Lampor, Antlers dan Kekuatan Suatu Story Telling

Beberapa hari belakangan ini, aku banyak menonton film bertema horor. Entah, moodku sedang ingin menonton film seperti itu. Beberapa film horor lawas dan baru, aku lahap, baik di Netflix maupun di bioskop. Tercatat film yang aku tonton meliputi: Antlers, The Whole Truth, Histeria, Sacred, Ghost Writer, The Exorcist, Deliver Us From The Devil serta Lampor.

Tentang Lampor. Film ini ternyata di luar ekspektasiku. Awalnya aku enggan menontonnya karena berprasangka bahwa film ini kurang bagus. Tetapi aku kemudian berubah pendapat setelah menontonnya. Ternyata film ini sungguh bagus. Jalan cerita film ini enak diikuti. Logis dan tidak terdapat runtutan kejadian yang mengganggu. Dan terlebih lagi, cara kisah disampaikan, membuat aku terkesan.

Lampor dan Wendigo adalah makhluk-makhluk mitos terkenal dalam urban legend di daerah masing-masing. Lampor merupakan urban legend di Jawa Tengah, sedangkan Wendigo merupakan makhluk mitos yang merupakan urban legend di Amerika Utara – Daerah Oregon, Minnesota – dan Canada. Wendigo adalah spirit yang menjadi pusat cerita film Antlers.


Wendigo merupakan makhluk halus (spirit) jahat, yang sering merasuki manusia, dan menjadikan manusia tersebut serupa monster yang memangsa manusia lain. Wendigo berwujud serupa raksasa, dengan kepala bertanduk. Wendigo dikisahkan berasal dari manusia – seorang penjelajah yang bersama temannya tersesat di hutan-hutan di Amerika Utara, dan untuk bertahan hidup memutuskan untuk memakan temannya tersebut. Kejahatannya tersebut, membuat sang penjelajah menjelma menjadi roh jahat yang disebut Wendigo. Karakter Wendigo digambarkan rakus. Setiap kali ia memangsa manusia, ia malah akan menjadi semakin kelaparan sehingga memangsa manusia lebih banyak lagi. Wendigo berada pada kondisi terlemah ketika ia sedang berpesta menyantap bangkai manusia yang dibunuhnya.

Adapun Lampor adalah makhluk mitos yang sangat terkenal di daerah-daerah di Jawa Tengah. Lampor adalah makhluk halus yang akan memangsa atau menculik anak-anak atau orang yang masih berkeliaran di luar rumah selepas senja. Lampor dikisahkan muncul menjelang maghrib. Banyak kisah yang berbeda-beda terkait wujud Lampor. Ada yang mengatakan Lampor adalah sosok hitam besar serupa jin dengan mata merah. Sementara beberapa yang lain menggambarkan Lampor adalah sosok yang menyatu dengan kabut. Di era tahun 1980an, anak-anak akrab dengan narasi Lampor ini. Para orang tua di jaman itu akan menakut-nakuti anak-anaknya yang masih bermain di luar rumah menjelang maghrib dengan kisah tentang Lampor. “Digondol Lampor” merupakan frasa yang familier. Setiap orang atau anak yang digondol – dibawa atau diculik – oleh Lampor, akan hilang selamanya – dibawa hidup dalam dimensi gaib Lampor, – atau bisa kembali dalam kondisi kehilangan kewarasan.

Hal yang menarik pada film Antlers adalah pembahasan konsep tentang ‘story telling’. Julia Meadows (diperankan oleh Keri Russel), salah satu tokoh di film tersebut, berperan sebagai guru sekolah dasar, menjelaskan tentang urban legend dan folklore. Folklore pada dasarnya merupakan ekspresi kultural di suatu daerah. Folklore bisa berupa dongeng, musik, lagu, tarian, lukisan, simbol-simbol, motif arsitektur dan sebagainya. Folklore dan urban legend – atau legenda masyarakat – pada prinsipnya merupakan suatu cara masyarakat di suatu wilayah melakukan ‘story telling’. Lewat story telling tersebut disampaikanlah nilai-nilai, ajaran, kebijakan lokal ataupun pengetahuan dan pengalaman para leluhur. Disampaikan turun-temurun untuk memastikan lestarinya nilai-nilai, pemahaman, atau pengetahuan itu. Story telling memungkinkan generasi muda belajar dari pengalaman generasi sebelumnya, dan mengembangkan apa yang telah diketahui oleh generasi di atasnya. Story telling merupakan unsur utama suatu peradaban dan kebudayaan.

Penjelasan tentang story telling tersebut mengingatkan pada apa yang pernah ditulis oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens. Harari menuturkan bahwa kemampuan spesies homo sapiens merangkai fiksi lah yang menyebabkan ia bertahan hidup sementara spesies lain yang memiliki kekuatan tubuh lebih baik seperti homo neanderthalensis telah punah. Homo Sapiens diberi julukan manusia bijak. Kemampuan si manusia bijak ini merangkai fiksi dan menciptakan suatu story telling, memungkinkan spesies ini mampu menyampaikan ide-ide, cita-cita besar yang menginspirasi anggota spesiesnya, memungkinkan para anggota spesies dimobilisasi untuk melakukan dan menciptakan hal-hal besar.

Sementara dari Wendigo kita belajar bahwa keserakahan dan kejahatan memangsa manusia lain akan mengubah ruh manusia menjadi jahat dengan ketamakan yang makin tak dapat dipuaskan, film Lampor mengajarkan banyak hal pula.

Seperti dijelaskan oleh Bu Guru Meadows dalam Antlers bahwa story telling yang baik adalah yang mampu mengesankan pendengarnya, memotret dengan cukup akurat kenyataan di masyarakat sehingga si pendengar kisah, terilhami, begitu pula kisah dalam film Lampor. Film Lampor menggambarkan dengan baik karakteristik khas orang Jawa. Meminjam istilah teman, orang Jawa itu kompromistis. Enggak kaku. Memiliki kerendahan hati untuk bersedia memahami posisi orang lain. Film Lampor pun mengajarkan pada kita untuk tidak mudah menilai seseorang dari gosip-gosip yang tersebar di masyarakat tentang orang tersebut, atau dari suatu penilaian sekilas. Yang di awal tampak jahat, ternyata kemudian memiliki sisi kebaikan, sementara yang semula tampak polos, ternyata bisa saja memiliki hati yang tidak iklas. Semua tokoh di dalam film Lampor digambarkan tidak secara hitam putih.

Adalah seorang juragan tembakau kaya raya di desa Losari, Temanggung, bernama Pak Jamal (diperankan oleh Mathias Muchus). Pak Jamal gemar ke dukun, memasang susuk untuk meningkatkan kekayaan dan pengaruh. Dengan istrinya ia memiliki 2 anak, Netta – diperankan Adinia Wirasti – dan Ridwan. Ia pun memiliki seorang istri simpanan bernama Asti (diperankan Nova Eliza). Asti adalah keponakan dukun langganan Pak Jamal yang bernama Mbah Atmo. Orang desa bergunjing bahwa Asti mendapatkan pak Jamal dengan cara memelet. Diceritakan bahwa istri pak Jamal kemudian meninggalkan Pak Jamal karena tidak suka pada perilaku Pak Jamal yang gemar ke dukun dan membawa bencana bagi keluarga. Istri pak Jamal pergi dengan membawa anak pertama mereka, Netta, selepas anak kedua mereka digondol Lampor. Dengan Asti, pak Jamal tidak berputra, sehingga mereka mengangkat seorang anak perempuan bernama Mitha.


Bahwa apa yang tampak sepintas lalu di permukaan belum tentu benar. Bahwa apa yang banyak digunjingkan masyarakat, mungkin saja memiliki sedikit kebenaran, tetapi bisa jadi jauh dari akurat. Asti yang digosipkan mendapatkan Pak Jamal dengan cara memelet, kenyataannya dipaksa pamannya Mbah Atmo untuk menikah dengan Pak Jamal, sebagai pembayar hutang Mbah Atmo pada Pak Jamal. Bahwa masyarakat Jawa, introspektif terhadap kesalahannya, dan memiliki kerendahan hati untuk mengompensasi sesuatu yang telanjur salah agar penderitaan yang diciptakannya pada orang-orang di sekelilingnya dapat teringankan. Orang-orang kampung selama ini mengetahui dalam diam bahwa Asti berselingkuh dengan Bimo (pegawai kepercayaan Pak Jamal). Yang orang-orang kampung tidak memahami adalah Pak Jamal mengetahui hubungan tersebut, tetapi Pak Jamal tidak peduli bahkan merestui. Merestui dalam arti membiarkan istrinya mengejar sedikit kebahagiaannya. Asti tahu bahwa Pak Jamal tidak pernah benar-benar mencintainya. Terlepas dari perilaku Pak Jamal yang gampang tergoda wanita cantik, Pak Jamal benar-benar menyayangi keluarganya dan hancur dengan kepergian mereka. Ketidakbahagiaan Asti karena dikawinkan paksa dan tidak pernah benar-benar dicintai, sangat dipahami pak Jamal. Kasih sayang pak Jamal pada Asti diwujudkan dengan membiarkan istrinya mencari cintanya. Syarat dari Pak Jamal hanya satu: Asti tidak melakukan perbuatan yang dapat mempermalukan Pak Jamal. Asti membalas dengan berkomitmen sebagai istri pak Jamal. Melayani pak Jamal dengan baik, dan kemudian bahkan meneruskan semua warisan pak Jamal pada Netta dan melindungi anak-anak Netta dengan nyawanya.

Lampor dikisahkan akan datang ke desa apabila di desa tersebut terjadi suatu tindakan yang tidak baik. Film Lampor mendefinisikan dengan indah apa yang disebut ‘tidak baik’ tersebut. Lampor selalu akan membawa orang yang memandang ke dalam mata merahnya. Tapi rupanya Lampor tidak akan mampu membawa orang-orang yang berhati tulus. “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti” – Kejahatan akan dikalahkan oleh Cinta dan Ketulusan – merupakan mantra penghalau Lampor. Dikisahkan Lampor tidak mampu membawa Netta yang mengiklaskan dirinya dibawa demi melindungi anak-anaknya. Pun Lampor tidak mampu membawa Asti walau Asti dianggap penduduk desa melakukan dosa perselingkuhan yang menyebabkan kemunculan Lampor dan Asti bahkan telah berhadapan dan menatap mata Lampor. Lampor akhirnya membawa Nining. Tokoh yang di awal kisah diceritakan lugu, yang ternyata menjalin hubungan dengan Bimo. Nining bersama Bimo telah meracun Pak Jamal dan merencanakan membunuh Asti pula demi menguasai harta mereka. Lampor akhirnya juga membawa Mbah Atmo yang berniat menungganggi kekuatan cinta Netta untuk menguasai Lampor. Kisah ini sedikit banyak mengingatkan pada kisah Harry Potter. Harry Potter seorang penyihir muda akhirnya mampu mengalahkan Lord Voldemort, penyihir terkuat, dengan kekuatan cinta.

Seorang pendongeng (story teller) akan berkisah demi menyampaikan apa yang ada dalam pemikiran dan perasaannya. Kisahnya akan menggambarkan cara pandangnya terhadap masyarakat dan nilai-nilai yang dianutnya. Sedikit banyak, dari Film Lampor, kita belajar pandangan, pemikiran, pengalaman dan nilai-nilai yang hendak dibagikan para penuturnya: sutradara Guntur Soeharjanto yang kebetulan berasal dari Temanggung, dan penulis naskah Alim Sudio yang telah pernah masuk nominasi piala citra untuk penulis skenario adaptasi terbaik.

Rani Rumita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *