Dunia seakan tak pernah lepas dari krisis. Pandemi, krisis energi, dan belakangan invasi Rusia ke Ukraina yang diprediksi akan membawa dunia pada krisis keuangan global, menyuburkan wacana kerinduan akan pemimpin yang mampu membawa negerinya melewati kemelut. Tapi mungkin kita tak tahu bila jauh di era pra kemerdekaan, ada pemimpin Nusantara yang mampu melewati krisis besar.
Adalah seorang Adipati di Praja Mangkunegaran, Mangkunagoro VI, disebut sebagai ‘Reformis’, karena Mangkunagoro merestorasi perekonomian hingga merombak tradisi kerajaan hingga lebih berkesesuaian dengan zaman.
Terlahir dengan nama Raden Mas Suyitno pada 13 Maret 1857, Mangkunagoro VI adalah putra dari KGPAA Mangkunagoro IV.
Sebagai Adipati, ayahnya sukses membawa Mangkunegaran menjadi kerajaan terkaya di Jawa. Ayahnya terkenal pula sebagai sastrawan yang menulis karya filsafat Jawa terkenal antara lain Serat Wedhatama. Mangkunagoro IV juga menggubah aransemen gamelan berjudul Puspawarna. Puspawarna menjadi salah satu komposisi musik yang dimasukkan dalam Golden Record yang diorbitkan pesawat ruang angkasa Voyager pada tahun 1977.
Meski putra raja, Suyitno dibesarkan ayahnya untuk belajar bersikap rendah hati dan bersahaja dengan dibiasakan menyapu pekarangan istana semenjak kecil. Suyitno pun mengenyam pendidikan formal di Europeesche Lagere School (ELS). Pada tahun 1867, Suyitno menjadi satu-satunya orang Jawa yang bersekolah di sekolah Belanda. Di usia 17 tahun, Suyitno bergabung dengan Legiun Mangkunegaran. Ia memulai karier militer dari level paling bawah sebagai prajurit infanteri (flankeur).
Suyitno pernah pula mengadakan perjalanan selama empat bulan menelusuri Pantai Utara Jawa dengan kereta pos. Tujuannya agar Suyitno dapat menjadi pribadi sebagai mana petuah ayahnya, Mangkunagoro IV yang dituangkan dalam Dandanggula:
“rendah hati, tidak demonstratif atau menonjol-nonjolkan diri, tidak suka mencampuri orang lain, sederhana, selalu mempertimbangkan tindakannya.”
Dari perjalanan tersebut Suyitno melihat langsung bagaimana bangsanya sedang dikuras oleh Belanda. Semua pengalaman-pengalaman itu kelak membuat Suyitno menjadi seorang raja yang sangat peka pada penderitaan rakyatnya.
Setelah menjadi Mangkunagoro VI, konon seorang ambtenaar Belanda pernah bertanya, “Kenapa jalan kota Praja Mangkunegaran tidak diaspal?” Pemerintah Hindia Belanda sudah menyarankan agar diaspal sehingga tahan lama.
Jawaban Mangkunagoro VI cukup mengharukan. “Rakyatku tidak pakai sepatu. Kalau jalan di atas aspal siang hari, nanti kakinya panas, toh? Kasihan.” Mangkunagoro VI memang selalu memberi tempat khusus untuk rakyat di hatinya.
Suyitno diangkat menjadi KGPAA Mangkunagoro VI pada 21 November 1896. Menggantikan kakaknya, Mangkunagoro V yang meninggal muda di usia 40. Saat itu, putra-putra Mangkunagoro V belum cukup umur untuk diangkat menjadi raja. Sesaat setelah penobatannya, Mangkunagoro segera berhadapan dengan kenyataan pahit: Praja Mangkunegaran ternyata sedang melalui krisis keuangan yang nyaris mengarah pada kebangkrutan. Situasi perdagangan dunia memang sedang kurang menguntungkan. Harga gula dunia yang menjadi komoditi primadona Mangkunegaran sedang jatuh, sementara ongkos produksi tidak ikut turun. Ini masih ditambah gaya hidup bangsawan yang boros dengan aneka ritual.
Untuk menghadapi defisit keuangannya, selama ini Mangkunagoro V meminjam pada pemerintah Hindia Belanda. Lebih ironis lagi utang tersebut digunakan untuk keperluan konsumtif dan bukan modal usaha. Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengambil alih pengelolaan keuangan Praja.
Untung saja Mangkunagoro VI bergerak cepat, melakukan banyak terobosan ekonomi yang terhitung sangat revolusioner pada masanya. Ia melakukan penghematan besar-besaran. Bukan hanya yang berkaitan dengan Pabrik Gula milik Mangkunegaran, melainkan juga Anggaran Keuangan Praja.
Pertama, Mangkunagoro VI memisahkan antara keuangan kerajaan dan keuangan keluarga bangsawan. Ia juga mengeluarkan Pranatan (aturan tertulis) yang isinya uang yang didapat dari keuntungan perusahaan, dikelola langsung dan digunakan hanya untuk kepentingan Praja Mangkunegaran.
Sektor-sektor ekonomi pedesaan tradisional diubah menjadi modern dengan jalan memperbanyak perkebunan untuk ditanami kopi, nila, tebu, atau gula di wilayah Praja. Kondisi wilayah Mangkunegaran yang agraris difungsikan dan dikelola sendiri dengan prinsip warisan ayahnya. Tak ada yang disewakan, para pejabat digaji dan bukan diberikan tanah lungguh. Pada masanya langkah yang diambil ini menjadi terobosan bagi sistem good governance.
Tidak heran julukan ‘raja yang hemat’ memenuhi sejumlah literatur tentang Mangkunagoro VI. Semua penghematan itu hebatnya lagi, dimulai dari dirinya sendiri. Gaji yang diterimanya dari Pemerintah Kolonial menjadi hanya sebesar 3 ribu gulden, meski di masa pendahulunya, gaji seorang Adipati Mangkunegaran adalah 5 ribu gulden.
Pesta-pesta mewah yang selama ini lazim dilakukan, upacara-upacara peresmian, pertunjukan Wayang Wong dan wayang kulit semalam suntuk, dikurangi frekuensinya. Pesta pernikahan tidak lagi sangat mewah, bahkan Mangkunagoro VI mengkhitankan putra tunggalnya melalui khitanan massal. Sesuatu yang jarang dilakukan di kalangan atas di masa kini sekalipun.
Musik Klenengan hanya dilakukan setiap hari Jumat saja. Durasi pertunjukan wayang dipersingkat menjadi 4 jam, bukan hanya dalam rangka penghematan, namun agar semua pihak bisa bugar kembali untuk bekerja keesokan harinya. Mangkunagoro VI juga melakukan reorganisasi pegawai dengan mengganti pegawai yang tidak efisien dengan yang lebih tangkas. Efisiensi-efisiensi ini menyebabkan hutang Mangkunegaran lunas pada tahun 1899. Hanya 3 tahun sejak penobatannya sebagai Mangkunagoro VI, Mangkunegaran kembali memeroleh hak otonominya dalam keuangan.
Selain efisiensi di semua lini, Mangkunagara VI juga meninggalkan warisan berupa ‘nilai-nilai’ yang menyebabkan ia berbeda dari pendahulunya. Alkisah suatu waktu, seorang asisten residen yang jengkel pada Mangkunagoro VI dan langsung nyelonong ke Pura Mangkunegaran untuk bertemu raja. Aturan protokol Mangkunegaran telah mengatur semua pertemuan dengan Mangkunagoro harus didahului permohonan ke Patih Mangkunegaran. Namun si asisten residen nekat, melangkahkan kakinya masuk ke ruang kerja Mangkunegaran VI.
Apa yang terjadi? Mangkunegaran VI hanya menoleh sebentar ke arah pintu dan melanjutkan membaca lagi. Asisten Residen tidak terima pada kejadian tersebut, pulang dan mengadu pada atasannya. Saat sang atasan mengonfirmasi apa yang terjadi, Mangkunagoro VI hanya menjawab enteng,”Wah saya tidak merasa mendapat kunjungan terhormat dari pejabat tinggi Hindia Belanda. Tadi memang ada orang Belanda mengetuk pintu, tapi saya kira itu hanya Belanda mabuk.”
Mangkunagoro memang amat memegang teguh kedisiplinan. Disiplin inilah yang menjadi branding dirinya. Bahkan dalam suatu rencana pertemuan dengan Paku Buwono X pada pukul 21.00, saat setengah jam kemudian Paku Buwono belum ada tanda-tanda akan datang, Mangkunagoro segera memerintahkan agar pintu gerbang pura ditutup.
Tak banyak yang menyadari, Mangkunagoro VI sebenarnya memiliki bakat menjadi fashionista. Ia sering menjadi trendsetter dalam berbusana. Diawali saat mengubah gaya rambutnya menjadi pendek. Mangkunagoro menganggap gaya rambut panjang tidak praktis dan sulit menjaga kebersihan dan kerapiannya. Tindakan ini segera saja diikuti para sentana (keluarga) dan narapraja (pejabat) di lingkungan Mangkunegaran.
Prajurit Legiun Mangkunegaran tidak hanya diwajibkan berambut pendek, tetapi mengganti destar-nya dengan seragam ala Barat lengkap dengan sepatu lars. Penggunaan udeng (penutup kepala) juga dibuat lebih praktis dengan ikatan yang sudah jadi. Pemakainya tak perlu lagi membuat simpul udeng secara manual. Secara tidak langsung, ia memelopori busana ready to wear dan busana-busana yang amat ‘Mangkunegaran’ seperti beskap Langenharjan yang merupakan perpaduan beskap dengan jas formal Barat lengkap rompi dan dasi. Mangkunagoro sendiri memperkenankan keluarganya berbusana Eropa, sedang ia sering terlihat menggunakan topi Panama (topi koboi dari jerami).
Gaya berpakaian fusion ala Mangkunagoro ini sebenarnya juga pernyataan sikap bahwa Mangkunegaran adalah kerajaan modern, powerful sebagaimana kerajaan lain di wilayah swapraja. Sekaligus tetap mempertahankan tradisi Jawa yang ada. Dalam pertemuan dengan Paku Buwono, pakaian Barat ini menyebabkan Mangkunagoro mendapat protokoler setara, bersama-sama duduk di kursi sejajar, dan tak harus duduk di bawah.
Bila Mangkunagoro IV, ayahnya, terkenal dalam mereformasi hubungan antara Mangkunegaran dan Kasunanan, Mangkunagoro VI piawai dalam menata ulang hubungan Mangkunegaran dengan kawulanya. Ia gemar ‘menyederhanakan yang ribet’. Pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, diadakan acara di kediaman Residen Surakarta. Paku Buwono X dan Mangkunagoro VI harus datang dengan protokol dikawal delapan prajurit kavaleri dan kemudian mendapat sambutan kehormatan berupa tembakan meriam.
Hujan yang sedang turun membuat Mangkunagoro VI kasihan pada para prajurit kavaleri. Ia memutuskan datang dengan kereta kuda biasa. Tujuannya agar orang-orang di karesidenan tidak mengira kereta itu mengangkut seorang raja. Tak perlu ada kavaleri yang berlari-lari kehujanan.
Etiket kerajaan pun banyak mengalami perubahan di tangan Mangkunagoro VI. Ia menyederhanakan prosesi penghormatan. Apabila seseorang menghadap Mangkunagoro VI, maka ia tak perlu lagi duduk bersila di lantai, tetapi langsung menghadap asal tetap bersikap sopan. Aturan jalan jongkok juga dihilangkan. Apabila disediakan kursi, orang yang menghadap boleh langsung duduk di kursi. Demikian juga aturan sembah yang juga direvisi, tak lagi berkali-kali.
GF Van Wijk, Residen Surakarta masa itu bahkan menganggap Mangkunagoro VI cukup liberal dengan menulis:
“Walaupun di banyak sisi ia konservatif, dia merupakan seorang yang cukup liberal. Kini orang tidak perlu duduk di lantai tapi di kursi, contohnya pembantu-pembantunya yang diperbolehkan duduk di kursi atau berdiri di sampingnya.”
Akan tetapi tentu saja tidak semua pihak terbiasa dan setuju dengan aturan ini. Bukan Mangkunagoro VI bila tidak cuek. Ia terus saja berinovasi tanpa peduli mulut-mulut usil yang menentangnya. Mangkunagoro VI kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum Eropa, termasuk sekolah putri, Siswa Rini. Para siswanya mendapat beasiswa yang disebut studiefonds. Beasiswa ini dikembalikan dengan cara diangsur setelah mereka lulus dan bekerja. Tentu saja ini sungguh visioner pada masanya.
Untuk ukuran kerajaan yang baru sembuh dari krisis ekonomi, Mangkunagoro VI juga cukup banyak membangun infrastruktur. Antara lain kanal banjir untuk Kali Pepe, jembatan di Pasar Legi, Jurang Gempal, Nguntoronadi dan Samin. Irigasi, serta penerangan jalan dengan lampu listrik. Mangkunagoro juga menyiapkan dana pensiun bagi para narapraja.
Sebagaimana nasib banyak reformis lainnya, apakah yang dilakukan Mangkunagoro mengundang intrik yang membuatnya mengundurkan diri sebagai Adipati Mangkunagara? Bagaimana kisahnya hingga menjadi seorang nasionalis simpatisan Boedi Oetomo? Simak terus kisahnya…
Vika Klaretha Dyahsasanti