Elektabilitas Jokowi Tertinggi: Capres Lain Ke Mana Aja?

Lagi-lagi Jokowi menguasai survei. Dalam survei yang dirilis Populi Center pada 24 April 2024, elektabilitas Jokowi mengungguli para capres yang banyak digadhang-gadhang masyarakat: Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Selama tiga tahun berturut-turut survei tersebut, Jokowi selalu berada di puncak klasemen elektabilitas. Survei Populi Center itu juga mencatat bahwa kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi pun masih tinggi, 62 persen….

Belakangan ini memang cukup gaduh berita-berita yang membuat prihatin. Demo mahasiswa menolak tiga periode yang berakhir dengan pemukulan Ade Armando, hingga mahal dan langkanya minyak goreng, misalnya. Herannya kegaduhan dalam negeri ini, ternyata tidak juga membuat elektabilitas Jokowi menyurut.

Hasil survei itu bisa membuka mata kita pada banyak hal. Masyarakat masih meragukan calon-calon presiden yang ada! Catat, masyarakat masih ragu. Bisa jadi karena mereka dianggap kurang berprestasi, kurang meyakinkan, sehingga masyarakat ragu.  Bisa jadi juga karena mesin-mesin politik para kandidat presiden itu belum berjalan penuh mengkampanyekan, sehingga prestasi-prestasi sang calon belum terlihat. Atau justru sebaliknya, terlalu panas, terlalu semangat hingga masyarakat menganggapnya lebay.

Terlepas dari itu semua, artinya Jokowi telah membuat standar prestasi menjadi cukup tinggi untuk presiden-presiden berikutnya, sehingga sulit dicari penggantinya saat ini. Jokowi tercatat sebagai presiden yang paling masif dalam membangun infrastruktur. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, penambahan dan kemajuan infrastruktur Indonesia telah melesat tajam.

Masih ada banyak prestasi lain. Bantuan sosial misalnya. Ada banyak bantuan sosial di era Jokowi, mulai dari Kartu Indonesia Pintar, BST, PKH, bantuan bagi pekerja di masa pandemi, hingga yang terbaru BLT Migor. Meski SBY dianggap Bapak Bansos Indonesia, karena di era SBY pertama kali ada bantuan sosial tunai, tetapi sebenarnya bansos di era Jokowi lebih beraneka ragam. Hebatnya lagi, bansos di era Jokowi berlaku sepanjang tahun. Selalu ada, termasuk juga bantuan bagi UMKM. Sementara SBY disinyalir banyak memberikan bansos hanya menjelang Pemilu 2009, sehingga dianggap digunakan untuk menarik massa agar terpilih kembali.

Terlepas dari itu semua, kegiatan bansos di era Jokowi, berhasil membuat database yang lengkap, sehingga bukan saja selalu update, melainkan juga dapat dipertanggungjawabkan dengan cepat siapa-siapa penerimanya. Bantuan pun menjadi cepat dan siap dikeluarkan sewaktu-waktu.  Berbeda dengan era sebelumnya, setiap keputusan bantuan ditetapkan, akan diikuti dengan keributan berlarut-larut untuk menentukan siapa yang berhak menerimanya. Dan keributan ini terjadi di setiap lini, mulai dari yang tertinggi setingkat kementerian, hingga level RT yang terendah. Semuanya karena tidak ada database dan juga survei periodik  oleh tim independen. Pemerintah hanya memberikan rambu dan indikator-indikator tentang warga yang dianggap layak menerima bantuan. Jokowi telah memulai semua ini dengan program PKMS semasa masih menjabat Walikota Solo.

Saat pandemi, kehandalan dan keterbiasaan berdigital dan membangun database itu sangat membantu sekali dalam penanganan penyebaran virus Covid-19. Negara-negara maju, di awal pandemi, sangat mencemaskan negara-negara dunia ketiga karena dianggap tak terbiasa bekerja dengan database yang handal. Tetapi pemerintahan Jokowi cukup sigap. Bukan hanya berhasil membangun big data tentang siapa-siapa yang positif terkena virus Covid, melainkan juga membangun sistem yang handal dalam mempercepat program vaksinasi. Keraguan negara-negara maju terjawab, bahkan mereka mengacungkan jempol karena Jokowi mampu memadukan sistem digital dan pemberdayaan masyarakat.

Selama pandemi, masyarakat dilibatkan untuk aktif melakukan gotong royong dalam membantu kasus-kasus Covid di lapangan, terutama dengan mendata, melaporkan dan membantu serta memfasilitasi warga selama karantina. Program vaksinasi pun melibatkan masyarakat agar aktif mendaftarkan warganya. Pemberdayaan masyarakat ini menjadi jembatan bagi warga yang kurang familiar dengan internet dan hal-hal digital. Pada akhirnya, Program Peduli Lindungi, menjadi rintisan big data kesehatan masyarakat. Kelak, bila ada wabah penyakit lagi, segala sesuatunya lebih bisa diprediksi dengan adanya big data kesehatan.

Untuk keberhasilannya menangani pandemi ini, dunia memuji Jokowi. Kishore Mahbubani, mantan Presiden Dewan Keamanan PBB (2001-2002) yang juga peneliti pada Asia Research Institute of the National University of Singapore bahkan menulis artikel khusus berjudul The Genius of Jokowi.  Jokowi menurutnya patut menjadi role model bagi good governance di banyak negara. 

Tak banyak yang sadar bila Presiden Jokowi melakukan inovasi lain di bidang kesehatan. Melalui Menteri Kesehatan, Jokowi melakukan perombakan dalam struktur organisasi di tubuh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan menambah satu direktorat, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Tenaga Kesehatan. Ditjen ini bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang tenaga kesehatan, termasuk norma dan SOP tenaga kesehatan, serta pengawasan dan kode etik nakes. Diharapkan tak akan ada lagi kasus dimana organisasi profesi semena-mena memperlakukan karir seseorang.

Pembentukan Ditjen Nakes ini juga menyikapi kekurangan dokter dan nakes serta distribusinya yang tak merata. Indonesia harus mengejar ketertinggalan untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 100.000 dokter. Dengan peningkatkan kapasitas lulusan dokter menjadi 12 sampai 15 ribu orang pertahun, target ini diperkirakan akan terpenuhi dalam 9 tahun. Caranya dengan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, seluruh pendidikan tinggi kedokteran, serta mengupayakan dokter-dokter Indonesia di luar negeri agar mau berpraktek di Indonesia.

Mengapa harus Ditjen baru, karena tanpa adanya satu instansi khusus, maka masalah nakes ini tidak akan menjadi prioritas, mengingat sudah cukup banyaknya beban kerja di Ditjen-ditjen lain.

Tak cukup di situ, Pemerintah Jokowi melalui Menteri Kesehatan juga akan memberikan vaksin anti kanker cervix gratis atau Human Papilloma Virus (HPV) di tahun 2022 ini. Sebagai tindakan preventif dan pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar, mengingat angka kematian akibat kanker cervix ini cukup tinggi.


Bila ada yang perlu dipelajari dari Jokowi bagi para politisi yang berminat menjadi presiden di tahun 2024, tentu saja keberpihakan pada rakyat kecil. Mereka yang paling lemah dan terpinggirkan. Kita bisa melihat dari kasus batubara dan yang terbaru minyak goreng. Bagaimana Jokowi melarang ekspor minyak sawit mentah, meski harga di dunia sedang tinggi. Ini mencegah pengusaha hanya menjual di luar negeri saja, demi mengejar untung sebesar-besarnya. Minyak goreng menjadi langka dan mahal di dalam negeri. Rakyat kecil menjadi korban. Pada kasus batubara, tingginya harga di luar negeri membuat semua pengusaha batubara memilih ekspor dan akhirnya PLTA kekurangan pasokan. Listrik byar pet akibatnya. Jokowi tegas melarang ekspor batubara hingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

Sikap-sikap itu pula yang menunjukkan sifat lain Jokowi. Nasionalis atau berjiwa kebangsaan. Ia berani membubarkan ormas yang kerap melakukan tindakan intimidatif berbau SARA dan intoleransi. Demi keutuhan NKRI. Nasionalismenya tak hanya di situ saja. Di saat dunia mengalami krisis energi, dan harga banyak bahan mentah penting naik, Jokowi memilih mengutamakan pasokan dalam negeri. Memulai membangun industri hilir sehingga Indonesia tak hanya menjadi negara yang hanya bisa menjadi pengekspor bahan baku.

Berpihak pada kemakmuran rakyat dan berjiwa kebangsaan yang kuat,  mungkin itu itu yang harus diteladani mereka-mereka yang berminat menjadi kontestan pemilihan presiden 2024. Apalagi temuan survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)pada 21 April 2022, menunjukkan pemilih umumnya memiliki orientasi politik kebangsaan, bukan politik berbasis agama. Dalam hal ini Islam, sebagai agama mayoritas.

Dalam presentasinya, Saiful menjelaskan bahwa dalam skala 0-10, di mana makin mendekati 0 makin berorientasi politik kebangsaan, dan 10 makin berorientasi politik Islam, pemilih Indonesia memberikan skor pada diri mereka 4,62. Ini menandakan bahwa warga secara umum berorentasi politik kebangsaan. “Secara nasional, pemilih Indonesia, dalam spektrum Islam dan nasionalis, cenderung ke nasionalis,” kata Saiful.

Pada survei ini, pemilih Indonesia juga memberikan penilaian seberapa berorientasi politik kebangsaan atau politik Islam partai-partai politik. Yang paling berorientasi kebangsaan adalah PDIP, dan yang paling berientasi politik Islam adalah PKS. Partai-partai yang cenderung lebih Islam adalah PKS, PPP, dan PKB. Sementara yang nasionalis adalah PDIP, Golkar, Nasdem, Demokrat, Gerindra. PAN cenderung di tengah.

Temuan ini menguatkan survei  Lembaga Survei Indonesia (LSI) di tahun 2019 tentang tren penguatan keyakinan bahwa Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara yang paling baik. Berdasarkan temuan survei LSI, mayoritas warga Muslim meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah yang terbaik bagi kehidupan bangsa. Jumlahnya mencapai 86,5 persen. Hanya 4 persen yang merasa dasar negara ini bertentangan dengan agama. Mayoritas warga lebih suka menganggap diri mereka sebagai warga negara Indonesia, yakni sebesar 66,4 persen. Hanya 19,1 persen yang lebih suka menganggap diri sebagai umat agama tertentu. Artinya, identitas kebangsaan (nasionalisme) warga Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan identitas keagamaan dan kesukuan,

Sampai di sini paham kan mengapa Jokowi masih yang tertinggi elektabilitasnya? Mau segera jadi RI 1 di tahun 2024? Tiru Jokowi: tunjukkan prestasi dan jauhi politik identitas. Lebih dari itu, berjiwa kebangsaan dan berpihaklah pada sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ini kalo pengen menang lho…

Iwan Raharjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *