Kishore Mahbubani, Jurnalis terkenal dunia, dalam artikelnya The Genius of Jokowi memuji Presiden RI itu sebagai role model bagi dunia. Dan dari semua kemampuan Jokowi, Mahbubani memuji semangat rekonsiliasi yang menjadi kekuatan Jokowi. Ia selalu merangkul lawannya, atau siapapun yang berseberangan dengannya. Percayakah bila semangat rekonsiliasi itu sudah ditunjukkan melalui politik meja makan sejak baru saja menjabat walikota Surakarta?
Politik meja makan bisa dikatakan politik yang ikonik dan genuine dari Jokowi. Inilah salah satu kiprah awal Jokowi yang melegenda: memindahkan PKL di taman Banjarsari ke lokasi baru yang kemudian dinamakan Pasar Klithikan tanpa geger. Bahkan disambut gegap gempita dengan segenap pedagang yang direlokasi. Tidak heran media kala itu heboh dengan tagline: bagaimana seorang Jokowi memanusiakan PKL.
Apa yang terjadi saat kepindahan dan menjelang kepindahan, sangat mencengangkan banyak orang karena ada banyak spanduk tentang kesediaan pindah. Tapi tentu saja pemindahan PKL itu tak semudah membalik telapak tangan.
Dalam perencanaan relokasi ini, awalnya Jokowi tidak mempunyai rencana tertentu. Ia hanya berkunjung, mengundang makan dan berdialog dengan para PKL. Jokowi mengistilahkan, yang dibuatnya adalah proposal lapangan. Bukan proposal yang dibuat di bawah meja, tetapi hasil dialog yang disesuaikan keinginan PKL.
Tidak tanggung-tanggung, Jokowi melakukan 54 pertemuan dengan jamuan makan selama 7 bulan, sebelum akhirnya mencapai kesepakatan untuk memindahkan PKL ke lokasi baru. Kata Jokowi, tugas pemerintah adalah memberi ruang pada pedagang kecil untuk maju, bukan menggusur mereka. “Pemimpin yang baik adalah yang mengikuti keinginan orang yang dipimpinnya,” tambah Jokowi lagi.
Awal rencana relokasi jelas ada penolakan keras dari para PKL. Mereka mengancam akan membakar balaikota bila digusur. Di Solo ancaman itu bukan main-main, dan benar-benar pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Namun Jokowi tidak gentar.
Muncul ide untuk meluluhkan hati para PKL dengan mengajak mereka makan bersama. Latar belakang sebagai pengusaha membuat Jokowi tahu persis kekuatan jamuan makan bersama. Ada banyak lobby bisnis yang sukses karena berawal dari pembicaraan saat jamuan makan. Jokowi paham betul arti ‘lobby meja makan’.
Rencana awal yang akan direlokasi adalah 989 pedagang di seputar Banjarsari, kawasan elite Solo yang menjadi kumuh sejak 1998 karena adanya PKL tersebut. Pedagang-pedagang tersebut tergabung dalam 11 paguyuban, dan semua koordinator paguyuban diundang makan ke Loji Gandrung, rumah dinas Walikota Solo. Karena paham akan dipindahkan, para wakil paguyuban itu membawa LSM yang siap bersuara keras menentang relokasi. Jokowi menahan diri. Selesai makan, para pedagang dipersilahkan pulang. Para pedagang sampai heran karena tidak ada pembicaraan serius apapun. “Hanya udangan makan=makan kok,” kata Jokowi enteng.
Tiga hari kemudian mereka diundang lagi, dan kali ini pun hanya makan saja. Dan ini masih terjadi berkali-kali. Lokasi pertemuan pun bisa di mana saja. Dari warung wedangan kecil yang di Solo disebut hik, pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, resto besar hingga Loji Gandrung.
Ketika komunikasi sudah terjalin, barulah konsep relokasi disusun. Para pedagang PKL sudah nyaman dengan pemerintah dan mampu menyampaikan keinginan-keinginannya. Pada jamuan makan ke 54 Jokowi baru yakin bila para pedagang PKL itu siap dipindahkan. Ketika Jokowi menyampaikan niatnya, tak ada satu pedagang pun yang membantah.
Para PKL hanya meminta jaminan bila di tempat yang baru mereka tak akan kehilangan pembeli. Jokowi tak berani menjamin. Ia hanya berjanji akan mengiklankan Pasar Klithikan Notoharjo di Semanggi sebagai tempat relokasi di TV dan media cetak selama 6 bulan. Ia pun akan memperlebar jalan menuju Pasar Klithikan untuk mempermudah akses.
Para PKL pun meminta agar kios diberikan gratis. Ini berat bagi Jokowi. Ia harus tarik ulur dengan DPRD agar kios mereka dibiayai. Akhirnya dicapai kesepakatan agar para pedagang PKL membayar retribusi sebesar 2.600 rupiah per hari. Dalam kalkulasi Jokowi, tepat 8 tahun, modal pemerintah sebesar 9,8 Milyar rupiah bisa kembali.
Akhirnya tiba hari h, boyongan para PKL dari Monumen 45 Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo pada tanggal 23 Juli 2006. Berlangsung meriah dan terasa berbeda dengan banyak relokasi di tempat lain yang selalu identik dengan penggusuran galak oleh Satpol PP. Di Solo boyongan berlangsung dengan arak-arakan PKL berbusana Jawa dan tersenyum sumringah, sembari nyunggi tumpeng sebagai simbol kemakmuran. Para pedagang dikawal sendiri oleh Jokowi dan aparat pemda serta prajurit kraton. Acara boyongan ini menjadi atraksi pariwisata tersendiri yang akhirnya turut mempromosikan Pasar Klithikan dengan Cuma-Cuma.
Bagi para PKL sendiri ada kebanggaan lain. Status mereka kini bukan lagi pedagang kaki lima tetapi saudagar. Status terhormat karena memiliki kios resmi. Status ini pun berefek ganda, menjadikan mereka kredibel untuk mengakses perbankan. Menjadikan skala usaha mereka makin besar. Sebagaimana keinginan awal Jokowi untuk mengangkat kelas para PKL.
Tepat menjelang setahun menjadi Walikota, Jokowi menorehkan prestasi fenomenalnya yang terus dikenang hingga kini. Menjadi role model banyak pemimpin berikutnya, dan tentu saja menjadi kajian-kajian ilmiah tentang komunikasi di banyak perguruan tinggi. Bukan hanya di Indonesia melainkan di dunia.
Tehnik komunikasi jamuan makan yang digunakan Jokowi itu kemudian dibahas para pakar sebagai komunikasi dengan pendengkatan ‘nguwongke wong’ atau memanusiakan manusia. Tidak memaksa namun sebaliknya mengedepankan dialog. Dialog dibangun dari rasa nyaman yang kemudian berujung dengan rasa percaya. Dan ini dimulai dari jamuan makan bersama. Dari sana pedagang mulai berani menumpahkan keluhannya langsung. Dan ketika timbul rasa saling percaya, pemerintah pun dengan mudah menyampaikan ide-idenya. Tak ada yang merasa terintimidasi lagi.
Secara khusus, pakar komunikasi mengungkapkan, apa yang dilakukan Jokowi sangat spesifik, yaitu ‘nguwongke wong cilik’. Memberi rasa bermartabat pada orang kecil. Mulai dari mengajak mereka makan bersama, membangun dialog, hingga akhirnya memberi mereka kios yang menyebabkan mereka kini layak disebut saudagar. Mereka yang selama ini sering dianggap biang keruwetan, tak bisa diatur, kini telah menjadi orang yang bahkan layak untuk menjadi nasabah kredit perbankan.
Bila kemudian para pakar komunikasi mengatakan apa yang dilakukan Jokowi adalah pendekatan budaya Jawa yang mengajarkan untuk rendah hati atau low profile seperti ungkapan ‘Andhap Asor, Wani Ngalah Luhur Wekasane’, Artinya siapa yang mau atau berani mengalah pada akhirnya mendapat kemenangan.
Mari belajar dari Jokowi.
Tunggu kisah-kisah Jokowi berikutnya di Jejak Jokowi hanya di Kendi.id