Menyambut Hari Ibu, yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Hari Perempuan, mungkin menarik mengulas masalah maskulinitas dan kesetaraan gender.
Di dunia film, sebelum tahun 2000an tokoh utama pria di sinema Indonesia ditampilkan sebagai kepala rumah tangga, pemberi nafkah, pengayom, dan pelindung. Sejak tahun 2000-an citra para tokoh utama pria mulai digambarkan bersifat lembut, sensitif, ekspresif secara emosional, egaliter, teraktif mengasuh anak, mendukung karir pasangan dan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Demikian ditulis dalam The Conversation bertanggal 6 November 2017. Citra ini diwakili tokoh protagonis Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta (2002). Rangga pendiam, intelektual, tidak agresif, lembut, puitis, dan bisa memasak. Sifat-sifat ini kemudian diidentifikasikan sebagai maskulinitas jenis baru.
Rangga tidak seperti si Boy dalam film “Catatan Si Boy”, idola remaja Indonesia pada 1980-1990an. Boy kaya, supel, suka olahraga, fisiknya kekar, dan populer. Sifat serupa Rangga itu juga terlihat dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2008) melalui tokoh Khudhori yang juga tidak terganggu dengan istri yang mandiri secara ekonomi.
Perubahan perspektif ini disinyalir sebagai imbas krisis ekonomi Asia di akhir 1990an. Mau tak mau perempuan harus ikut turun tangan menyokong perekonomian keluarga. Akibatnya, pasca Orde Baru, gerakan perempuan semakin intensif berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Perubahan pada tatanan gender ini mempengaruhi representasi perempuan dan citra feminin ideal di film, dan produk budaya populer lainnya. Perempuan bekerja dan aktif dalam peran publik makin mapan posisinya sebagai citra feminin ideal alternatif.
Usaha untuk mengubah citra maskulin menjadi lebih lembut serta kesetaraan gender ini bukan tanpa tantangan. Kelompok-kelompok pendukung budaya patriarki tetap menekankan agar perempuan lebih inferior daripada laki-laki dan hanya melakukan peran domestik dan reproduksi. Dalam patriarki modern sendiri ada banyak kontradiksi. Tidak semua laki-laki bisa menjadi pemberi nafkah keluarga. Di banyak rumah tangga, kontradiksi ini diredam dengan tetap membiarkan istri tetap ikut mencari nafkah, namun perempuan tetap dituntut untuk memprioritaskan peran domestik dan reproduktif-nya.
Tentu saja menjalankan kedua peran itu susah, dan tidak sedikit yang menganggapnya tidak adil. Tapi siapa mengira bila mitos-mitos tentang hantu, sebenarnya adalah gambaran tentang adanya kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan yang terjadi di masyarakat?
Ada fakta yang asyik disimak: tradisi Nusantara punya banyak kisah hantu perempuan. Mulai dari Kuntilanak, Sundel Bolong, si Manis Jembatan Ancol, Wewe Gombel, dan lain-lain. Kisah para hantu perempuan warisan leluhur ini seolah menjadi peringatan dari generasi-generasi pendahulu kita mengenai nasib perempuan Indonesia.
Kuntilanak adalah hantu perempuan yang meninggal saat melahirkan. Sundel bolong adalah perempuan yang diperkosa yang juga meninggal saat melahirkan. Apabila kuntilanak menghantui perempuan usai persalinan dan melarikan bayi baru lahir, maka Sundel Bolong meneror lelaki yang berjalan sendirian di malam hari. Si Manis Jembatan Ancol juga perempuan yang meninggal diperkosa yang kemudian membalaskan dendam.
Figur mistis yang sedikit berbeda adalah Nyai Roro Kidul yang dipercaya sebagai ratu penguasa dunia gaib di Laut Selatan. Nyai Roro Kidul bisa jadi adalah gambaran ideal yang diidamkan perempuan Nusantara.
Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer tersebut: yaitu adanya ketidakadilan, terbatasnya akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi. Si Manis Jembatan Ancol dan Sundel Bolong menuntut keadilan, sementara, Kuntilanak gagal mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Jika kita tidak memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi perempuan dan membiarkan pelaku kekerasan seksual bebas tanpa hukuman atas kejahatannya, kita akan melanggengkan kisah hantu perempuan pada generasi selanjutnya. Tak hanya di gambar bergerak, tapi juga di dunia nyata.
Dalam perspektif yang berbeda, antropolog Aihwa Ong (1987) melihat perempuan dan hantu dalam perspektif ekonomi moral. Studi Ong tentang buruh di Selangor dan Kedah, Malaysia, menunjukkan bahwa buruh perempuan mempunyai moralitas yang longgar karena mereka jauh dari sanak famili. Jauh dari kontrol saudara laki-laki sehingga bisa memiliki hubungan yang melintasi batas ras dan etnis. Tidak sedikit buruh perempuan yang berpacaran dengan etnis Cina.
Berlawanan dengan buruh yang memiliki moralitas longgar itu, daerah buruh industri Malaysia secara kebetulan dikuasai oleh partai konservatif PAS (Partai Islam se-Malaysia), mengharuskan perempuan baik-baik saja sesuai harapan laki-laki. Ong kemudian mendapati fakta yang menarik: banyak perempuan yang dianggap bermoral lemah kerasukan jin atau setan di sekitar wilayah pabrik. Jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Aihwa Ong mensinyalir histeria buruh perempuan yang kerasukan setan di kawasan pabrik ini sebagai akibat dikekangnya kebebasan mereka. Buruh perempuan yang kerasukan setan adalah mereka yang mengalami masa transisi dari kehidupan pedesaan ke wilayah urban. Dari sistem pekerjaan desa yang santai menuju pendisiplinan pabrik.
Kerasukan setan sendiri menunjukkan perlawanan terhadap otoritas laki-laki dalam dunia kapitalisme pabrik. Perlawanan terhadap tekanan laki-laki, beban kerja yang tidak manusiawi, pelecehan seksual, dan upah yang nyaris tidak pernah naik. Ditambah keharusan perempuan mengirim uang untuk menghidupi keluarga di desa asal mereka. Semuanya menyebabkan tingkat stres yang tinggi namun tidak dapat diekspresikan. Gambaran ‘moral anxiety’ dalam dominasi budaya patriarki.
Hantu perempuan juga sering lahir dari masa transisi masyarakat pertanian ke era industri, saat laki-laki gagap dalam melihat peran baru perempuan sebagai pekerja. Seperti digambarkan dalam penelitian Mary Beth Mills (1995) tentang serangan ‘hantu janda’ (phii mae maai) di Isan, Thailand Timur Laut. Isan adalah daerah miskin di perbatasan Thailand dan Laos. Buruh migran perempuan di Bangkok paling banyak berasal dari Isan. Termasuk para pekerja seks.
Fenomena ini membuat frustasi bagi suami-suami yang ditinggalkan di desa. Mereka rata-rata bekerja sebagai petani. Tekanan ekonomi membuat mereka tidak bisa melarang perempuan bekerja di Bangkok, karena biaya hidup modern di Isan meningkat. Mulai dari biaya sekolah, transportasi, kesehatan, hingga pembelian pupuk untuk pertanian. Modernitas menjadi musabab bagi kecemasan laki-laki.
Di era 1990an itu, tingkat kecemasan dan kerentanan memuncak sehingga isu serangan ‘hantu janda’ meruyak di segala penjuru desa Isan. Hantu janda ini digambarkan haus seks dan menyasar para perjaka di Isan. Untuk melindungi serangan ‘hantu janda’ yang dipercaya mampu menyebabkan sakit dan kematian, warga memasang patung phallus (alat kelamin pria) yang terbuat dari kayu di depan gardu kampung. Kemunculan ‘hantu janda’ adalah bentuk kecemasan dunia laki-laki terhadap modernitas, sekaligus kecemasan terhadap kemampuan perempuan beradaptasi terhadap modernitas dunia kerja modern.
Figur hantu perempuan menunjukkan bentuk ketakutan masyarakat akibat budaya patriarki. Bisa sebagai wujud frustasi laki-laki terhadap modernitas dan peran baru perempuan dalam ekonomi, maupun refleksi ketakutan perempuan pada ketidakadilan gender. Relasi sosial yang tidak sederhana dan pelik antara perempuan dan laki-laki ini, akhirnya melahirkan konsekuensi sosial yang berat. Muncul aneka mitos hantu seram dan kejam di masyarakat saat dirasa keadilan hilang.
Kalau bisa kita simpulkan secara simpel, sepanjang ada ketidakadilan bagi perempuan, kisah hantu itu akan terus ada. Bukan tidak mungkin lahir kisah hantu baru akibat lahirnya bentuk-bentuk ketidakadilan baru bagi perempuan. Hantu asam folat misalnya.