(Seiring dengan peringatan Hari jadi Kota Surakarta yang ke 277, Kendi.id akan menampilkan serangkaian kisah tentang hal-hal pertama yang lahir di Solo)
Setiap tanggal 17 Februari kota Solo merayakan hari jadinya. Berawal dari kepindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke sebuah desa bernama Desa Sala, di tepi Sungai Solo. Pemindahan pusat kekuasaan itu terjadi pada 17 Februari 1745. Di Desa Sala rakyat bergotong royong membangun Kraton baru yang kemudian diberi nama Kraton Surakarta Hadiningrat.
Seiring perjanjian Giyanti pada tahun 1757, Mataram kemudian dipecah menjadi dua kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Dua tahun kemudian melalui Perjanjian Salatiga, Surakarta dipecah lagi menjadi Kasunanan dan Kadipaten Mangkunegaran. Langkah ini kemudian diikuti oleh Thomas Stanford Raffles yang mendirikan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta pada tahun 1813. Sejak itu istilah vorstenlanden digunakan untuk menyebut wilayah teritorial dari keempat ‘negara tradisional Jawa’ tersebut.
Guna menghindari konfrontasi dari kalangan elite Jawa, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil kebijakan politik secara hati-hati dengan tidak menghapuskan kerajaan-kerajaan Jawa tersebut melainkan memberikan otonomi untuk mengelola wilayahnya. Vorstenlanden dapat dikatakan sebagai wilayah semi-otonom.
Tidak seperti wilayah-wilayah Jawa lainnya, selama periode Tanam Paksa (1830-1870), Pemerintah Kolonial bahkan membebaskan wilayah vorstenlanden dan para petaninya dari kewajiban untuk menanam tanaman ekspor. Pemerintah Kolonial juga mengecualikan wilayah ini dari penerapan pajak tanah. Meski tidak dikenai tanam paksa, di wilayah vorstenladen Surakarta, tetap dilakukan penanaman komoditas ekspor serupa tanaman wajib dalam sistem Tanam Paksa, karena tanaman-tanaman itu memang sangat laris di pasaran dunia. Raja, dan kerabatnya kemudian menggandeng kalangan pengusaha swasta Eropa.
Otonomi ini secara perlahan mennyebabkan ekonomi kerajaan-kerajaan tersebut membaik. Bahkan Adipati Mangkunegaran bisa dikatakan menjadi pribumi pengusaha pertama di Indonesia karena keberhasilannya mengembangkan industri gula melalui dua pabriknya, Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu. Jauh sebelum kata ‘otonomi daerah’ populer, masyarakat Solo sudah merasakan dipimpin raja-raja dengan pola nyaris mirip otonomi daerah di masa kini.
Pelan-pelan Solo menjadi kota metropolis untuk ukuran jamannya. Namun berbeda dengan kota-kota bentukan pemerintah kolonial Belanda, pembangunan di kota Solo tetap dengan ciri budaya Jawa yang kuat. Solo pun menjadi pelopor dalam berbagai bidang di Nusantara. Sebut saja dalam hal fasilitas umum. Siapa sangka toilet umum atau tempat mandi, cuci dan kakus (MCK) pertama di masa kolonial berasal dari Solo?
Ponten, demikian bangunan MCK pertama itu sering disebut. Terletak di Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, bangunan bercat putih ini adalah hasil karya arsitek kenamaan Thomas Carsten yang juga menjadi arsitek Pasar Gede dan Stasiun Balapan.
Di ponten terdapat bilik kecil untuk tempat buang air dan mandi, dilengkapi beberapa pancuran untuk mandi tanpa daun pintu di setiap bilik-biliknya dan beratapkan langit. Meski terbuka, tak ada kasus pelecehan seksual yang terjadi di sana masa itu.
Menurut sejarawan Heri Priyatmoko, ponten menjadi titik awal revolusi sanitasi warga, khususnya di Jawa dan Solo. Bangunan tersebut berangkat dari kegundahan hati Mangkunegara VII melihat rakyatnya yang minim kesadaran dalam hal mandi, cuci dan kakus. Saat mider projo (berkeliling wilayah), Mangkunegara VII melihat masyarakat di wilayah Kestalan menggunakan air sungai untuk berbagai keperluan. Mangkunegara VII prihatin, dan mengkhawatirkan kesehatan rakyatnya akibat kurang menjaga kebersihan.
Mangkunegara VII yang baru saja pulang dari Belanda kemudian menggandeng Thomas Karsten untuk merancang sebuah tempat dengan misi revolusi sanitasi bagi rakyatnya. Thomas Karsten pun merancang bangunan dengan gaya akulturasi menyerupai candi di tahun 1936. Kini Ponten ditetapkan sebagai cagar budaya. Nama ponten sendiri diambil dari Bahasa Belanda, fontein yang berarti air mancur.
Semenjak Ponten berdiri, mulai terjadi perubahan kebiasaan masyarakat. Mereka yang mulanya mandi hingga buang air di sungai, beralih menggunakan ponten. Tak hanya itu, masyarakat juga mulai mengenal ruang privasi dengan dibangunnya bangunan bersekat-sekat untuk mandi, cuci dan kakus. Ponten ini merupakan terobosan Mangkunegara VII mengenai masalah kebersihan dan kesehatan.
Bila Mangkunegara VII mempelopori sanitasi, pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta melakukan pemberdayaan masyarakat baik bidang ekonomi, kesehatan dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan banyak membangun infrastruktur modern, seperti Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota yang dikenal sebagai Stasiun Sangkrah, Stadion Sriwedari, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, serta rumah perabuan bagi warga Tionghoa.
Pada tahun 1894, Pakubuwana X, tercatat menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil di Nusantara. Mobil yang dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.Masa itu transportasi di Jawa masih berbentuk gerobak yang ditarik kuda, sapi atau kerbau. Mobil Pakubuwono X dianggap sebagai ‘kereta Setan’ karena masyarakat takjub melihat kereta berjalan tanpa ditarik kuda.
Bila saat ini kita sering mendengar tentang ‘kerjasama antar wilayah, di masa lalu, kedua kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran itu pun telah terbiasa melakukan kerjasama. Penyediaan listrik di Kota Solo salah satunya.
Berdirinya Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM), menjadi tonggak kehadiran listrik pertama di Surakarta pada 12 Maret 1901. Dua kerajaan di Surakarta bekerja sama dalam pendirian SEM. Kedua kerajaan juga memiliki memiliki saham di SEM dan menempatkan wakilnya sebagai komisaris: Raden Adipati Sasradiningrat, patih yang mewakili Kasunanan serta De Kock van Leeuwen sebagai utusan Pura Mangkunegaran. Seorang lagi, Be Kwat Koen, adalah seorang Kapiten Cina yang terkemuka di kalangan Tionghoa Solo.
Keberadaan listrik di Solo segera saja memicu lahirnya budaya perkotaan dan industrialisasi. Adanya penerangan di malam hari membuat pabrik-pabrik dan industri mulai mengenal sistem kerja shift dan lembur malam sehingga meningkatkan produksi. Lembur ini juga terjadi pula pada usaha batik dan tenun rumahan.
Tersambungnya aliran listrik di Surakarta juga berdampak pada kehidupan malam. Angka kriminalitas menurun drastis sejak adanya penerangan listrik di malam hari. Listrik juga menggairahkan dunia hiburan di ruang publik perkotaan seperti Taman Sriwedari. Hadirnya pertunjukan bioskop dan wayang, juga taman hiburan yang menyediakan aneka permainan. Disukai bukan hanya orang Jawa saja, melainkan orang etnis lain dan bangsa Asing.
Dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo, dikisahkan tentang Taman Sriwedari yang sering menjadi tempat para pemuda dan pemudi tebar pesona. ‘Banyak yang jadi bingung pulang ke rumah karena terkena cambuk asmara’, demikian tulis buku itu. Berkat listrik pula, bioskop hadir sejak 1914, dengan berdirinya dua bioskop di perempatan Pasar Pon dan Purbayan.
Tak banyak yang tahu pula bila jalur kereta api pertama di Indonesia adalah Jalur Semarang-Solo yang disebut resmi sebagai jalur Semarang Vorstenlanden. Pembangunan seluruh jalur kereta api ini selesai dan diresmikan pada 21 Mei 1873.
Stasiun Solo Balapan yang menjadi pemberhentian akhir jalur Semarang Vorstenlanden, dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara IV dan berada di wilayah Kadipaten Praja Mangkunagaran. Lokasi stasiun ini dulunya adalah Alun-alun Utara Mangkunegaran yang digunakan sebagai lahan pacuan kuda milik Mangkunegaran. Dari situlah sebutan Balapan berasal.
Pembangunan Jalur Semarang-Vorstenlanden ini juga menjadi ajang kerjasama kedua kerajaan tersebut. Sebagai pengganti lahan Stasiun Balapan, pihak Mangkunegaran kemudian mendapat lahan di Manahan dari Kasunanan untuk dibangun sarana pacuan kuda dan aktivitas keolahragaan lainnya. Pada peresmian Stasiun Balapan, hadir bersama-sama Gubernur Jendral Hindia Belanda, Pakubuwono X dan Mangkunegara VII.
Di wilayah Kasunanan kemudian dibangun Stasiun Jebres yang juga menjadi bagian dari jalur Solo-Vorstenlanden. Kedua stasiun itu di kemudian hari melayani jalur-jalur besar lain termasuk jalur menuju Batavia dan Surabaya. Dua stasiun lain juga dibangun di Solo, yaitu Stasiun Purwosari di wilayah Mangkunegaran, dan Stasiun Solo Kota di Sangkrah, wilayah Kasunanan.
Mengapa kereta api pertama memilih Jalur Semarang-Vorstenlanden? Pemilihan jalur itu tak lepas dari kepentingan kolonial dalam mendistribusikan produk tropis yang menjadi primadona pasar internasional. Solo, dengan otonomi yang memungkinkan kedua raja itu membangun penuh inovasi, telah menjadi kota dagang yang ramai, sekaligus cukup dekat dengan lokasi perkebunan-besar besar.
Ada banyak lagi hal-hal pertama yang dipelopori Kota Solo. Di episode berikutnya akan ada banyak kisah lain…
Vika Klaretha Dyahsasanti