Gagal Paham Walikota Pariaman Terhadap SKB 3 Menteri

Terbitnya Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada 3 Februari 2021 menjadi titik balik yang penting dalam mengakhiri praktik-praktik intoleransi di sekolah-sekolah negeri.

Titik balik dalam mengakhiri praktik intoleransi itu dirumuskan dalam 5 poin dengan pengecualian terhadap provinsi Aceh, yaitu :
1. Penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhasan agama tertentu adalah HAK pribadi.
2. Pemerintah Daerah dan Sekolah memberikan kebebasan bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk memilih. Dengan kata lain Pemerintah Daerah dan Sekolah memberikan jaminan hak menggunakan pakaian seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhasan agam tertentu terpenuhi.
3. Pemerintah Daerah dan Sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
4. Dalam waktu 30 hari kerja (batas waktu sampai dengan tanggal 16 Maret 2021), pemerintah daerah dan/atau kepala sekolah wajib mencabut segala bentuk aturan sampai himbauan tertulis di lingkungan sekolah yang berada dalam kewenangannya yang bertentangan dengan Keputusan Bersama.
5. Penerapan sanksi disiplin, teguran, penghentian bantuan atau sanksi lainnya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Genius Umar, Walikota Pariaman, Sumatera Barat menolak SKB tertanggal 3 Februari 2021 tersebut dengan mengajukan poin-poin keberatan sebagai berikut :
1. Di kota Pariaman, 99,96% masyarakatnya adalah islam dan pemakaian jilbab sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal di daerahnya.
2. Tidak pernah ada kasus penolakan pemakaian seragam sekolah yang identik dengan agama Islam di kota Pariaman. Genius Umar menyatakan aturan berpakaian di sekolah yang telah ada di Kota Pariaman selama ini akan tetap diteruskan.
3. Akan terjadi kerancuan apabila Pemerintah kota Pariaman menerbitkan edaran lagi tentang aturan berpakaian di sekolah yang telah ada selama ini. Pemakaian jilbab merupakan salah satu kearifan lokal yang menjadi hak otonomi daerah, dan tidak bisa disamakan satu daerah dengan daerah lainya.
4. Salah satu tujuan nasional pendidikan kita adalah pendidikan karakter. Dengan adanya aturan atau SKB 3 Mentri ini, seakan memisahkan pendidikan umum dengan pendidikan agama, dan pemerintah kota Pariaman tidak menginginkan hal tersebut. Jadi menurut pemerintah kota Pariaman, SKB 3 Menteri ini tidak perlu diterbitkan.

Mari kita telaah satu per satu poin-poin keberatan yang disampaikan oleh Walikota Pariaman

1. Di kota Pariaman, 99,96% masyarakatnya adalah islam dan pemakaian jilbab sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal di daerahnya. Dengan mengemukakan data 99,96% warga kota Pariaman beragama islam, GU berupaya menunjukkan korelasi sebab akibat jilbab menjadi atribut pakaian umum. Tingginya prosentase masyarakat yang beragama islam berbanding lurus dengan makin banyaknya wanita yang berjilbab. Jilbab dianggap sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal di kota Pariaman. Benarkah demikian ? Untuk menanggapi pernyataan tersebut, kita perlu terlebih dahulu memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan kearifan lokal / local wisdom atau local genius.

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai seperangkat nilai, pranata adat, pandangan, cara hidup dan sikap suatu masyarakat lokal yang dianggap baik, arif dan bijaksana, yang terbentuk karena pemahaman yang mendalam akan lingkungan setempat yang diwariskan turun-temurun, diinternalisasi dan dihayati oleh masyarakatnya dalam berinteraksi dengan alam lingkungan sekitar dan sesamanya supaya tercipta relasi dan kohesi sosial yang baik dan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.

Beberapa contohnya dari kearifan lokal untuk mengelola sumber daya dan melestarikan lingkungan hidup ialah : Kaombo di Desa Wali, Pulau Binongko, Sulawesi utara, yakni larangan mengeksploitasi sumber daya alam di daratan atau di lautan. Kemudian ada hukum adat Sasi di Maluku, yakni larangan memasuki, mengambil, atau melakukan sesuatu dalam kawasan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Contoh terakhir adalah Hutan Santri yang pengelolaannya melibatkan masyarakat Dusun Nogosari, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Pengelolaan Hutan seluas 160 Hektar tersebut dimotori oleh Pesan-Trend Ilmu Giri yang menitikberatkan pada nilai-nilai spiritualitas agama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan kearifan lokal. Ada pula kearifan lokal untuk menjaga dan merawat relasi dan kohesi sosial, misalnya Pasola, sebuah ritual perang adat dengan saling melempar lembing (tumpul) di atas kuda di Sumba Barat. Ritual ini digunakan sebagai sarana penyaluran hasrat kekerasan masyarakat pendukungnya sehingga membuat hubungan sosial menjadi lebih harmonis.

Kearifan lokal biasanya bersifat khas, non-formal dan lesan. Apabila atribut pakaian jilbab diklaim sebagai sebuah kearifan lokal, maka seharusnya GU tidak perlu khawatir segala jenis kewajiban berjilbab yang diatur secara formal dalam produk-produk hukum baik di sekolah negeri dan pemerintah daerah dihapus. Sebab meskipun aturan formal kewajiban berjilbab dihapus, siswi mengenakan jilbab bukan karena paksaan lagi melainkan karena keputusan bebasnya. Bagaimana jika dengan adanya pelarangan kewajiban pemakaian jilbab, jumlah siswi yang mengenakan jilbab berkurang secara signifikan ? Itu tidak serta merta membuktikan bahwa berjilbab di Kota Pariaman bukanlah kearifan lokal melainkan banyak yang terpaksa mengenakan jilbab karena takut akan dikenai sanksi dan konsekuensi lainnya yang memberatkan.

2. Tidak pernah ada kasus penolakan pemakaian seragam sekolah yang identik dengan agama Islam di kota Pariaman. Genius Umar menyatakan aturan berpakaian di sekolah yang telah ada di Kota Pariaman selama ini akan tetap diteruskan. Ini tentu klaim yang perlu diselidiki lebih jauh kebenarannya. Bisa jadi kelompok masyarakat yang merasa dirugikan tidak berani menyampaikan penolakan secara terbuka karena takut menerima intimidasi, diskriminasi maupun dipersulit dalam kegiatan studinya. Dan Genius Umar mengonfirmasi bahwa aturan pemakaian seragam sekolah yang identik dengan agama Islam memang diberlakukan dengan mengabaikan SKB 3 Menteri.

3. Akan terjadi kerancuan apabila Pemerintah kota Pariaman menerbitkan edaran lagi tentang aturan berpakaian di sekolah yang telah ada selama ini. Pemakaian jilbab merupakan salah satu kearifan lokal yang menjadi hak otonomi daerah, dan tidak bisa disamakan satu daerah dengan daerah lainnya. Alasan yang disampaikan oleh GU sangatlah tidak berdasar. Yang tertuang SKB 3 Menteri sangat gamblang dan jelas. Tidak boleh lagi pemerintah daerah dan sekolah campur tangan perihal seragam yang akan dipakai apakah dengan kekhasan agama tertentu atau tidak. Negara memberikan jaminan kebebasan bagi individu peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk memilih tanpa ada paksaan dari pemerintah daerah dan sekolah. Maka konsekuensinya, segala aturan yang dibuat oleh pemda dan sekolah yang bertentangan dengan SKB 3 Menteri wajib dicabut. Sekali lagi apabila pemakaian jilbab merupakan salah satu kearifan lokal, maka pemaksaan ataupun (kalau ada) pelarangan secara formal terhadap individu untuk memakainya justru bertentangan dengan nilai-nilai kearifan itu sendiri. Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan di kanal media sosial, GU menjustifikasi penolakannya terhadap pemberlakuan SKB 3 Menteri dengan merujuk pada otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tanpa merinci pasal, ayat dan penjelasannya.

4. Salah satu tujuan nasional pendidikan kita adalah pendidikan karakter. Dengan adanya aturan atau SKB 3 Menteri ini, seakan memisahkan pendidikan umum dengan pendidikan agama, dan pemerintah kota Pariaman tidak menginginkan hal tersebut. Jadi menurut pemerintah kota Pariaman, SKB 3 Menteri ini tidak perlu diterbitkan. Alasan yang dikemukakan oleh GU tidak masuk akal. GU gagal memahami atau tidak ingin paham tentang semangat yang mendasari terbitnya SKB 3 Menteri, yaitu mengikis habis diskriminasi dan intoleransi di sekolah-sekolah negeri sehingga sekolah negeri menjadi ruang belajar yang nyaman sekaligus ruang perjumpaan untuk merajut persaudaraan. Pemerintah Daerah dan Sekolah harus mampu menjadi pengayom dan penyelenggara pendidikan yang profesional, toleran, adil dan tidak diskriminatif. Penghapusan kewajiban ataupun larangan menggunakan pakaian dan atribut kekhasan agama tertentu di sekolah negeri adalah kebijakan nyata untuk menyapu bersih diskriminasi dan intoleransi keluar dari ruang-ruang belajar publik.

Dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh Walikota Pariaman, ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dan direkomendasikan :
1. Walikota Pariaman gagal menggunakan akal sehatnya dalam memahami SKB 3 Menteri.
2. Walikota Pariaman gagal menempatkan dirinya sebagai pejabat publik. Ia cenderung memposisikan dirinya sebagai sosok politisi.
3. Walikota Pariaman mengabaikan fakta bahwa pemaksaan penggunaan pakaian dan atribut dengan kekhasan agama tertentu merupakan praktek-praktek intoleransi dan diskriminasi.
4. Patut diduga Walikota Pariaman merupakan bagian dari pihak yang berkontribusi terhadap berlangsungnya praktek-praktek intoleransi dan diskriminasi.
5. Penolakan Walikota Pariaman secara terbuka terhadap SKB 3 Menteri adalah bentuk pembangkangan atau insubordinasi. Oleh sebab itu sudah selayaknya Kementerian dalam Negeri memberikan sanksi yang tegas.

Efek Dunning-Kruger bisa mengenai siapa saja tidak terkecuali Walikota Pariaman. Dengan secara terbuka dan percaya diri menolak SKB 3 Menteri padahal argumentasi yang dibangunnya banyak yang lemah dan bengkok, Genius Umar memperlihatkan bias kognisinya. Itulah cerminan sosok Walikota Pariaman saat tampil di media sosial dan publik menyoal SKB 3 Menteri.
Donald Trump, Sir, you’re not alone !

Ditulis oleh Musa Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *