkan gaji PNS namun dengan besaran yang cukup signifikan. Mencapai 15 persen ditambah gaji ke 13. Presiden BJ Habibie tak sempat menaikkan gaji PNS, karena saat itu Indonesia sedang berjuang melewati krisis moneter dan hanya memimpin Indonesia selama satu tahun.
Angka kenaikan gaji yang dinaikan Presiden Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya adalah 73 persen. Jika ditotal sejak era Soeharto, maka PNS telah mengalami kenaikan gaji sebanyak 13 kali dengan total kenaikan mencapai 507 persen. Namun angka tersebut jangan dilihat dengan fantastis, sebab angka inflasi sejak 1966 hingga kini jauh melampai angka tersebut. Bahkan di awal Orde Baru tahun 1966, inflasi sudah tembus 600 persen. Meski gaji PNS tak pernah turun, namun tentu saja nilai riilnya tak meningkat sedrastis angka 500 persen sebagaimana kenaikan sejak awal era Orde Baru.
Yang sering dijadikan perbandingan para PNS tentu saja era SBY dan Jokowi. Sebagian PNS menganggap era SBY sebagai era keemasan. Karena kenaikan gaji cekup sering. Menyebabkan mereka selalu bisa menaikkan pagu kredit di Bank. Bagaimana sejatinya?
Mari kita andaikan gaji PNS sebesar 3 juta rupiah sebulan. Dalam sepuluh tahun era SBY, besarnya gaji yang diterima adalah 4,29 juta per bulan. Di era Jokowi perhitungan menjadi sedikit lebih rumit karena harus mempertimbangkan jumlah gaji yang diterima setahun, meliputi penerimaan 14 kali dan tunjangan kinerja. Andai tunjangan kinerja dianggap diterima sejak 2018, besarannya dipukul rata 50 persen, maka nilai gaji pada hari ini jatuh di kisaran 4,6 juta rupiah. Ada perbedaan sekitar 300 ribu rupiah lebih besar dari era SBY. Ini masih ditambah fakta bahwa tunjangan kinerja rata-rata jauh di atas 50 persen gaji.
Mungkin tak banyak yang paham fakta ini, dan terus saja mencerca. Tetapi mungkin seperti ucapan salah satu tokoh kemerdekaan, Mr. Kasman Singodimedjo:
“Een leidersweg is een lijdensweg, leiden is lijden…”
(Jalan seorang pemimpin adalah jalan penderitaan, memimpin adalah menderita)
Vika Klaretha Dyahsasanti