Film ‘Social Dilemma’ pertama kali release Januari 2020. Film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski ini dikemas dalam bentuk dokumenter, menampilkan wawancara dengan sejumlah ahli sosial media dari Silicon Valley. Para ahli tersebut mengingatkan tentang dampak membahayakan sosial media terhadap jejaring sosial manusia, yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar tersebut untuk memanipulasi dan mempengaruhi masyarakat demi kepentingan bisnis mereka.
Fim Social Dilemma bercerita bahwa perusahaan-perusahaan sosial media sukses dengan cara mengikat sebanyak mungkin ketergantungan para penggunanya. Mereka mengumpulkan data dalam jumlah besar (big data). Di mana kemudian dengan itu semua (big data dan kemampuan mengendalikan pengguna), perusahaan sosmed itu menjualnya pada penawar tertinggi. Pernyataan yang sangat tepat untuk melukiskan situasi ini adalah,
“If you are not paying for the product, you are the product.” – Jika anda tidak perlu membayar untuk memakai suatu produk, maka jangan-jangan, andalah produknya.
Judul ‘Social Dilemma’ menggambarkan perasaan para mantan eksekutif perusahaan-perusahaan sosial media besar itu, ketika mereka harus memilih apakah mereka akan terus bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka demi bayaran yang telah mereka terima, walau sebagai akibatnya, perusahaan-perusahaan mereka itu telah banyak merugikan masyarakat, atau memilih untuk membuka apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja tersebut.
Dalam film ‘Social Dilemma’ ini, salah satu hal yang menarik adalah bagaimana sosial media berperan dominan dalam menciptakan perpecahan dalam masyarakat – menajamkan polarisasi sosial.
Sosial media selalu memberi usernya asupan materi-materi yang sesuai dengan preferensi user. Itu algoritma media sosial.
Dalam konteks perseteruan sosial, yang berujung menajamnya polarisasi sosial, kejadiannya akan mengikuti pola demikian:
Seseorang punya preferensi tertentu. Dicekoki sosmed demgan berita2 yang sesuai preferensinya karena itu memang algoritma medsos. Orang tersebut makin yakin kebenaran pandangannya karena dia berpikir bahwa berita yang dia baca semua berkisah demikian. Tapi hal sebaliknya pun terjadi pada kubu sebelah. Sedemikian hingga masing2 kubu makin bergerak ke titik ekstrim karena yakin dirinya paling benar sedunia.
Fenomena tersebut terbukti beberapa waktu belakangan ini.
Sosial media membuat orang bodoh makin bodoh tanpa merasa dirinya bodoh, karena merasa keyakinan kelirunya itu disupport terus-menerus dengan berita-berita yang muncul di timeline sosmednya.
Film ‘Social Dilemma’ mengajarkan pada kita untuk selalu waspada dalam pemanfaatan sosial media. Termasuk waspada menandai mana berita hoax dan berita yang dapat dipercaya. Kita harus memiliki kepekaan mengenali tamda-tanda suatu berita tak dapat dipercaya. Dalam mengenali berita yang dapat dipercaya dan tidak, kita harus bisa membedakan antara fakta dan opini.
Fakta adalah pernyataan tentang data sesuatu, atau tentang kejadian nyata yang benar-benar terjadi. Fakta sulit disanggah dan dapat dicek kebenarannya. Dalam suatu fakta, pernyataan satu orang dengan orang lainnya akan sama karena kejadiannya memang jelas demikian. Sedang opini adalah sikap atau pendapat seseorang mengenai sesuatu yang telah atau belum terjadi. Opini bersifat subjektif karena sangat dipengaruhi oleh preferensi, perasaan, perspektif, pengalaman atau keyakinan setiap orang.
Berkaitan dengan kejadian yang baru terjadi, misalkan kejadian penangkapan sejumlah warga di desa Wadas. Berikut adalah contoh fakta dan opini terkait berita tersebut. Contoh fakta, sebanyak 60 warga dibawa polisi. Penggunaan kata ‘ditangkap’, ‘diamankan’, ‘dibawa’ akan memberikan nuansa makna yang berbeda-beda. Berkaitan dengan fakta, pilihan kata harus menyatakan secara jelas apakah warga tersebut ditahan atau hanya diamankan agar keadaan tidak makin ricuh. Sedang contoh opini: ada dugaan bahwa pemaksaan perampasan tanah warga desa Wadas bukan hanya karena desa Wadas akan ditambang batu andesitnya untuk pondasi Waduk Bener yang akan dibangun di daerah itu. Ditengarai, banyak cukong yang telah bersiap-siap untuk memperjualbelikan batu andesit di desa Wadas karena diprediksi berkualitas premium.
Terhadap fakta, berita yang keliru menuliskan fakta itu adalah fatal. Jika itu terjadi, maka ada indikasi dilakukannya framing. Sedangkan orang bebas saja beropini. Tapi sebagai pembaca, kita harus tahu bahwa itu hanyalah sekedar opini.
Mengambil contoh kasus desa Wadas kembali, berikut adalah contoh framing yang penulis temukan beredar masif dari grup wa satu ke grup wa lain:
Dengan memakai data yang pernah direlease oleh Kementerian ESDM di tahun 2020 yang menyatakan bahwa cadangan terkira batuan andesit di Indonesia mencapai 18.98 miliar ton dan cadangan terbukti adalah mencapai 262.7 juta ton, dilakukan framing. Suatu artikel yang dikeluarkan CNBC Indonesia dishare berulang kali antar grup wa dengan caption yang menjerumuskan. Pada paragraf 5 artikel CNBC Indonesia tersebut tertulis,
“Belum diketahui berapa potensi cadangan batuan andesit yang ada di Desa Wadas, Purworejo tersebut. Namun hasil penelusuran CNBC Indonesia berdasarkan data Kementerian ESDM di tahun 2020 tercatat bahwa cadangan terkira batuan andesit di Indonesia mencapai 18,98 miliar ton dan cadangan terbukti mencapai 262,7 juta ton.”
Data kandungan andesit untuk Indonesia itu ditulis ulang pada caption sebagai data cadangan batu andesit di Desa Wadas. Tentu saja dengan membandingkan kebutuhan untuk pondasi Waduk Bener yang hanya 18.5 juta meter kubik, tampak bahwa kandungan batu andesit di Desa Wadas tersisa banyak untuk dimanfaatkan untuk hal lain. Framing kemudian mengarah bahwa ada pihak-pihak yang dekat dengan penguasa yang akan mencari untung dari kandungan andesit desa Wadas dengan alibi Waduk Bener. Demikian magnitude masalah penyulut kebencian diceritakan.
Adapun tentang hoax, seorang teman mengajarkan beberapa tips mengenali berita yang hoax dan bukan. Katanya,
“Begini,
1. Berita yang mengabarkan kejadian yang benar terjadi, pasti diberitakan oleh semua media, terutama media mainstream. Tidak mungkin peristiwa besar hanya diketahui satu media saja.
2. Mengidentifikasi kontennya, logis atau tidak? Setiap isu ada berita-berita sebelumnya. Terlebih berita ekonomi, ada indikator-indikator yang pasti dan jelas.
3. Identifikasi nara sumbernya. Apakah dia berkompeten membuat pernyataan yang diangkat jadi berita? Kalo kompeten, dia bukan kali itu saja menjadi nara sumber, apakah ada kesesuaian yang konsisten dengan pernyataannya sebelumnya.
4. Identifikasi medianya. Media yang bertanggung jawab harus mencantumkan siapa saja awak redaksinya, alamat kantornya, siapa pemiliknya.
5. Setiap kita punya referensi (sesedikit apapapun) tentang isu yang diangkat pada satu berita. Adakah berita itu sesuai dengan referensi kita?
6. Cek silang dengan website lembaga yang disebutkan atau yang terkait.”
Demikian, semoga semakin banyak orang yang melek literasi, sehingga mampu membedakan mana berita hoax, berita yang dapat dipercaya, berita yang berniat menghasut dan sebagainya, sehingga kehidupan bernegara dapat menjadi lebih damai, kondusif dan lebih beradab.
Rani Rumita