Tanggal 21 Juni adalah hari ulang tahun Presiden Jokowi. Kebetulan pula Bulan Juni menjadi bulan kelahiran Presiden pertama dan kedua Indonesia. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Ada baiknya di bulan Juni ini kita membahas ketiganya. Menjelang Pilpres 2024 yang makin makin dekat, apa yang menjadi legacy ketiganya hendaknya menjadi inspirasi bagi Presiden berikutnya.
Sebagai proklamator Indonesia, dan menjadi salah satu figur sentral perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, Presiden Soekarno adalah contoh negarawan yang disegani dunia. Nyaris sulit dibayangkan apakah Indonesia dapat merdeka bila tak ada Presiden Soekarno. Kecintaannya pada tanah air ditunjukkannya dengan merumuskan nilai dasar bangsa ini yaitu Pancasila. Pancasila pula yang menjadi bangunan dasar pemersatu Bangsa Indonesia. Presiden Soekarno meletakkan dasar-dasar patriotisme dan nasionalisme bukan hanya bagi bangsanya, tetapi juga membangkitkan kesadaran anti kolonialisme di negara-negara lain di Asia Afrika.
Karya monumental Presiden Soekarno selain Pancasila adalah diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Dari Konferensi Asia Afrika ini lahir Gerakan Non-Blok, yaitu negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu. Negara Non-Blok mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur dalam perang dingin. Presiden Soekarno sendiri didaulat menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok. Keberhasilan Presiden Soekarno yang lain adalah menarik wilayah Papua Barat menjadi bagian Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963.
Salah satu legacy terbesar Presiden Soekarno adalah membangun karakter bangsa. Berkat Presiden Soekarno, rakyat Indonesia bangga akan identitas kebangsaannya, bahkan tak segan-segan turun ke medan tempur untuk mempertahankan kemerdekaan di masa awal proklamasi. Lebih dari semuanya, Presiden Soekarno adalah pendiri negara ini.
Presiden Soeharto membangun Indonesia dalam bentuk yang lain. Awalnya ia dikenal sebagai jenderal yang pendiam dan sederhana, meski belakangan menjadi garang. Awal masa kepemimpinannya ia membangun ekonomi melalui tahap-tahap pembangunan yang dikenal sebagai Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Program Pelita ini mendapat banyak pujian dunia dan menjadi patron negara-negara berkembang. Pembangunan awal menitikberatkan pada sektor pertanian serta pembangunan kondisi ekonomi makro Indonesia yang carut marut dilanda hyper inflasi. Kemudian setapak demi setapak membangun sektor industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Puncaknya adalah keberhasilan Indonesia berswasembada pangan di tahun 1984.
Berbeda dengan Presiden Soekarno yang dianggap sebagai salah satu tokoh dunia, Presiden Soeharto tak terlalu fokus pada politik luar negeri. Kiprahnya hanya sebatas ASEAN. Ia pun tak terlalu banyak menggaungkan tentang pentingnya kemandirian bangsa, alih-alih anti imperialisme. Hanya kepada komunisme Presiden Soekarno bersikap keras. Belakangan Presiden Soeharto secara berlebihan memberi stigma komunis pada lawan-lawan politik dan mereka yang berseberangan dengannya. Penegakan HAM yang lemah menjadi salah satu kekurangan Presiden Soeharto
Presiden Soeharto cenderung memegang tampuk pemerintahan dengan tangan besi, bahkan pada tahun-tahun terakhir membiarkan anak-anaknya menjadi konglomerat yang menguasai proyek-proyek pemerintah. Namun Presiden Soeharto berhasil menstabilkan ekonomi serta meletakkan pondasi bagi terpenuhinya kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia sekaligus membangun industri yang berorientasi ekspor. Indonesia pun menjadi negara yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Sayang pada periode akhir pemerintahannya diwarnai dengan kemerosotan ekonomi yang berujung pada krisis moneter di tahun 1998.
Lalu bagaimana dengan Presiden Jokowi? Dalam artikel The Jakarta Post 13 April 2019 berjudul Taking Indonesia beyond Sukarno and Presiden Soeharto, Thomas Zilliacus menulis:
“In a sense, Presiden Jokowi draws on the strengths of former presidents Sukarno and Soeharto, the two founding figures of contemporary Indonesia.” Presiden Jokowi adalah perpaduan kelebihan-kelebihan dimiliki Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Dulu Presiden Soekarno mencetuskan Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok sebagai manifestasi bangkitnya harga diri dan kedaulatan bangsa-bangsa yang dahulu terjajah di Asia Afrika, sekaligus keinginan untuk terciptanya perdamaian dunia dengan tidak terlibat memihak perseteruan Barat dan Timur dalam masa perang dingin. Membangun martabat dan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka dan menjaga perdamaian sebagai legacy Presiden Presiden Soekarno pada Indonesia, menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh Presiden Jokowi dan menjadi titik persamaan antara keduanya.
Di tahun 2015, Presiden Jokowi mengadakan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Tujuannya tak hanya untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut tetapi juga membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika (New Asia-Africa Strategic Partnership) sehingga memicu kerja sama baru. Bila dulu Konferensi Asia Afrika adalah “inkubator bagi negara-negara berkembang untuk merdeka“, dengan peringatan 60 tahun KAA menjadi“inkubator kerjasama” baru.
Indonesia pun aktif dalam Kelompok G20. Forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Tahun ini Indonesia bahkan dipercaya menjadi Presidensi G20.
Di dalam negeri, seperti juga Presiden Soekarno, Presiden Jokowi banyak memberi perhatian pada pembangunan karakter bangsa, setelah sebelumnya banyak terlupakan. Presiden Jokowi mengenalkan Revolusi Mental. “Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” Demikian awalnya gagasan revolusi mental dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956.
Presiden Jokowi kemudian menerjemahkan Revolusi Mental sebagai membangun jiwa bangsa. Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Keseriusan dan kebijakannya dalam membangun karakter bangsa menjadikan Jokowi adalah Soekarnois sejati. Membangkitkan harapan-harapan bangsanya dan merasa terhormat di tengah dunia. Presiden Jokowi sendiri adalah bukti keberhasilan sistem kenegaraan dan politik di Indonesia, sehingga seorang warga negara biasa, dengan latar belakang keluarga biasa, tak memiliki privileges khusus, mampu menjadi Presiden Indonesia. Ini menjadi titik keserupaan Presiden Jokowi dengan pendahulunya Presiden Soeharto. Presiden Soeharto pun terlahir sebagai anak petani dari kalangan biasa.
Titik berat Presiden Soeharto saat mengambil alih kepemimpinan Indonesia adalah pemulihan ekonomi. Presiden Soeharto memulainya dengan menjamin ketersediaan sandang dan pangan. Dengan upaya yang dilakukan Presiden Soeharto itu, harga-harga kebutuhan pokok bisa terjangkau. Kemudian Presiden Soeharto membangun sektor pertanian dengan teknologi tepatguna yang ramah bagi petani. Presiden Soeharto juga membangun pembangkit-pembangkit listrik dan membuat seluruh pelosok Indonesia dialiri listrik sehingga mampu menggerakkan perekonomian. Ia pun banyak membangun jalan dan juga sekolah-sekolah Inpres di tempat-tempat terpencil.
Serupa dengan Presiden Soeharto, Presiden Jokowi terkenal sebagai Presiden yang paling masif dalam melakukan pembangunan dan program-program peningkatan kesejahteraan. Jalan tol, bendungan, dan banyak sarana dan prasarana infrastruktur penting dibangun oleh Jokowi. Tak lupa juga dengan aneka program kesejahteraan mulai dari Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan serta memastikan program Jaminan Kesehatan berjalan lancar dan semakin baik dari hari ke hari.
Dalam upaya mencapai kedaulatan bangsa, Presiden Jokowi juga meneladani Presiden Soekarno dengan mengambil alih konsesi pertambangan dari tangan asing, mulai dari Blok Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, hingga 51 persen saham Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Sejumlah prestasi Presiden Jokowi yang menunjukkan keberaniannya adalah Tax Amnesty dan keberanian memangkas subsidi BBM. Presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama memuji kebijakan ini sebagai langkah berani dan tidak populer. BBM selalu membebani anggaran negara hingga ratusan triliun rupiah. Dengan memangkas subsidi, pemerintah bisa mengalihkannya untuk membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur inilah yang menjadi salah satu prestasi paling menonjol dari Presiden Jokowi.
Hingga sering dikatakan, bila ada yang mampu melakukan apa yang dilakukan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sekaligus, maka Presiden Jokowi lah orangnya. Bila awal menjabat, Presiden Jokowi kerap berurusan dengan kasus-kasus fundamentalisme dan radikalisme beragama di masyarakat, dalam periode keduanya sebagai Presiden, masalah tersebut perlahan tertangani. Ormas-ormas garis keras dibubarkan. Tokoh-tokoh pemecah belah bangsa ditangkap dan diadili. Presiden Jokowi pun merangkul lawannya dalam Pilpres untuk ikut dalam kabinetnya. Bahkan hampir semua partai politik dan kelompok-kelompok masyarakat terwakili dalam kabinet Indonesia Maju.
Semua ini dilakukan untuk memecah polarisasi di masyarakat yang menguat dalam satu dekade terakhir akibat derasnya aliran informasi dan hoax. Maka jangan heran bila kita melihat Presiden Jokowi berbicara akrab dengan Anies Baswedan di perhelatan Formula E. Polarisasi memang harus dicairkan demi keutuhan NKRI. Tanpa harus saling menyalahkan, tanpa harus saling merasa benar.
Kita memang tak boleh melupakan jasa-jasa Presiden terdahulu. Bukan hanya meneladani, bila perlu meneruskan legacy-legacy baik yang telah diwariskan. Dan Presiden Jokowi telah berhasil melakukannya.
Selamat ulang tahun, Bapak Presiden….
Vika Klaretha Dyahsasanti