Kemenangan Taliban: Matinya Kemanusiaan atau Bangkitnya Perdamaian?

Seluruh mata sedang tertuju ke Afghanistan, menyusul dikuasainya istana oleh Taliban, hingga akhirnya Taliban kembali berkuasa. Kembalinya Taliban berkuasa, mengakibatkan terjadinya arus besar pengungsian ke luar Afghanistan. Foto-foto bandara Kabul yang penuh pengungsi serta pengungsi yang berjubel di pesawat C-17 milik AU AS membuat semua yang melihat prihatin.

Berbagai analisis yang ada cenderung pesimis pada masa depan Afghanistan, dan ini wajar. Periode pertama kekuasaan Taliban punya catatan kelam sebagai rezim yang tidak humanis, banyak melakukan pelanggaran HAM. Atas nama menegakkan aturan syariat terjadi banyak tindak kekerasan dan pemasungan kebebasan perempuan. Pesimisme ini masih ditambah dengan ketakutan bila kembalinya Taliban ini akan memicu eforia jaringan terorisme untuk aktif serta maraknya paham-paham radikalis.

Lalu adakah titik harapan kita untuk menatap kembalinya Taliban dengan optimis? Pertama, menarik diamati mengapa Amerika menarik pasukannya setelah dua dekade di Afghanistan. Presiden Joe Biden, dengan tekanan Kongres, mendesak personil Militer Amerika ditarik sesegera mungkin dari Afghanistan. Mereka menyakini bahwa Afghanistan sudah cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri dari Taliban. Ternyata dalam sekejab Afghanistan jatuh ke tangan Taliban dengan dikuasainya ibu kota Kabul akhir pekan kemarin. Jauh lebih cepat dari perkiraan banyak orang.

Taliban mulai melancarkan serangan masif sejak Mei saat AS mengumumkan penarikan pasukan. Presiden Biden menyalahkan Trump dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani sebagai penyebab Taliban merajalela. Penarikan pasukan terpaksa dilakukan karena tersandung kesepakatan antara Trump dan Taliban. Dilansir New York Post, Biden pernah menghubungi Presiden Ghani di Gedung Putih pada Juni lalu.Biden menyarankan agar Ghani mengedepankan solusi politik dan diplomasi, namun ditolak Ghani. Ghani bahkan akan mengerahkan tentara Afghanistan untuk melawan Taliban. Sikap anti perdamaian Ghani ini kemudian menyebabkan Biden tak ragu lagi untuk menarik mundur pasukan AS dari Afghanistan.

Ada dua hal menarik di sini. Pertama, nyaris tak ada perlawanan dari masyarakat Afghanistan terhadap Taliban, sehingga makin menguatkan dugaan tentang dukungan masyarakat Afghanistan pada Taliban, sebagai kekecewaan pada pemerintahan Ashraf Gani yang terkenal korup. Biden menyatakan bahwa pemerintah Amerika telah menghabiskan trilyunan Dollars di Afghanistan, sedang pemerintah Afghanistan tidak serius membangun bangsanya sendiri. Menikmati hidup mewah sementara tentara Amerika berjuang. Apa yang dikatakan Biden ini semakin terasa ironis saat dunia melihat Ashraf Gani lari ke luar negeri untuk menyelamatkan diri, dan konon sambil membawa truk penuh uang.

Kedua, kita patut hormat pada keputusan Presiden Biden yang mengedepankan perdamaian. Terlepas dari kalkulasi yang dilakukan Amerika, keputusan Biden ini menjadi paradigma baru bagi politik luar negeri AS yang selama ini memposisikan diri sebagai polisi dunia. Negara adi daya ini tidak lagi bernafsu menaklukkan bangsa lain. Biden bahkan mengatakan bercokolnya di Afghanistan selama 20 tahun adalah kesalahan fatal empat pendahulunya, yang membuat Afghanistan menjadi lahan subur terorisme. Mungkin ini kemenangan hati nurani dengan mengedepankan kesadaran menabur perdamaian dan mengikis permusuhan-permusuhan dimuka bumi.


Bagaimana dengan Taliban, akankah mereka tetap menjadi kelompok yang mengusung cara-cara kekerasan? Mullah Abdul Ghani Baradar, pemimpin Taliban telah memerintahkan untuk tidak melakukan kekerasan kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan memerintahkan untuk melindungi nyawa dan harta bendanya. Seperti juga langkah Biden, pernyataan Baradar ini juga suatu terobosan untuk kelompok yang selama ini dikenal sangat radikal dan jauh dari humanis. Bagaimana realisasinya, kita masih harus menunggu waktu.

Beberapa terobosan yang dilakukan Taliban antara lain Taliban mengumumkan adanya amnesti massal kepada semua pegawai pemerintah Afghanistan, meminta mereka untuk tetap bekerja. Kabar amnesti itu muncul setelah banyak pegawai pemerintah takut jika pemberontak akan melakukan aksi balas dendam kepada mereka.

Taliban juga berjanji menghormati hak perempuan Afghanistan menurut syariah, demikian pernyataan juru bicara milisi Zabihullah Mujahid dalam konferensi pers pertama mereka. Mujahid menerangkan, terdapat perbedaan besar antara Taliban yang digulingkan AS pada 2001 dengan sikap mereka setelah kembali berkuasa pada 2021. Taliban menjamin tidak akan ada diskriminasi, memberikan hak pada perempuan untuk mendapat pendidikan hingga jenjang universitas, yang sempat dilarang pada periode 1996-2001. Selain itu, dia juga menyatakan, perempuan akan tetap bisa bekerja dan menjadi bagian dari pemerintahan baru mereka.

Narasi-narasi moderat yang dibuat Taliban ‘baru’ ini layak membuat kita paham mengapa rakyat Afghanistan terlihat mendukung Taliban. Meski ada analisis yang mengatakan Taliban bisa memasuki Kabul bukan karena rakyat Afghanistan itu sangat kesukuan. Tentara lebih memilih loyal pada pemimpin sukunya daripada pada presidennya. Hal yang mungkin terjadi di Indonesia bila narasi-narasi politik berjubah agama didengung-dengungkan pemuka agama sehingga rakyat lebih loyal pada pemuka agama politis daripada kepada Presiden.

Menarik juga untuk kita amati adalah fakta bahwa Taliban membangun kerja sama dengan China dan Iran. Taliban yang merupakan Islam Sunni garis keras mau bekerja sama dengan Pemerintah Iran yang Syiah. Iran dan Afghanistan adalah musuh bebuyutan di masa lalu. Bahkan di tahun 1998, Iran hampir saja memerintahkan serangan militer ke Afghanistan (saat itu dipimpin Taliban). Serangan itu menewaskan 11 orang diplomat Iran di Afghanistan utara. Sedangkan China tidak punya sejarah konflik apapun dengan Taliban. China tidak pernah mempermasalahkan ideologi saat melakukan kepentingan bisnisnya, yang penting secara kalkulasi mereka tidak merugi. Ini membedakannya dengan Indonesia, yang gampang sekali terfragmentasi karena SARA.

Dari situ semua, meski perlu waktu untuk membuktikannya, kemenangan Taliban adalah kemenangan narasi-narasi damai ditambah semangat memebebaskan negara itu dari pemerintahan korup. Kita wajib mengapresiasi Amerika dengan kesadaran baru membangun perdamaian di Afghanistan dengan cara menarik pasukannya. Memberikan kesempatan pada bangsa Pakistan untuk berkembang secara otonom, belajar dari kesalahan masa lalu. Baik dari rezim otoriter Taliban lama maupun rezim korup yang baru saja selesai itu. Jatuhnya Taliban bisa jadi tidak sepenuhnya karena kekuatan Taliban, tetapi karena rezim manja yang tak pernah serius membangun negerinya. Semoga ini menjadi penanda akhir kisah kelam invasi suatu negara ke negara lain. Penjajahan di era modern pelan-pelan tinggal menjadi sejarah.

Kemenangan Taliban juga dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia yang kini rakyatnya kerap terjebak masalah-masalah intoleransi. Taliban baru, yang kini memegang tampuk pemerintahan, telah banyak mereformasi pandangan-pandangannya. Menjadi kelompok yang membuka dialog, makin kompromistis, meninggalkan cara-cara radikal dan perlahan menuju inklusif. Baru-baru ini dunia bahkan tersenyum melihat foto tentara Taliban bermain bom-bom car saat berekreasi di suatu Taman Ria, sesuatu yang tak mungkin dilakukan tentara Taliban di masa lalu. Berkebalikan dengan kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia yang kian hari makin jauh dari inklusif, makin jauh dari membangun dialog dan tak menjaga harmoni.

Semoga kisah di Afghanistan ini menjadi awal baru bagi lahirnya bangsa-bangsa mandiri dan saling menjaga perdamaian di muka bumi. Terjadilah….
Amin.

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *