Presiden Jokowi disambut langsung Presiden Volodimir Zelenskyy di Istana Marynsky dalam kunjungan kerjanya ke Kiev, ibukota Ukraina. Keduanya kemudian berbincang serius dan akrab berdua, membahas perdamaian Ukraina dan Rusia.
Yang menarik, Ibu Negara Iriana pun ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ini. Tanpa gentar, Ibu Negara menunjukkan keberaniannya mengunjungi wilayah konflik tersebut, seolah ingin melindungi Presiden Jokowi saat berkunjung ke Ukraina yang luluh lantak dibombardir tentara Rusia.
Dengan tenang Ibu Iriana mengunjungi Kompleks Apartemen Lipky yang hancur lebur di Kota Irpin, Ukraina. Didampingi Wali Kota Irpin Alexander Grigorovich Markushin. Presiden Joko Widodo mengharapkan perang segera berhenti dan tidak ada lagi kota di Ukraina yang rusak. “Saya didampingi oleh Wali Kota Irpin dan Deputi Wali Kota Irpin melihat kerusakan yang terjadi di Kota Irpin akibat perang dan sangat menyedihkan sekali banyak rumah-rumah yang rusak kemudian juga infrastruktur yang rusak,” ucap Presiden Jokowi saat itu.
Presiden Jokowi dan Ibu Iriana juga menyerahkan bantuan medis senilai 5 juta Dollar AS dari Pemerintah Indonesia kepada Rumah Sakit Ukrainian Center of Endocrine Surgery, Endocrine Organs and Tissue Transplantion di Kota Kyiv, Ukraina. Bantuan kemanusiaan itu tampak dikemas dalam kotak-kotak putih bertuliskan “Indonesia Humanitarian Aid to the people of Ukraine“.
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Eropa kali ini luar biasa. Presiden Jokowi bukan hanya mengunjungi dua negara yang sedang berkonflik yaitu Ukraina dan Rusia, bertemu dengan Presiden Zelenzkyy dan Presiden Putin, tetapi juga membawa misi perdamaian, memastikan agenda perdamaian Ukraina dan Rusia dibahas di Sidang Tahunan G7, sekaligus juga menunjukkan keberanian luar biasa seorang Presiden RI dalam mengemban amanat Undang-Undang Dasar 1945 agar Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia. Butuh keberanian luar biasa untuk mengunjungi Ukraina di masa-masa mencekam ini. Butuh komitmen yang sangat kuat terhadap kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Untuk mencapai Kiev, ibukota Ukraina, Presiden Jokowi dan rombongan menempuh jalur darat dengan menggunakan kereta api dari Polandia. Perjalanan selama hampir dua belas jam di negara yang sedang dilanda peperangan tentu beresiko sangat besar. Tidak banyak pemimpin negara yang berani. Presiden Jokowi menjadi Kepala Negara dari Asia pertama yang berani mengunjungi Ukraina. Hingga saat ini, baru ada delapan pemimpin dunia yang berani mengunjungi Ukraina. Di antaranya Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Inggeris Boris Johnson.
Potret keberanian Ibu Iriana mendampingi Presiden Jokowi berkunjung ke wilayah perang ini menjadi kekaguman di mana-mana. Suasana perjalanan ke Ukraina itu lebih mencekam daripada saat Bu Tien mendampingi Presiden Soeharto mengunjungi Bosnia yang juga dilanda peperangan di tahun 1995. Karena yang dihadapi Ukraina adalah Rusia dengan senjata-senjata canggihnya.
Pengamat Militer dan Intelijen sekaligus Direktur Lembaga Strategi Inteligensia Indonesia, Ridlwan Habib pun memuji langkah berani ini sembari mengungkap makna di balik kunjungan bersejarah ke Ukraina. Pertama, Presiden Jokowi seolah ingin menekankan bahwa penyertaan Ibu Negara sebagai simbol diplomasi damai (soft diplomacy) dari Presiden Jokowi. Iktikad baik disimbolkan dengan mengajak istri atau ibu negara. Ibu Negara identik dengan makna damai, lembut, dan anti-kekerasan. Apalagi, Indonesia juga membawa bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) untuk rakyat Ukraina. Makna yang kedua, Presiden Jokowi ingin menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa dukungan nyata harus diwujudkan dalam bentuk keberanian bertindak.
Dalam diplomasi dengan dua negara berkonflik ini, Indonesia mempunyai kelebihan karena menjalankan politik luar negeri bebas aktif, sehingga posisi Indonesia netral dan tak membawa kepentingan suatu kelompok. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat “Jika misi Presiden (Jokowi) berhasil, nama Indonesia akan harum di mata dunia dan meningkatkan trust bagi para investor maupun pelaku usaha karena dianggap Indonesia pro terhadap terjaganya stabilitas politik, baik di dalam maupun luar negeri.”
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani menuturkan kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia mempunyai arti sangat strategis dan penting, bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga seluruh dunia. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi ini dapat mengurangi ketidakpastian global akibat ketidakstabilan geopolitik dan berujung pada ketidakstabilan ekonomi dunia.
Posisi Indonesia yang tengah memimpin G20 sekaligus satu satu anggota Champion Group dari Global Crisis Response Group yang dibentuk Sekjen PBB, membuat Presiden Jokowi memilih untuk mencoba berkontribusi dan tidak memilih untuk diam. Presiden Jokowi merasa bertanggung-jawab untuk mendorong diakhirinya perang di Ukraina. Selain untuk mencegah korban jiwa terus berjatuhan di medan laga, upaya yang dilakukan Presiden Jokowi ini akan mencegah krisis pangan dunia.
Semenjak invasi Rusia ke Ukraina tersebut indeks pangan global meningkat 16,08 persen pada Mei 2022. Kenaikan ini dipicu naiknya harga komoditas pangan dunia yaitu daging hingga 8,83 persen, minyak nabati dan gandum hingga di atas 23 persen. Masih ditambah dengan kenaikan harga pupuk yang menurut catatan Bank Dunia meningkat 30 persen. Selama ini, Ukraina dan Rusia menjadi dua negara produsen gandum terbesar di dunia. Rusia bahkan menjadi produsen utama pupuk dunia.
Tidak heran bila Presiden Jokowi juga akan melakukan negosiasi ke Presiden Putin agar jalur gandum dari Ukraina tetap boleh berjalan secara normal untuk menghindari terjadinya krisis pangan global. Invasi Rusia sangat berdampak buruk bagi pemulihan ekonomi global pasca pandemi, peningkatan kemiskinan dunia dan stagflasi. Harga energi melejit tinggi, harga bahan pangan melonjak. Masyarakat di negara maju, berkembang, serta negara miskin, semua merasakan dampaknya. Yang paling sengsara tentu saja rakyat di negara miskin yang tak memiliki sumber daya alam.
Kesadaran akan bahaya perang dan ancaman krisis pangan dan ekonomi global inilah yang menyebabkan Presiden Jokowi tak pernah berhenti mengupayakan perdamaian semenjak Rusia menginvasi Ukraina di awal tahun 2020. Presiden Jokowi pada 28 April 2022 pernah menelepon Presiden Putin tentang G20 dan upaya perdamaian Rusia-Ukraina. Tak lama setelah itu, Presiden Putin melalui penasihatnya, Yuri Ushakov, berencana menghadiri KTT G20 di Indonesia pada November.
Kemudian pada 30 April 2022, Presiden Jokowi menolak permintaan bantuan senjata dari Indonesia untuk Ukraina, yang disampaikan Presiden Zelenskyy karena bertentangan dengan aturan konstitusi yang mengamanatkan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Lawatan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia ini menjadi puncak upaya perdamaian dari Indonesia bagi kedua negara tersebut. Ketua Departemen Hubungan Internasional Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Lina Alexandra mengatakan Presiden Jokowi membawa pesan agar semua pemangku kepentingan dalam kemelut itu menahan diri. Sekaligus menunjukkan, dalam diplomasi perdamaian, Presiden Jokowi membuat politik luar negeri di era pemerintahannya patut dinilai dengan angka prestasinya A+, sebagaimana diungkapkan influencer, Erizeli Bandaro. Mengapa demikian?
Pertama, RI dibawah Presiden Jokowi memiliki track record menyelesaikan konflik antar faksi di Afganistan ditengah kepentingan geostrategis China, India dan geopolitik Amerika.
Kedua, dalam persaingan pengaruh antara Amerika Serikat, dan China di Laut China Selatan yang kerap disebut Kawasan Indopacific, Indonesia bisa mengikat dua negara besar itu untuk patuh dalam protokol kerjasama ekonomi yang inklusif. Sehingga menjadikan kawasan Indopacific menjadi kawasan damai yang mengikat tanpa ada hegemoni satupun negara. Itu prestasi luar biasa sehingga menjadikan Indonesia sebagai koordinator ASEAN.
Kemampuan diplomasi itu bukan hanya kehebatan retorika, tetapi berkat kerja kongkrit dan kemampuan mengkalkulasi dengan titis pada segala kemungkinan yang terjadi. Di era Jokowi, Indonesia selalu hemat bicara pada awal konflik. Fokus kepada Resolusi PBB saja. Namun Kemenlu dan Kemenhan terus menganalisis situasi yang berkembang. Hingga akhirnya menjadi satu proposal dan bargain yang bisa diterima semua pihak yang terlibat.
Dalam kasus Ukrania, dari 40 juta rakyat Ukraina, 15 juta orang telah eksodus ke luar negeri demi keselamatan. Jika perang terus berlangsung, rakyat tidak mendapat jaminan apapun, baik dari pemerintah ataupun dari mereka yang memprovokasi perang. Keanggotaan NATO yang diajukan Ukrania pun ditolak. Ini semakin membuat Ukraina tak memiliki jaminan keamanan. Pada akhirnya Ukrania harus menyadari posisinya yang lemah. Memilih berunding tanpa harus merasa kehilangan muka. Meminimalisir kehilangan, termasuk membiarkan Crimea dan Donbas menjadi daerah otonomi khusus.
Jika Rusia terus memaksa perang, ekonomi mereka akan berantakan. Tak ada yang harus dibuktikan pula pada dunia karena musuh Rusia yaitu negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat lebih fokus mengatasi ekonomi dalam negeri agar tak terjerembab ke jurang resesi. Berunding dengan Ukraina tak akan mempermalukan Rusia. Kira-kira demikianlah gambarannya. Upaya perdamaian melalui perundingan yang ditawarkan Presiden Jokowi akan menyelamatkan muka mereka semua.
Semoga proses damai yang dikomandoi Jokowi ini bisa berlanjut ke putaran perundingan berikutnya. Siapa tahu tempatnya di Bali saat KTT G20 di Bulan November 2020.
Indonesia adalah pelopor Gerakan Non-Blok. Indonesia selama ini juga dianggap sebagai negara yang berhasil mendamaikan gerakan-gerakan separatis. Memiliki track record bagus dalam mengatasi hal-hal yang bersifat menjembatani perbedaan karena masyarakatnya terbiasa hidup damai berdampingan di tengah keragaman budaya. Menjaga perdamaian dunia adalah amanat Undang-undang. Mencegah dunia dilanda krisis pangan adalah tugas kemanusian yang diemban kita sebagaimana nilai-nilai Pancasila. Apalagi dalam kapasitas sebagai pemegang Presidensi G20, sudah selayaknya Presiden Jokowi aktif mencari celah perdamaian antara Ukraina-Rusia.
Seperti kata Presiden Jokowi di depan wartawan setelah meninggalkan Jerman dan memulai perjalanan ke Ukraina, “It’s not an easy thing to do, but we, Indonesia, will keep trying.”
Vika Klaretha Dyahsasanti