Perlombaan Marathon Antar Negara dan Bangsa
Bayangkan seandainya dilakukan, sebuah perlombaan lari utra-marathon yang unik. Dalam perlombaan lari ini, setiap 10Km, akan ditempatkan berbagai macam alat yang bisa membantu peserta untuk menyelesaikan lomba.
Di 5 Km pertama, ditempatkan sepeda-sepeda.
Di 10 Km berikutnya, ditempatkan sepeda motor sebanyak jumlah peserta.
Di 20 Km berikutnya, ditempatkan mobil-mobil sport.
Di 40 Km berikutnya, ditempatkan helikopter.
Anda bisa bayangkan, peserta yang mencapai 5 Km pertama, lebih cepat dari peserta lain, akan punya kesempatan untuk mencapai titik berikutnya dan beralih pada kendaraan yang jauh lebih cepat dan lebih aman.
Semakin lama, peserta yang lamban akan semakin tertinggal.
Di awal-awal lomba, ketika seseorang tertinggal di belakang peserta lain. Dia mungkin masih bisa mengejar ketertinggalannya. Namun ada satu titik, di mana tidak mungkin lagi dia bisa mengejar ketertinggalannya dan hanya bisa melihat jarak antara dirinya dengan peserta di depan itu, semakin lama semakin besar.
Peran Teknologi dalam Perkembangan Bangsa
Peran teknologi dalam perlombaan “lari” antar bangsa dan negara, menurut saya serupa dengan proses analogi lomba lari di atas.
Bisa kita bayangkan, bagaimana ketika bangsa-bangsa Eropa, mulai mengembangkan mesin uap dan senjata api. Dalam hitungan beberapa dekade, mereka melebarkan sayapnya ke seluruh dunia dan dengan kolonialisasi-nya. Mereka kemudian bisa memanfaatkan kekayaan alam itu, untuk berbagai hal, termasuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi mereka ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Dari masa ke masa, kita bisa melihat penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melontarkan negara penemunya, jauh ke depan.
Teknologi pertanian, obat-obatan modern, semikonduktor, PC, Internet, dsb.
Berkali-kali kita bisa melihat, bagaimana penemu yang pertama akan memiliki kesempatan paling besar untuk menggali/mengeksploitasi potensi dari penemuan itu.
Ketika ada terobosan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka berbondong-bondong negara lain akan berusaha, secepat mungkin menguasai dan menerapkannya. Jika tidak mereka akan semakin kalah dalam kompetisi besar ini.
Sama seperti analogi lomba lari di atas, kita juga semakin dekat pada titik, di mana ketertinggalan akan menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk berkompetisi. Di mana jarak yang tercipta, hampir-hampir akan mustahil untuk dikejar.
Ada pengembangan A.I. yang sangat pesat, karena ditunjang oleh matangnya teknologi microchip.
Ada penelitian-penelitian yang berusaha memahami dan pada akhirnya memanfaatkan perilaku partikel di level quantum.
Ada penelitian-penelitian di bidang rekayasa genetika yang semakin lama, semakin terjangkau dan presisi. Jangan lupa juga, proyek pemetaaan gen manusia (Human Genome Project) sudah mencapai target yang ditetapkan di tahun 2003. Sebuah proyek panjang yang dimulai di tahun 1984 dan memakan biaya triliunan US dollar.
Penelitian untuk menggunakan pengetahuan ini, untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit sudah mulai membuahkan hasil.
Namun naif kalau kita percaya, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang rekayasa genetika, hanya akan berhenti pada usaha menyembuhkan penyakit dan tidak akan ada upaya yang lebih jauh dari itu.
Ada proyek Neuralink yang digagas dan sedang dibiayai pengembangannya oleh Elon Musk. Sebuah teknologi yang bila sudah matang nanti, bisa saja digunakan untuk meningkatkan kemampuan seorang manusia, dengan cara mengintegrasikan chip komputer dan berbagai macam aplikasi pada diri manusia.
Sebuah kemungkinan yang disinggung oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Homo Deus, semakin dekat dengan kenyataan.
Terlalu banyak untuk dijabarkan dalam sebuah artikel singkat, betapa ada banyak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar sana, yang saat ini, kita belum ikut berkompetisi di dalamnya.
Sementara ada resiko, bahwa kalau kali ini kita juga tertinggal dari negara-negara lain, maka kesempatan untuk mengejar ketertinggalan itu akan hilang.
Situasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia
Maka dalam situasi yang sedemikian, menjadi ironi ketika pos untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih relatif minim jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Meski kita juga bisa memaklumi, bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, itu biayanya sangatlah mahal. Apalagi untuk melakukan riset dan penelitian di bidang-bidang ilmu yang mendasar, seperti fisika, matematika, kimia dan biologi.
Di sinilah kita butuh tokoh-tokoh pemimpin kelas nasional yang memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki visi jauh ke depan.
Orang-orang yang bisa mempertimbangkan nasib bangsa ini, bukan hanya untuk 5-10 tahun ke depan. Seorang sosok pemimpin yang bisa menyeimbangkan antara kebutuhan yang mendesak di jangka waktu yang dekat, dengan kebutuhan yang sebenarnya sangat kritikal, tetapi jangkauan waktunya jauh di depan.
Sesuatu yang saat ini masih jarang kita lihat.
Banyak politisi yang saat diberi kesempatan untuk bicara, mereka banyak bicara tentang hal-hal yang ada di depan mata. Namun masih sangat jarang yang berani mengemukakan pandangan mereka, tentang hal-hal yang tidak terkait langsung dengan nasib rakyat di masa ini.
Padahal keduanya adalah hal yang sama pentingnya.
Visi Budiman Sudjatmiko untuk Indonesia
Baru pada sosok Budiman Sudjatmiko, kita bisa melihat ada dua hal itu, hadir dalam satu orang yang sama.
Budiman Sudjatmiko termasuk satu yang berada di baris paling depan, dari mereka yang gencar memperjuangkan kemajuan berbasis pembangunan desa. Sesuatu yang membahas tentang masalah yang ada di depan mata. Sesuatu yang terkait langsung dengan nasib rakyat di masa sekarang.
Di saat yang sama, Budiman Sudjatmiko juga seorang politisi yang melontarkan gagasan Bukit Algoritma dan juga termasuk tokoh politik yang paling awal mengangkat isu revolusi industri 4.0 (sekarang dunia sudah melangkah ke revolusi industri 5.0, sementara masih banyak industri kita yang belum selesai dengan revolusi industri 3.0).
Maka akan sangat disayangkan, apabila seorang tokoh politik seperti Budiman Sudjatmiko, tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan. Sangat disayangkan jika bangsa kita, kehilangan satu potensi yang sangat berharga, karena tertimbun oleh gimmick-gimmick politik dan permainan media masa semata.
Kedekatan Budiman Sudjatmiko dengan nasib rakyat yang dikombinasikan dengan visi Budiman Sudjatmiko yang menjangkau dunia jauh ke depan, adalah suatu kombinasi yang diperlukan oleh pemerintahan negara kita ini.
Idealisme Budiman Sudjatmiko Dulu dan Sekarang
Saya adalah seorang yang sangat pesimis terhadap dunia politik Indonesia. Dua kali saya pernah merasakan euforia dan antusiasme, pada proses politik di Indonesia.
Yang pertama, di awal-awal reformasi.
Yang kedua, 2014 saat Pak Jokowi maju dalam kompetisi pemilihan presiden.
Dua kali pula saya merasakan kekecewaan terhadap proses politik yang akhirnya terjadi. Dua kali patah hati, akhirnya saya bertekad, untuk tidak menggantungkan harapan lagi pada tokoh manapun dalam perpolitikan Indonesia.
Namun jika anda bertanya, apakah saya percaya pada seorang Budiman Sudjatmiko? Maka tanpa ragu, saya akan menjawab,
“Ya, saya percaya. Saya percaya dia layak untuk diberi kesempatan yang lebih besar dalam merealisasikan visi yang dia punya tentang Indonesia.
Saya percaya bahwa dia masih memegang idealisme yang dia miliki, saat dia mengambil resiko dalam perjuangannya di masa Orde Baru.
Jangan lupa, kasus Marsinah itu terjadi tahun 1993. Marsinah bukan hanya diculik, tetapi disiksa, sampai akhirnya Marsinah terbunuh dengan tubuh penuh luka yang menggiriskan hati. Itu resiko yang harus dihadapi tiap aktivis di masa itu.
Budiman Sudjatmiko tentu menyadari resiko itu dan dia masih berani berjuang. Ini bukti idealisme dari seorang Budiman Sudjatmiko.
Bahwa Budiman Sudjatmiko sudah berkembang menjadi semakin dewasa dan bijak, serta memilih jalan yang berbeda untuk dia berjuang. Dari seorang aktivis menjadi seorang politikus, itu adalah bagian dari jalan hidupnya.
Namun saya percaya, idealisme yang sama, masih menjadi penerang bagi dia dalam dia berjalan.