JIS : Stadion Internasional Dengan Citarasa SD Inpres di Era Orba

Di masa “Orde Pembangunan”, sebutan yang lebih santun untuk menandai era Orde Baru. Program prioritas utama Pak Harto untuk mengangkat sisi kemajuan sosial ekonomi masyarakat selalu ditandai dengan kata “Inpres”. Arti harafiahnya adalah Instruksi Presiden, tujuan pokoknya adalah percepatan menuntaskan masalah baca dan tulis pada penduduk Indonesia yang masih banyak buta huruf. Pertamakali dibangun di tahun 1973 atas ide ekonom Widjojo Nitisastro.

Sedemikian masif-nya pembangunan SD Inpres, tercatat hingga akhir tahun anggaran 1993/1994 telah terbangun 150.000 SD Inpres di seluruh pelosok Indonesia. Ironisnya walau kemudian Soeharto mendapat penghargaan dari UNESCO dalam bingkai Avicenna Awards. Justru trio peneliti dari AS, yaitu Esther Duflo, Abhjit Banarjee, serta Michael Kremer yang mendapatkan hadiah Nobel 2019 di bidang perekonomian. Ketiga membuktikan efektivitas program ini untuk mampu meningkatkan taraf pendidikan dan pendapatan masyarakat miskin.

Di balik keberhasilan tersebut, tak dapat dipungkiri buruknya kualitas pembangunan fisik dan tingginya tingkat korupsi di dalamnya. Sedemikian buruknya kualitas bangunan SD INpres, hingga tak kurang Suharto di awal program ini. Saat meninjau sebuah SD Inpres di Cilacap, ia menendang sebuah tembok bangunan SD setempat sampai ambruk. Tapi demikianlah “fenomena baku” di negeri ini, tampak galak dan kritis di awal program tapi kemudian loyo dan kompromis di waktu2 selanjutnya.

Labeling dan stigma SD Inpres selalu berkualitas buruk, dibangun asal-asalan, dan penuh manipulasi tetap bertahan hingga hari2 terakhir masa Orde Baru.

Sialnya setelah tibanya Orde Reformasi, fenomena tersebut berlanjut pada pembangunan infrastruktur yang bersifat publik. Bukan pada ukuran “sekolah kecil” atau “pasar desa” lagi, tapi berlanjut pada bangunan mega-proyek berskala besar. Stadion adalah salah satu yang menjadi “lahan bancakan”. Nyaris di tiap daerah yang berinsiatif membangun stadion berskala besar, mengalami kendala yang sama. Kegagalan yang sudah dimulai sejak buruknya perencanaan, kesalahan pemilihan lokasi, kapasitas tempat duduk stadion, bahkan yang paling parah adalah rendahnya mutu pembangunan konstruksinya.

Trend baru yang menjadikan sepakbola sebagai “anak emas” cabang olahraga, memaksa banyak ibukota provinsi yang kemudian diikuti banyak kota sekelas kotamadya membuat proyek stadion baru. Beberapa di antara dibangun, melulu hanya menyambut perhelatan nasional, khususnya PON. Namun setelah momentum itu lewat, stadion mangkrak tak terurus oleh berbagai alasan. Dua diantaranya yang paling parah adalah Stadion Palaran di Samarinda dan Stadion Utama Riau di Pekanbaru. Padahal dana yang telah diserap untuk membangunnya mencapai angka trilyun.

Sementara belasan stadion lainnya mangkrak, tak sampai 100% jadi secara konstruksi. Sebut saja Stadion Barombong Di Makassar, Stadion Watu Belah di Cirebon, dan Stadion Mangunreja Tasikmalaya. Bahkan dua stadion yang menjadi kebanggan kota dengan fans base suporter gila, yaitu Stadion Bandung Lautan Api di Bandung dan Gelora Bung Tomo di Surabaya, baru bisa digunakan jauh waktu setelah selesai dibangun. Karena sempat dianggap tidak memiliki standar keamanan yang cukup untuk dihadiri banyak penonton.

Dan kasus serupa juga terulang pada Stadion Jakarta International Stadion (JIS), yang digadang2 sebagai stadion termegah dan terbesar secara kapasitas penonton. Penggunaan stadion ini justru ditolak PSSI, sebagai stake holder persepakbolaan nasional karena berbagai alasan yang sesungguhnya sangat masuk akal. Namun sekali lagi, karena faktor favoritisme, stadion yang dianggap para pendukungnya sebagai “Monumen Anies Baswedan” ini memang menyimpan banyak cacat dan luka, sejak awal dieksekusi di tangan Gubernur yang naik jabatan melalui sentimen keagamaan itu.

Stadion JIS sendiri bukanlah sebuah gagasan yang sekali jadi, tapi sudah bermula lama sejak era Sutiyoso. Tapi baru mulai dieksekusi secara nyata dalam arti memilih lokasi di Taman BMW Jakarta Utara pada masa Fauzi Bowo. Lokasi ini pada mulanya adalah kawasan gubuk liar, yang digusur dalam beberapa tahap. Namun eksekusi pembangunannya dari masa Jokowi, Jarot Syaiful Hidayat bahkan saat sudah mulai dibangun secara riil di era Anies, selalu terganggu masalah sengketa lahan yang tak berkesudahan.

Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu dasar kenapa stadion ini menjadi tidak layak sebagai venue olahraga internasional. Pembangunannya memang tetap dilanjutkan sampai tuntas, tetapi dengan menyisakan berbagai kontroversi. Proyek stadion JIS tersebut hampir mangkrak pada 2020. Penyebabnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI tidak mampu membiayai. AB lalu meminta bantuan Pemerintah Pusat yang menyalurkan dana melalui bantuan lewat dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 3,6 triliun.

Artinya dari total anggaran JIS sebesar Rp 4,5 triliun, biaya sebesar 80% pembangunan JIS berasal dari pemerintah pusat. Jadi jika ada klaim bahwa JIS adalah mahakarya AB maka hal tersebut bukan saja omong kosong, tetapi juga sangat berlebihan…

Sayangnya, sekali sayangnya karena bantuan dari Pemerintah Pusat ini pula lah aroma megaproyek ini akhirnya tak lebih pembangunan SD Inpres di masa Orde Baru. Hanya beberapa waktu setelah diresmikan, beberapa bangunan pagar di dalamnya sudah ambrol saat pertama kali dihadiri penonton. Stadion ini menjadi hiperbolik, justru saat digunakan sebagai lokasi Sholat Ied yang mewajibkan hadir seluruh ASN di lingkungan Pemrov DKI Jakarta, yang absurdnya harus “dipaksakan” dengan menggunakan sistem wajib absen segala.

Dan puncaknya tentu saja adalah penolakan dari PSSI sendiri untuk menggunakan stadion tersebut untuk pertandingan yang berstatus FIFA Matchday. Persoalannya menjadi lucu, karena argumentasi rasional adalah hal yang sesungguhnya bisa diantisipasi sejak awal pembangunan. Seperti akses bus pemain tidak dapat masuk sampai ke pinggir lapangan agar pemain tidak diturunkan dalam area umum yang rawan bagi keamanan pemain. Dan yang paling mencolok adalah akses keluar masuk stadion juga hanya satu, sehingga menurut PSSI sangat rawan bila bubaran pertandingan!

Walhasil, stadion tersebut menuai banyak penolakan. Gagal jadi tuan rumah Piala Dunia U 20, bahkan sekedar untuk menjadi home base Persija sebagaimana tujuan awal dicanangkan. Bahkan di tingkat nasional pun, stadion ini gagal mencapai standar minimal Liga 1, yang tentu saja diikuti kegagalan mencapai standar FIFA.

Akibatnya sejumlah pertandingan “prestisius” yang semula direncanakan untuk menandai megaproyek ini gagal dilaksanakan. Antara lain: Kualifikasi AFC, batal menjadi venue saat Timnas menghadapi Kesebelasan Curacao, bahkan akibat rendahnya kualitas stadion ia batal saat ingin mendatangkan kesebelasan Barcelona & Juventus.

Sulit dipahami secara akal sehat, bagaimana mungkin perihal ini bisa terjadi di ibukota Jakarta. Satu2nya cara memahami, ini jadi mungkin karena dieksesusi di era Anie Baswedan. Seorang figur yang hanya pandai menata kata, daripada menata kota. Sekelas Gubernur tapi memperankan dirinya seolah Presiden.

Karena profilingnya yang sok Presiden itulah, walhasil stadion senilai 4,5 Trilyun ini, kualitasnya tak lebih sebuah SD Inpres di masa Orde Baru….
.
.
.
NB: Bagian yang tak terendus dari Proyek JIS ini adalah desain master plan yang dibikin oleh Biro Happold, sebuah konsultan dari Inggris yang digadang sebagai sudah banyak pengalaman. Berdasar desain yang mereka buat, stadion ini memang tidak menyiapkan lahan parkir mobil yang banyak, terbatas sekitar 800 buah mobil saja. Alasannya tentu saja, mengikuti tren stadion-stadion besar di Eropa saat ini.

Hal ini didasarkan kepada konsepsi penintegrasian dengan sarana transportasi publik, seperti: busway, commuter line (mikrolet) dan LRT. Hanya saja saat stadion ini mau dioperasikan, transportasi yang siap baru busway dengan kapasitas parkir sebanyak 6 bis. Mikrolet sebagai moda jangkar dari beberapa stasiun kereta api terdekat, yang berjumlah sekitar 100 bh. Sedangkan LRT saat ini belum ada. Suatu perhitungan yang bukan saja sembrono, tetapi menunjukkan ketidak-profesional mereka.

Stadion ini sama sekali tidak memperhitungkan, bagaimana penonton untuk secara mudah, aman, dan nyaman mengaksesnya. Bagaimana moda transportasi yang tersedia untuk melayani 82.000 penonton tersebut. Lalu jika minat penonton tinggi dan diperkirakan akan memenuhi stadion, butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi tempat duduk?

Padahal berdasarkan standar Andalalin Jakarta, ratio untuk 10.000 tempat duduk lapangan olahraga membutuhkan 540 buah parkir. Jadi untuk JIS bila mengikuti standar ini butuh 4.428 parkir, sementara yang tersedia hanya 800 buah. Lalu bagaimana dengan parkir motor? Jangan tanya bisa jadi tidak ada! Stadion internasional macam apa pula ini?

Bagi saya ini, sejenis nostalgia kasus SD Inpres dimana di masa itu. Analoginya sekolah tak perlu menyiapkan fasilitas umum, yang penting proyek jadi, da, dan yang penting pengampunya untung banyak.

Sejarah yang berulang: Dulu SD Inpres, sekarang Stadion Inpres.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *