G30S/PKI: Sejarah Mencekam dan Refleksi Kekinian

Indonesia, negara penuh peristiwa sejarah. Rentetan peristiwa sejarah di Indonesia memberi andil terbentuknya negara ini. Peristiwa demi peristiwa terjadi sejak masa kolonial, pendudukan, sampai pascakemerdekaan Indonesia. Tentunya, setiap sejarah menorehkan kesan mendalam bagi rakyat pada zamannya. 

Gerakan 30 September salah satunya, atau yang dikenal dengan G30S/PKI. Istilah G30S/PKI ini muncul pada tahun 1966. Dengan menambahi kata ‘PKI’ di belakangnya setelah adanya penafsiran tunggal terkait dalang dalam kudeta ini. Dicatat dalam berbagai media, PKI dianggap sebagai aktor utama dalam gerakan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Namun, benarkah memang PKI atau ada oknum lain yang memanfaatkan aksi ini? Inilah salah satu polemik tentang G30S/PKI.

Sedikit mengulik tentang komunis. Wah, apa kabar ya ideologi komunis pada masa kini? Jangan-jangan isu PKI dan komunis masih menjadi komoditas politik untuk saat ini. Padahal faktanya, ideologi komunis sudah tidak laku lagi. China dan Rusia yang notabene negara komunis kini sudah berubah menjadi kapitalis. Kehidupan beragama, termasuk Islam, berkembang baik di sana.

Dan ternyata, fakta ini pun tetap saja masih memunculkan kegamangan bagi sekelompok orang. Masih ada ketakutan bagi kelompok tertentu kalau-kalau PKI dan komunisme masih eksis dengan bebasnya. Masa sih? Jelas-jelas ideologi mereka sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini. PKI sudah mati! Atau, bisa jadi mereka hanya sekadar ingin punya musuh bersama? Siapa saja boleh menduga! Namun yang jelas, G30S/PKI pada masa itu membawa pengaruh komunisme yang cukup kental.

G30S/PKI menjadi peristiwa sejarah yang begitu membekas bagi bangsa ini. Meski berupa sejarah, yang seharusnya kita semua tidak mempersoalkannya, faktanya peristiwa G30S/PKI ini tetap dirasa ada kejanggalan di sana-sini. Saking membekasnya, sampai-sampai banyak pihak mengulik peristiwa ini dalam beragam sudut pandang. Ada Bennedict Anderson, Ruth T. Mcvey, dan beberapa sejarawan lainnya dari negeri ini sempat membedah peristiwa ini sesuai perkiraan mereka.

Banyak media telah mengupas tentang DN Aidit, pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, tokoh-tokoh penting lainnya yang tersorot dalam peristiwa ini, seperti Kolonel Abdoel Latief, Untung Syamsuri, Sjam Kamaruzaman, Sujono, Supono. Tidak terkecuali Presiden Soekarno yang mungkin tidak mengira jika aksi yang mengubah garis sejarah Indonesia ini berasal dari PKI. Banyak juga ulasan mengenai penyebab tercetusnya gerakan 30 September, berita 6 jenderal dan 1 perwira yang menjadi korban dari aksi makar ini, hingga sumur lubang buaya tempat ketujuh jasad pahlawan revolusi dibuang.

Apa yang jarang dibahas ketika mengulik kembali peristiwa bersejarah ini? Media! Pada tahun 1960-an, media yang krusial adalah surat kabar dan radio. Pada tahun ini pulalah istilah “media baru” (new media) juga mulai digunakan. Denis McQuail menekankan tentang ciri utama media baru adalah saling terhubung, memberi akses kepada pengirim maupun penerima pesan, interaktif, memiliki ragam guna sebagai karakter dan sifat yang terbuka.

Bagaimana andil media dalam peristiwa G30S/PKI kala itu? Radio Republik Indonesia (RRI) berperan penting untuk merebut simpati masyarakat Indonesia pada masa itu. Ketika G30S/PKI terjadi, kantor berita RRI sempat dikuasai oleh PKI. Dengan cepat, mereka melakukan siaran gelap atas nama Gerakan 30 September. Mereka menyiarkan bahwa Dewan Revolusi Indonesia telah terbentuk, kabinet Dwikora bentukan Presiden Soekarno dinyatakan demisioner, dan semua pangkat ketentaraan di atas letkol ditiadakan.

Semuanya itu mereka siarkan dengan dalih untuk menyelamatkan negara Indonesia dari adanya dewan jenderal, yang dianggap sebagai gerakan subversif yang mendapat dukungan dari CIA untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Selain RRI, ada pula surat kabar Kebudajaan Baru, Harian Rakjat, Warta Bhakti, dan Gelora Indonesia yang ikut andil dalam penyebaran pemberitaan ini. 

Media pada hakikatnya berperan dalam mengonstruksikan realitas. Dalam artian, konten suatu media merupakan hasil dari pekerja-pekerja media yang mengonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, termasuk realitas politik. Karena sifat dan faktanya bahwa media massa berperan untuk menceritakan peristiwa, maka seluruh konten media merupakan constructed reality, realitas yang telah dikonstruksikan. Bisa dikatakan bahwa pembuatan berita dalam suatu media pada dasarnya hanyalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980). 

Nah, yang menjadi pertanyaannya apakah setiap pemberitaan di media menghadirkan berita yang selalu sesuai fakta? Belum tentu. Bisa jadi ada beberapa aspek yang sebenarnya dikaburkan supaya aspek yang diinginkan dapat lebih ditonjolkan dan dapat memengaruhi opini masyarakat. Bahkan, radio pun bisa diperlakukan demikian. Mengulik kembali peristiwa G30S/PKI, pemanfaatan radio ketika menyerukan siaran gelap dari oknum PKI pastilah hanya untuk menonjolkan kepentingan PKI dan sedapat mungkin menggiring opini masyarakat untuk mencapai pemahaman yang sama dengan konten siaran. 

Intinya, media seharusnya dapat membantu membuka pikiran publik, memberikan paradigma yang benar dan mengarahkan pada kemajuan. Namun, ternyata tidaklah selalu demikian. Tentang peliknya peristiwa sejarah, mana yang benar dan mana yang dibelokkan atau disimpangkan, biarlah masyarakat yang akan menilai dan mencari tahu kebenaran fakta sejarah yang disebarluaskan.

Sedikit terusik dengan realitas politik saat ini. Jika dulu peristiwa G30S/PKI hanya didukung oleh radio dan surat kabar, yang mampu membuatnya membahana di seantero republik ini, kini kondisi politik kita bukankah akan lebih lagi? Mungkin tak hanya membahana, tetapi menjadi ajang untuk dikritisi dalam berbagai sudut pandang. Dengan banyaknya jalur sekarang ini, mungkin radio akan menjadi urutan kesekian untuk dijadikan pilihan.

Asyik ya zaman ini, akses dan kesempatan untuk menggiring opini dan massa sangat terbuka lebar. Apa jadinya ya jika ulah oknum-oknum yang terlibat dalam G30S/PKI waktu itu terendus media sosial? Atau, beberapa wajah tokoh PKI tersebar di Tik Tok? Atau, rapat tokoh-tokoh perancang G30S/PKI di rumah Kapten Wahjudi di Jalan Sindanglaja nomor 5 terekam oleh citizen jurnalism dan tersebar di WhatsApp atau Telegram? Pasti ceritanya akan lain. 

Internet dan beragam jalur yang disediakannya sangat potensial. Hanya, jika kita menggunakannya dengan sembarangan, pasti dampaknya tidak akan pernah bisa dilupakan. Jejak digital sangat-sangat nyata! Tidak hanya G30S/PKI yang akan menjadi sejarah yang membekas bagi rakyat Indonesia. Dunia perpolitikan sekarang ini pun bisa jadi sejarah yang membekas bagi “warga digital”. 

Jika pada tahun 1960-an masyarakat dan TNI sempat dibuat bingung oleh siaran RRI dari PKI, kini warga digital juga bingung dengan tsunami politik yang membawa gelombang di sana-sini. Jika selama ini menjadi pemerhati politik, gelombang pasang surut politik tetap akan bisa dinikmati ketika surfing. Sudah terbiasa. Sudah tahu alurnya. Sudah tahu celah-celahnya.

Namun, bagi kaum awam, tsunami politik ini akan bisa menghanyutkan kaum awam dalam opsi-opsi impulsif: tidak peduli politik, yang pada akhirnya tidak akan peduli siapa yang akan menjadi pemimpin negeri ini; tidak peduli politik, yang pada akhirnya akan ikut-ikutan arus tanpa tahu elektabilitas seseorang; dan yang terakhir hanya akan menerapkan batasan sempit (dari aspek pikiran sendiri atau batasan agama) untuk dijadikan patokan dalam memutuskan sesuatu.

Ahli sejarah pertama dunia berkebangsaan Yunani, Herodotus, yang mendapat julukan Bapak Sejarah (The Father of History) menekankan bahwa sejarah tidak berkembang ke arah depan dengan tujuan yang pasti, melainkan bergerak seperti garis lingkaran yang tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia. Peristiwa sejarah di Indonesia, termasuk G30S/PKI, juga merupakan lingkaran yang keabsahannya pun tergantung dari siapa yang memaparkan atau dari sudut pandang mana yang ingin diperdalam. Sejarah apa lagi yang akan ada di Indonesia dalam era digital ini? Adanya tsunami digital, tsunami informasi, dan tsunami politik, apa yang akan Anda torehkan bagi negeri ini? Sejarah yang membuat senyum mengembang atau sejarah yang terus mencekam dari generasi ke generasi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *