Kecerdasan Sosial: Bukan Kemampuan Supranatural Tapi Mampu Mempengaruhi Orang Lain dan Sulit Tertipu

Selalu menjadi pertanyaan saya, seberapa supranatural-kah manusia… atau apakah pada dasarnya manusia punya mempunyai kemampuan supranatural..? Ini salah satu pertanyaan yang sering saya renungkan pada diri sendiri. Jawabannya pastinya tidak pernah benar-benar saya tahu.

Di penghujung tahun 90an, saat pertama membaca Harry Potter, saya justru berimajinasi seandainya benar-benar memiliki kemampuan sihir seperti buku itu. Imajinasi itu berujung kesadaran tentang diri saya yang ‘squib’, a non-magical person. Tidak punya kemampuan supranatural, apalagi menyihir.

Hasil searching AI, supranatural ternyata didefinisikan sebagai hal-hal yang melampaui keberadaan alam semesta yang terlihat, ajaib, gaib, adikodrati. Sementara sejak kecil saya mengartikan Kemampuan supranatural nyaris seperti arti sihir. Intinya, mampu melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan manusia biasa, dan entah mengapa, selalu tentang bagaimana mewujudkan keinginan yang absurd. Kemampuan supranatural selalu membuat saya memikirkan telepati, lalu pelet dan santet. Pemahaman yang khas Indonesia. Hasil bentukan menonton film dan komik horor lokal di masa kecil. Belakangan, kemampuan membaca pikiran orang mulai saya anggap kemampuan supranatural juga.

Kemudian, awal tahun 2000an, saya mengenal buku The Secret karya Rhonda Byrne. Bagi saya ini bukan sekadar buku motivasi, inilah buku supranatural yang pertama. Buku sihir, tentang mewujudkan keinginan kita dengan rajin berpikir dan memvisualisasikannya seolah-olah sudah terjadi. Ternyata sihir tidak melulu hal-hal yang menyangkut dukun dan nenek sihir. Thinking about certain things will make them appear in one’s life.

Konsekuensinya, stop berpikir bahkan berkata buruk, demikian tulis buku tersebut yang diikuti buku-buku motivasi lain. Bila perlu, nyatakan yang hebat-hebat tentang diri kita agar menjadi nyata. Ingat, Yuni Shara berhenti menyanyikan lagu-lagu berlirik galau, karena tidak ingin hidupnya menjadi ‘gelas-gelas kaca’.

Masalahnya kemudian, nilai-nilai yang dianut di sekitar kita menuntut kita untuk merendah. Kita lebih nyaman melihat seorang Raditya Dika yang selalu menggambarkan dirinya jelek, bodoh, dan selalu sial. Tentu saja itu gambaran Radit dalam film-film komedinya. Menutupi fakta sesungguhnya, sebagaimana yang diucapkan Panji dan banyak komika lainnya, bahwa Radit seorang yang serius, sangat serius, kutu buku dan pemikir berat. Serupa Radit, dalam suatu wawancara serius, Vicky Prasetya ternyata berbahasa Indonesia dengan baik dalam kalimat-kalimat cerdas, tanpa mencampurnya dengan bahasa Inggeris ngasal. Kita ternyata tertipu, mengira Radit dan Vicky beneran oon.

Agar tidak tertipu, kita menginginkan bisa membaca pikiran orang lain. Dalam buku Social Intelligence karya Daniel Goleman, dikatakan, bersikap tidak jujur tentang apa yang kita rasakan, jarang bisa berhasil mulus. Otak manusia ternyata memiliki sirkuit peringatan dini yang memindai ketidaktulusan, sirkuit kecurigaan.

Radar saraf tertentu bereaksi terhadap kecurigaan. Radar lainnya bereaksi pada empati dan hubungan baik. Jika seseorang melihat orang bersedih, amigdala akan mengaktifkan sirkuit kelistrikan otak tentang kesedihan. Namun, jika kontradiksi terjadi, semisal melihat orang tersenyum saat mengalami kesedihan, maka otak akan mengaktifkan sirkuit kecurigaan. Bagi otak, kontradiksi ini adalah ancaman sosial karena mengandung informasi yang bertentangan.

Amigdala dipercaya sebagai bagian otak yang berperan dalam mengelola reaksi emosi, khususnya pada emosi negatif, rasa takut serta deteksi bahaya. Secara otomatis amigdala akan memindai setiap orang yang kita temui: apakah mereka bisa dipercaya atau tidak, apakah aman mendekati orang ini, apakah bisa diandalkan untuk membantu… pertanyaan-pertanyaan serupa. Riset menunjukkan bahwa orang-orang yang amigdala-nya mengalami kerusakan, tidak mampu menilai apakah seseorang bisa dipercaya atau tidak. Kelompok yang gampang menjadi korban penipuan.

Goleman kemudian mengisahkan tentang kasus Giovanni Vigliotto yang telah memperdaya begitu banyak perempuan kaya untuk dipoligami. Vigliotto telah menikahi lebih dari seratus perempuan, hingga akhirnya salah satu korban menuntut Vigliotto ke pengadilan. Sidang di pengadilan membuka fakta tentang pesona Vigliotto yang mampu memperdaya para perempuan. Salah satu korban mengungkapkan tentang kebiasaan Vigliotto menatap langsung para perempuan tepat di matanya, tersenyum, dan tetap menatap dengan tenang saat berbohong.

Para pakar emosi sendiri telah menemukan bahwa emosi bisa dibaca dari tatapan mata. Orang yang merasa sedih, tidak suka, merasa bersalah, rasa malu, atau bahkan menutupi perasaan cinta, akan mengalihkan tatapan matanya. Tentu saja dengan cara yang berbeda-beda untuk setiap emosi tersebut. Sementara Vigliotto memiliki sifat alami seorang penipu, trampil menatap mata seseorang saat sedang berbohong.

Apa yang dilakukan Vigliotto itu jelas ketrampilan yang sulit dilakukan sembarang orang. Pada umumnya pembohong biasa hanya akan memaksimalkan penggunaan kata dan kalimat persuasif, namun tetap kurang mampu mengendalikan ekspresi mereka. Pembohong ternyata menjawab pertanyaan lebih lambat daripada seseorang yang jujur. Goleman, dalam buku itu menulis fakta yang menarik. Seseorang yang berbohong akan merespons setiap pertanyaan dalam waktu dua persepuluh detik lebih lambat daripada seorang yang jujur. Kesenjangan waktu itu menunjukkan usaha untuk merekayasa informasi.

Maka kemudian Goleman menulis, tak ada detektor kebohongan yang mutlak benar, namun kita bisa mengenali kebohongan antara lain saat emosi seseorang tidak cocok dengan kata-kata yang sedang diucapkannya. Semua ini karena emosi dikendalikan oleh pikiran bawah sadar, sementara berbicara, menjelaskan sesuatu, ditentukan oleh pikiran sadar.

Goleman sendiri menjelaskan tentang pikiran bawah sadar sebagai ‘jalan rendah’ yang digunakan dalam kerja otak. Jalan rendah ini akan beroperasi otomatis dan spontan tanpa memerlukan pengetahuan. Sebaliknya pikiran sadar, atau yang disebut Goleman sebagai ‘jalan tinggi’, bekerja secara metodis, setahap demi setahap, dan bersifat sengaja. Kita dapat mengendalikan ‘jalan tinggi’ ini. Bila ‘jalan rendah’ sarat dengan emosi, ‘jalan tinggi’ sebaliknya. Bersifat tenang dan rasional.

Penjelasan-penjelasan dari buku Goleman bukan saja membuat saya terus menyimak, membaca pikiran dan emosi manusia ternyata bukan supranatural dan bisa dijelaskan sains. Alamiah. Logis. Termasuk juga tentang kemampuan mempengaruhi orang lain. Fenomena pelet dan santet.

Ada rangkaian sirkuit yang disebut ‘neuron cermin’ pada manusia. Saraf-saraf yang memantulkan kembali tindakan orang lain yang kita lihat. Membuat kita menirunya atau memacu hasrat untuk melakukannya. Pekerjaan neuron cermin inilah yang kemudian diungkap dalam pepatah, “Bila engkau tersenyum semua orang akan tersenyum.”

Masih banyak sistem saraf serupa neuron cermin yang belum terpetakan. Sistem yang memberikan penjelasan tentang adanya penularan emosi dan sinkronitas. Tubuh kemudian akan melakukan penyelarasan melalui pola-pola halus terhadap siapa saja yang berinteraksi dengan kita. Interaksi paling dasar manusia bisa kita lihat dari hubungan bayi dan ibunya. Mengapa ini terjadi, karena pada dasarnya saraf memiliki semacam Wifi. Pemancar.

Daniel Goleman sebelumnya terkenal dengan bukunya Emotional Intelligence. Emotional Intelligence berfokus pada mengelola dan mengembangkan potensi batiniah kita agar siap membangun relasi positif dengan orang lain. Psikologi satu orang. Sementara Social Intelligence melibatkan psikologi dua orang: memahami apa yang terjadi ketika kita berhubungan dengan orang lain.

Buku Social Intelligence ini menurut Goleman, adalah penjelasan tentang cabang ilmu saraf yang baru muncul. Ilmu saraf sosial (social neuroscience). Ilmu saraf yang memotret tentang ‘kerja otak sosial’, sistem sirkuit saraf yang bekerja saat kita berinteraksi. Tujuannya untuk memahami bagaimana otak menggerakkan perilaku sosial dan kemudian dunia sosial memengaruhi otak dan biologi kita. Temuan ilmu baru ini mencengangkan, ternyata ada kaitannya keterlibatan seseorang dalam relasi negatif dengan lonjakan hormon stress sampai ke tingkat yang merusak gen-gen tertentu pengendali sel-sel pelawan virus.

Otak sosial menjadi satu-satunya sistem biologis dalam tubuh kita yang terus menerus dipengaruhi dan menyelaraskan diri dengan kondisi batin orang-orang yang bersama kita. Setiap kali kita berinteraksi langsung face to face, ataupun dari voice to voice, atau lebih jauh lagi skin to skin dengan orang lain, otak sosial kita saling mengait. Saling mempengaruhi, bereaksi timbal balik.

Di sinilah kemudian menurut Goleman, makna kecerdasan sosial menjadi lebih luas dari sebatas kemampuan untuk memahami orang lain. Hanya fokus pada kemampuan diri sendiri, sehingga kerap membuat seseorang terjebak menjadi manipulatif demi mencari keuntungan pribadi.

Kecerdasan sosial menilai kualitas suatu relasi melampaui kepentingan diri yang sempit, tetapi juga mengupayakan kepentingan yang baik bagi orang lain. Menekankan pada kemampuan empati dan kepedulian manusia. Psikolog Edward Thorndike, yang dikutip Goleman karena merumuskan arti kecerdasan sosial, memberi wejangan, “Bertindaklah bijak dalam hubungan antar manusia.” Mengapa, karena respon sosial otak kita dituntut untuk menjadi bijak, karena bukan cuma suasana hati kita saja yang dipengaruhi interaksi kita dengan orang lain, tetapi biologi tubuh kita.

Bayangkan bila suatu wilayah, apalagi suatu bangsa, diliputi relasi-relasi negatif. Manipulasi, intimidasi, korupsi…. hiiii….. pasti mengerikan masa depan bangsa itu. Atau, seandainya hari ini ada masyarakat yang terpuruk, bisa jadi inilah efek dari kecerdasan sosial masyarakatnya yang masih rendah.

Saya teringat betapa banyak penipu berjubah malaikat. Memanipulasi banyak orang, sehingga menjadikan mereka pelaku kejahatan yang amat sangat tersamar. Semua tertipu, tanpa menyadarinya.   Sampai di sini saya terdiam. Awalnya saya membaca Goleman sebagai bagian upaya saya memahami supranatural manusia. Ujung-ujungnya, saya justru berpikir tentang bangsa yang menang dan bangsa yang kalah. Bangsa yang survive  dan bangsa yang punah. Bangsa yang tidak mampu saling berinteraksi dengan baik, kehilangan empati dan kepedulian, penuh orang manipulatif tanpa masyarakat mampu memindainya….. Amit-amit jabang bebong.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *