Tak banyak pengamat yang mau mengkaitkan fenomena Citayam Fashion Week (Selanjutnya disingkat CFW), dengan realitas hadirnya Arab Spring Tahap Kedua. Pada masa lalu, Arab Spring bertujuan untuk menumbangkan banyak rejim yang dianggap otoriter. Konteksnya melulu masalah politik dan faktor penggeraknya adalah kekuatan eksternal. Artinya hal tersebut “by design”. Apakah hasilnya berbeda2 antar negara yang terkena wabah. Lebih baik atau lebih buruk itu soal lain.
Konon Libya adalah yang paling menderita, karena kehidupan yang diklaim sebagai sangat represif, justru membawa banyak kemakmuran bagi rakyat. Apa2 yang selama ini digratiskan: pendidikan, pajak, air minum dst dst nya tiba2 harus bayar, bahkan dengan biaya mahal karena langka dan salah kelola. “Musim Semi” yang ujung2nya adalah politisisasi agama yang akut dan membawa keterbelakangan, kesusahan, dan hilangnya kehidupan damai. Libya adalah contoh negara yang tertipu oleh Arab Spring.
Realitas bahwa di sisi lain, di Jazirah Arab justru terjadi paradoks. Mereka sedang gencar2nya mengeksport paham Wahabi yang sangat rigid, ekslusif, dan hegemonik. Selalu ada standar ganda yang dijalankan oleh negara2 Barat, yang terutama dirancang oleh kombinasi akal Amerika dan otak Israel. Mereka adalah para pemegang saklar on-off, sesuai kebutuhan geopolitik mereka. Israel yang selama ini dianggap sebagai “musuh bersama”, secara jenius menyusup masuk hingga ke titik yang paling krusial.
Mereka berhasil menarik banyak negara Arab untuk memalingkan muka memaknai siapa yang seharusnya menjadi “musuh bersama”. Dan itu adalah Iran atau Suriah atau Irak atau Yaman yang dapat dianggap sebagai bagian dari “Poros Setan”.
Di titik inilah, sebenarnya hanya masalah waktu menanti “Arab Spring” Tahap Kedua yang pada akhirnya membongkar kejumudan dan kemandegan dari banyak negara Arab. Uang berlimpah dari minyak, cepat atau lambat akan berkurang. Bukan sekedar cadangannya di perut bumi makin menipis, tapi realitas bahwa energi fosil dianggap makin tidak ramah lingkungan. Trend teknologi energi yang makin ramah lingkungan, tak bisa diperlambat dengan “politik dagang minyak” sebagaimana nyaris puluhan tahun terjadi.
Ruang dan waktu yang terus bergerak, lambat tapi tak bisa balik arah. Perubahan tampuk kekuasaan ke generasi yang lebih baru, walau masih sedarah tentu membuat pergeseran selera dan gaya hidup. Gaya hidup super hedonis di satu sisi, tapi dengan balutan sinkretisme agama yang ketat. Tak bisa lagi jadi mantra yang menarik dan cocok di era yang semakin terbuka. Di luar berbiaya mahal, hanya menghasilkan ketergantungan yang akut. Padahal dalam konteks ini loyalitas adalah harga yang makin mahal.
Osama bin Laden adalah contoh paling fenomenal dalam konteks ini. Dibesarkan secara bisnis oleh keluarga kerajaan, tetapi jadi musuh yang paling ideologis, kronis, dan mematikan.
Karena itu bisa dipahami perubahan trend gaya hidup di Saudi adalah fenomena yang tak terhindarkan. Keterbukaan dalam segala bidang bukan sekedar jadi kebutuhan mendesak, tetapi sekaligus keniscayaan yang tak terelakkan. Diawali dengan pertunjukan “house music”, istilah untuk menyebut jenis musik jingkrak yang pada dasarnya lebih mengedepankan efek sound daripada literasi lirik. Suatu jenis musik yang merangsang orang untuk bergerak bebas, menunjukkan euphoria daripada sebuah alunan nada yang tekstual.
Perubahan itu dimulai!.
Beberapa waktu sebelumnya, hal tersebut didorong mulai dibolehkannya perempuan menyetir mobil sendiri. Artinya perempuan boleh keluar rumah tanpa harus didampingi muhrimnya. Dan gelombang perubahan itu berlanjut, dengan puncaknya adalah diperbolehkannya perempuan melepas jilbab. Sesuatu yang tampak sederhana, tapi bermakna luar biasa. Karena setelahnya diikuti dengan trend potong rambut pendek, colouring rambut, penggunaan pakaian sesuai dengan trend fashion yang berlaku.
Singkatnya kanal itu sudah dibuka lebar. Dan nyaris musykil ditutup kembali….
Trend besar inilah yang tampaknya ditangkap oleh sekelompok anak muda “kampung” yang kemudian mendaku Citayam sebagai brand besarnya. Kenapa “Citayam” ini juga sangat menarik, saya melihatnya dari tiga sisi:
Pertama, secara geografis Citayam berada di tengah antara Bogor dan Depok. Saat ini, Citayam adalah bagian yang unik, karena merupakan paduan antara etnis Betawi yang terpinggirkan hingga pelosok yang paling pelosok, dengan gaya bahasa Betawi Ora. Namun ia sekaligus adalah wilayah paling pinggir dari etnis Sunda Bogor. Di tambah generasi baru pendatang, yang umumnya adalah manusia komuter baik yang bekerja di Jakarta atau Bogor. Mereka yang “hanya bisa” beli rumah menapak tanah di sini.
Campur aduk etnis dan silang sengkarut kultur inilah, yang membuat ia seolah “butuh identitas” baru.
Kedua, secara historis. Tak banyak yang tahu bahwa di masa koloni Belanda, Citayam terkenal sebagai penghasil batu kapur. Yang memasok kebutuhan kota Batavia dan Buitenzorg. Kapur yang tentu saja manfaatnya sangat banyak. Bila mengingat kapur adalah materi yang dibutuhkan untuk “memutihkan” gula agar kemudian bisa disebut gula pasir. Juga digunakan sebagai bagian dari campuran adukan untuk membangun rumah. Tapi tentu saja yang terpenting untuk “mengapur” rumah. Me-make up rumah agar tampak bersih dan cantik.
Kultur “make-up” atau sekarang lebih populer lagi sebagai “make-over” inilah yang diwarisi generasi milienial berabad kemudian….
Ketiga , secara agama. Suka atau tidak suka, wilayah pedesaan dan atau perkampungan adalah yang paling menderita akibat “perubahan selera cara beragama”. Mereka adalah kelompok yang paling dipaksa tercerabut dari akar tradisinya. Mereka adalah kelompok yang dipaksa untuk percaya bahwa masa lalu adalah salah. Dan cara hari ini “yang dipaksakan itu” dianggap yang paling cocok, bisa diterima, dan menjanjikan. Menjanjikan apa saja: surga neraka, bantuan tunai, sekolah murah, perlindungan sosial, dst dst…
Di generasi bapak ibu mereka, nyaris tanpa perlawanan. Tapi bukankah anak-anak adalah pemilik masa depan….
Dalam konteks inilah, kenapa dengan terjadinya CFW, kelompok Islam garis keras adalah yang paling reaktif mengecam! Mereka menganggap gerakan akar rumput itu sebagai hedonisme anak muda kere yang tak tahu malu. Suatu stigma yang nyaris tak memberi ruang sedikipun untuk “bisa dimaafkan”. Mereka beranggapan lumrah jika hal yang sama dilakukan oleh golongan gedongan yang elitis. Atau anak Jaksel yang memang itu adalah habitnya. Atau anak mileneial yangsedang mencari identitas.
Tapi ini anak udik dari Citayam, dengan pakaian bekas dan murah dari lapak sisa import, dengan tampilan yang norak yang antara gaya dan muka gak matching. Mereka seharusnya begini, jangan begitu. Menyeeret terlalu jauh pada akhlah, adab, dan kepantasan. Suatu cara penilaian yang bukan saja berat sebelah, namun cenderung melecehkan. Yang pada intinya menunjukkan bahwa mereka merasa kecolongan….
Intinya CFM adalah salah dan salah. Tidak pantas, norak, dan memalukan.
Sial seribu sial, suka atau tidak suka CFM telah menjadi wabah. Ia dengan cepat ditiru oleh warga kota lain. Sebagaia bagian dari kebebasan bereskpresi, sebagaia bagian dari gugatan atas hegemoni “orang tua”, sebagai dari wahana pelarian untuk unjuk diri yang jauh dari lingkungan asli mereka. Ini adalah titi luar biasanya, bagaimana mereka melakukan ekspansi dari Citayam menuju Sudirman. Sebuah koridor yang bisa ditempu dengan epat dan murah dengan menggunakan kereta komuter. Sebuah ide jenial yang sungguh tak disangka….