Hakim Agung Artidjo Alkostar, Musuh Besar Para Koruptor Itu Sudah Tiada

Artidjo Alkostar, sang Hakim Agung fenomenal itu meninggal dunia kemarin. Meninggalkan kedukaan mendalam bagi masyarakat Indonesia. Entah kapan lagi kita menemukan sosok penegak hukum yang begitu lurus, sekaligus begitu bersahaja.

Nama Beliau melegenda karena dua hal: lurus dan begitu bersahaja. Kesan lurus pada diri Beliau bukan hanya berarti tidak dapat dibelokkan, namun juga bisa diartikan sebagai teguh membela nilai-nilai yang benar. Teguh membela keadilan. Seseorang yang sangat jelas moral dan arah perjuangannya. Dan itu semua terlihat jelas dalam rekam jejak karirnya.

“Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor,” demikian unggahan Mahfud MD di akun Twitter pribadinya. Pak Mahfud benar, Beliau memang benar-benar algojo dalam perkara-perkara korupsi. Beliau merupakan sosok yang dikenal menakutkan bagi para koruptor. Ia pernah memperberat vonis mantan kader Demokrat, Angelina Sondakh dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun. Beliau juga memperberat hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbanigrum dari 7 tahun menjadi 14 tahun lengkap dengan denda Rp 5 miliar, subsider satu tahun empat bulan kurungan. Pada kasus Ratu Atut Chosiyah, Artidjo beserta hakim lainnya justru memperberat hukumannya dari empat tahun menjadi tujuh tahun penjara. Nama-nama lain yang merasakan vonis Beliau adalah mantan Ketua MK Akil Mochtar, termasuk pula terpidana kasus korupsi proyek e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong dari 8 tahun menjadi 11 tahun penjara. Di kasus yang sama, hukuman Irman dan Sugiharto diperberat dari tujuh dan lima tahun penjara menjadi masing-masing 15 tahun penjara.

Yang paling fenomenal, dan menjadi klasik tentu saja vonis Beliau dkk terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq menjadi 18 tahun penjara setelah menolak kasasi Luthfi sebagai terpidana kasus suap pengurusan impor daging dan pencucian uang. Luthfi sebelumnya divonis 16 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta serta denda Rp 1 miliar. Yang paling luar biasa tentu saja karena Hakim Artidjo dkk juga mencabut hak politik Luthfi. Majelis kasasi yang diketuai Hakim Artidjo itu pun memutuskan perkara kasasi Lutfi secara bulat tanpa adanya perbedaan pendapat (disetting opinion). Pertimbangan pertama karena kejahatan yang Lutfi lakukan termasuk kategori serious crime. “Alasan berikutnya adalah perbuatan terdakwa (Lutfi) dilakukan selaku anggota DPR yang telah melakukan perbuatan transaksional dan mencederai rakyat banyak. Khususnya rakyat pemilih, perbuatan terdakwa menjadi ironi terhadap perjuangan demokrasi,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur saat itu.

Efek nama besar Artidjo Alkostar luar biasa menyeramkan di kalangan koruptor. ICW mencatat, terdapat 21 PK kasus korupsi yang diajukan seusai Beliau pensiun pada 2019 silam. Hampir seluruh narapidana korupsi yang mengajukan peninjauan kembali justru mendaftarkan permohonannya usai hakim Artidjo pensiun Mei 2018 lalu,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan.

Salah satu vonis Beliau yang cukup ramai dibicarakan adalah vonis pada kasus malpraktik oleh tiga dokter RS Prof Kandou Malalayang. Ketiganya divonis penjara 10 bulan. Hakim agung Artidjo Alkostar menyatakan ketiganya telah mengakibatkan Siska Makatey meninggal dunia karena alpa. Saat korban masuk RSU, keadaan umum korban lemah dan memiliki status penyakit berat. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban. “Menyatakan dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni Sp OG, dr Hendry Simanjuntak Sp OG, dan dr Hendy Siagian Sp OG telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,” kata Beliau di website MA. Vonis diputus secara bulat, tidak ada perbedaan pendapat.

Vonis tersebut disambut aksi demonstrasi para dokter. Sang Hakim tak gentar, Beliau justru mengatakan, hukum diciptakan bukan untuk hukum itu sendiri tetapi, untuk kemanusiaan dan peradaban. Oleh karena itu, semua anak manusia harus diperlakukan sama sebab keadilan itu tidak mengenal batas. “Di dalam negara demokrasi yang berkeadaban, tidak boleh ada orang yang berada di atas hukum,” tegas Beliau.

Kata-kata Beliau itu sangat mengesankan saya. Dengan segala keterbatasan pengetahun tentang hukum, bersegeralah saya browsing mencari referensi tentang arti keadilan. Sering kali orang rancu bahkan ribut karena pemaknaan yang berbeda tentang kata ‘adil’ maupun ‘keadilan’. Aristoteles membedakan keadilan dalam dua macam. Keadilan distributif atau justitia distributiva sebagai suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan. Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa, di pihak lain, adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.

Thomas Aquinas kemudian membedakan keadilan dalam dua kelompok: keadilan umum dan keadilan khusus. Keadilan umum (justitia generalis), sebagai keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Vonis malpraktik dokter itu mencederai keadilan umum. Keadilan khusus, didasarkan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu keadilan distributif, diterapkan secara proporsional dalam lapangan hukum publik secara umum, keadilan kumulatif, yang mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi, serta keadilan vindikatif (justitia vindicativa), keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap mendapatkan keadilan apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. Notohamidjojo kemudian menambahkan satu jenis keadilan lagi, yaitu, keadilan protektif (iustitia protectiva), suatu keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, berupa perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.

Wikipedia sendiri menjelaskan keadilan sebagai kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Sedihnya, keadilan belum lagi tercapai, sebab menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. Masing-masing kepentingan ini seringkali saring tarung. Hingga sering kita dengar keluhan bila kita tidak hidup di dunia yang adil.

Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, sehingga lahir banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Sayang sekali gerakan-gerakan tersebut terkendala banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan, karena definisi tentang keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. Menurut John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, keadilan adalah ukuran yang harus diberikan guna mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, melalui tiga prinsip keadilan, yaitu (1) kebebasan yang sama sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas suatu kesempatan. Pada kenyataannya, ketiga prinsip itu tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lain. John Rawls kemudian memprioritaskan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal berlaku terlebih dahulu dari pada prinsip kedua dan ketiga.

Dari beberapa pendapat para pakar keadilan tersebut, masing-masing analisis sejalan dengan keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia. Sering disebut juga keadilan sosial sebagaimana tercantumkan dalam Pancasila, sila ke-2 dan ke-5, serta UUD 1945, keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak. Dan dalam konsepsi bangsa Indonesia, hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Keadilan tidak bersifat sektoral, tetapi menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Dalam upaya untuk mencari dan menegakkan keadilan ini, Artidjo Alkostar menjadi teladan. Mengutip apa yang dikatakan John Rawls bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”, maka Artidjo Alkostar telah membuktikan bahwa di tangan Beliau, keadilan dapat menjadi virtue bagi institusi hukum di Indonesia. Beliau bahkan telah merintisnya jauh sebelum menjadi Hakim Agung. Sejak lulus dari Fakultas Hukum UII, Beliau aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Minatnya sejak remaja pada pertanian membuat Beliau aktif memberi advokasi pada para petani Sumenep yang dipaksa Pemerintah Orde Baru untuk menanam tebu. Beliau juga mendirikan Artidjo Alkostar and Associates, sebuah LBH yang mendampingi para korban Insiden Santa Cruz di Dili pada tahun 1991. Beliau pun sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun. Hingga akhirnya menjadi Hakim Agung sejak tahun 2000, hingga pensiun di tahun 2019. Selama menjadi Hakim Agung, Artidjo Alkostar telah menangani 19.708 berkas perkara. Bila dirata-rata selama 18 tahun, Artidjo menyelesaikan 1.095 perkara setiap tahun.
Minat utamanya pada awal-awal karir hukumnya memang pada masalah-masalah hukum seputar hak asasi manusia. Tak heran bila Beliau berkata,”Korupsi tidak sebatas pada hilangnya uang negara, tetapi maksud utama dari korupsi yang sebenarnya itu pelanggaran HAM. Karena dampak dari korupsi itu membuat kehidupan bernegara, utamanya masyarakat bawah akan semakin menderita.”

Kepeduliannya pada yang lemah dan masyarakat bawah itu juga ditunjukkannya dalam teladan hidup yang sederhana. Kebersahajaan ini pula yang telah mengabadikan nama Beliau menjadi legenda. Jabatan terakhir Artidjo Alkostar adalah Dewan Pengawas KPK. Merujuk pada situs Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK, Beliau tercatat memiliki harta senilai Rp922 juta, berupa sebidang tanah di Sleman senilai Rp700 juta. Harta bergerak lainnya sebesar Rp19 juta, serta, kas dan setara kas lain sebesar Rp203 juta. Terlalu sederhana untuk ukuran orang setara Beliau. Terlalu kontras, bagai bumi langit bila dibanding harta para koruptor yang dihadapi Beliau.

Perjalanan hidupnya pun menunjukkan sikap hidup bersahaja yang nyaris membuat kita teringat dengan asketisme, suatu laku spiritual laku berpantang kenikmatan indrawi. Biasanya demi mewujudkan maksud-maksud rohani. Di awal masa kerjanya sebagai Hakim Agung, Beliau tinggal di rumah kontrakan di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Untuk berangkat kerja, Beliau naik bajaj hingga sampai di Mahkamah Agung (MA). Suatu ketika pernah terjadi, bajaj yang ditumpangi Beliau ditolak masuk melalui gerbang depan MA. Konon kendaraan yang dimiliki Beliau saat meninggal hanya sebuah motor Honda Astrea.

Mungkin Artidjo Alkostar bukanlah seorang yang secara sadar penuh melakukan praktik-praktik asketisme, dalam arti hidup membiara, karena keyakinan agama Beliau tidak mempraktikkan hidup membiara. Namun apa yang dilakukan Beliau serupa dengan nilai-nilai asketisme, seperti hidup yang tak hedon, tak larut dalam kehebohan dan keramaian dunia. Hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi dengan sikap hidup yang sangat bersahaja, bercirikan tidak silau terhadap harta-benda dan kenikmatan-kenikmatan jasmani, sambil banyak merenungkan perkara-perkara rohani.

Istilah asketisme pada mulanya digunakan dalam filsafat Stoa (stoikisme) untuk menunjukkan praktik-praktik dalam memerangi kejahatan dan mengejar keadilan. Sebenarnya, hampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan praksis asketis, misalnya, dalam kebudayaan dan agama India dan Persia. Asketisme adalah esensi dari Brahmanisme dan Budhisme, yang merupakan dua cabang dari agama India yang dalam banyak hal berhubungan satu dengan yang lainnya. Stoikisme sendiri memiliki pandangan yang mencolok tentang etika karena menekankan manusia memilih sikap hidup apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Sikap pasrah dalam Stoikisme merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal. Stoikisme, yang populer pada abad 3 SM – 3 M, selanjutnya mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup. Asketisme Kristen, diyakini berasal dari adanya konflik moral antara roh dan daging. Dan pengendalian daging dilakukan dengan kerendahan hati dan kasih kepada Tuhan dan manusia.

Serupa dengan tradisi Kristen, dalam agama Islam dan Buddha, asketisme dipahami mampu membebaskan manusia dari belenggu hawa nafsu dan materi, dua hal yang menjadi pangkal masalah hidup manusia di dunia. Keterikatan pada hawa nafsu dan materi itu membawa manusia pada masalah-masalah psikis seperti marah, cemas, tamak dan serakah. Dari sanalah timbul masalah-masalah sosial lain. Laku asketisme biasanya dimulai dengan mendisiplinkan diri dan berpantang. Disiplin melakukan hal-hal yang baik, berpantang melakukan yang tidak baik. Berpantang tak sebatas dalam arti mengendalikan keinginan berlebihan pada materi, namun juga pada kecenderungan untuk sombong. Membranding diri dengan citra-citra palsu seperti relijiusitas, atau prestasi dongkrakan.

Mengenang dan meneladani Artidjo Alkostar saya kira tidak hanya pada kegigihannya dalam menegakkan keadilan di ruang peradilan, namun juga pada sikap asketis, atau zuhud dalam terminologi Islam yang menjadi laku hidup Beliau sehari-hari. Suatu sikap yang kini makin asing kita temukan, makin asing kita lakukan juga. Dan kita pun pelan-pelan terjebak dalam aneka masalah sosial.

Selamat Jalan, Selamat beristirahat, Pak…
Semesta memberkati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *