Layangan Putus dan Gambaran Pernikahan Kita

Layangan Putus tengah viral. Diadaptasi dari novel karya Mommy ASF yang sebelumnya diunggah dalam suatu grup Facebook,. Bercerita tentang curhat Mommy ASF, seorang ibu beranak 4 yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Konon kisah ini adalah kisah nyata yang dialami Mommy ASF, seorang dokter hewan yang bernama asli Eka Nur Prasetyawati.

Kisah Layangan Putus yang viral di facebook mencuri perhatian prodeser untuk menjadikannya serial. Benar saja, Layangan Putus segera menjadi trending topic. Serial itu juga mencuatkan nama Cappadocia, suatu tempat di Anatolia, Turki yang menjadi tempat bulan madu Aris, tokoh suami jahat dan pacarnya Lydia. Belakangan tour ke Cappadocia dipandu Mommy ASF menjadi paket wisata yang laris.

Tak hanya itu, seorang selebgram hijrah, Lola Diara kemudian dianggap tokoh nyata Lydia, sang pelakor. Maka si selebgram terpaksa mengunggah bantahan ” Entah dari novel maupun series yang ana amat sayangkan di belakangnya digembongkan oleh orang-orang kafir, musuh Islam yang mencintai perpecahan pada umat Islam. Juga pembenci syariat Allah,” tulisnya.”Kisah yang sebenarnya kami jalani, tidak ada kasus perselingkuhan (perzinahan) ataupun maksiat kepada Allah sebelum ijab. Tidak ada pelanggaran agama sebelum pernikahan terjadi,” ujarnya.

Membaca itu aku segera memutuskan untuk tak akan menonton serial tersebut. Too much drama. Si pelakor mungkin akan ditampakkan bagai iblis bengis, sedang si istri akan terlihat bagai malaikat tak berdosa. Lalu si suami, ia akan menjadi tokoh yang dianggap wajar khilaf karena godaan wanita begitu luar biasa.

Bisa jadi Layangan Putus serial yang baik, meski aku sudah prejudice duluanTapi asli, aku pesimis karena apa-apa yang menghebohkan dan viral di Indonesia itu sering terlalu hitam putih. Masyarakat menggemari acara seperti itu agar dapat menyalurkan hasrat untuk membenci dan memaki. Biasanya sih begitu…

Tentang masyarakat hitam putih di Indonesia, kita dapat melihat kasus (lagi-lagi)selebram yang baru meninggal setelah lumpuh akibat kecelakaan karena sang pacar mabuk saat mengendarai mobilnya. Tanpa mengurangi rasa belasungkawa, aku cuma mau menunjukkan bahwa si pengemudi mabuk jelas bersalah, tapi si pacar juga tak seratus persen tak bersalah. Ia dan pacarnya sama-sama mabuk saat itu. Ia pun tak mencegah pacar mabuknya untuk mengendarai mobilnya.

Fakta ini lalai untuk dipikirkan masyarakat Indonesia saat menghujat si pengemudi. Termasuk mendadak amnesia bila sang pacar mabuk pernah menggalang dana untuk kesembuhan si selebgram, dan cukup banyak mengeluarkan uang juga. Aku nggak membela si pengemudi mabuk. Ia salah. Tapi kecenderungan masyarakat kita untuk memandang sesuatu hitam putih itu kadang mulai menjijikkan, melupakan asas praduga tak bersalah, alih-alih menjadi masyarakat yang pemaaf.

Lalu bagaimana sejatinya kondisi suatu pernikahan di masyarakat kita? Secara umum banyak pernikahan bahagia, dalam arti langgeng dan bahagia. Bisa jadi hanya tak terlihat bermasalah di permukaan. Bisa jadi pernikahan-pernikahan berbahagia itu pun tak luput dari kisah-kisah perselingkuhan, namun kemudian pasangan-pasangan tersebut saling memaafkan dan melupakan.

Namun tidak sedikit pernikahan bahagia yang mungkin diawali oleh apa yang dianggap masyarakat sebagai ‘perselingkuhaní’. Ada banyak contoh pesohor yang begitu. Seorang musisi terkenal yang menikahi penyanyi teman istrinya. Si istri baru selalu digugat seluruh Indonesia sebagai pelakor. Meski banyak orang bijak dan konsultan pernikahan mengatakan, secara natural si musisi yang flamboyan, arogan dan dominan lebih pas dengan si istri kedua yang lebih pendiam dan penurut. Dibanding dengan mantan istrinya yang cenderung alpha female. Waktu akhirnya menunjukkan bila pernikahan kedua si musisi cukup langgeng juga. Anak-anak dari istri pertama pun menghargai ibu tirinya, dan belakangan mantan istrinya pun menemukan jodoh yang pas. Happily ever after for everyone…

Kisah lain adalah pesohor perempuan yang selama ini tulang punggung keluarga. Hingga akhirnya ia bertemu seorang pria dan saling jatuh cinta. Perceraian mereka meninggalkan banyak hujatan bagi si pesohor perempuan. Mantan suami berhamburan simpati. Lagi-lagi dengan berjalannya waktu, semua menjadi baik. Sang mantan suami menjadi mandiri secara finansial, bahkan kaya raya. Menemukan jodoh yang sepadan. Dan kedua pasangan itu kini saling menghargai dan rukun.

Perselingkuhan bisa jadi hanya jalan seseorang untuk bertemu jodohnya, setelah sebelumnya berada dalam pernikahan yang kelam bagai neraka. Ada kenalan aku seorang istri wakil kepala daerah dari kota terkenal. Sang suami kebetulan juga anak dari politisi terkenal dan berkarir gemilang. Sampai akhirnya sang suami bertemu mantan pacarnya kala remaja, dan mereka berhubungan lagi. Hati kenalan aku itu tentu hancur, tapi ia mencoba bersabar dan mendapatkan kembali cinta suaminya. Empat tahun dilaluinya, sampai akhirnya ia tak kuat dan meminta cerai. Namun ternyata sang suami tak ingin menceraikannya karena akan mencemarkan karir politiknya.

Pada akhirnya kenalan aku itu pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa dua anaknya. Berseteru di pengadilan agar bisa diceraikan dan mendapatkan hak asuh. Ia menang, meski tak mendapat sedikit pun harta gono gini. Tapi ia tak mempermasalahkan itu. Bisa bersama anak-anaknya adalah kebahagiaan luar biasa baginya. Dan belakangan ia membuktikan, lepas dari pernikahan toxic justru ia bahagia dan meraih banyak insight dan prestasi baru.

Tentu saja tak semua perempuan begitu. Rela melepaskan. Menganggap jodohnya telah selesai. Banyak perempuan justru membuat suami berada dalam neraka bernama pernikahan karena rasa insecure takut ditinggal suami. Seorang teman sekantor aku ada yang pernah selingkuh, kemudian si istri meratap-ratap memohon agar ia kembali. Ia pun teringat anak-anaknya, dan berbalik pada sang istri. Namun apa yang terjadi…..

Ia menjadi bagaikan seorang tahanan. Terpenjara dalam institusi bernama pernikahan. Ponselnya dikloning, ia pun diberi GPS. Setiap menit harus menerima teror telpon dari istrinya, menanyakan keberadaannya. Seluruh teman kantornya diminta mengawasi dirinya agar tak selingkuh lagi. Bagian kepegawaian memberinya sanksi karena perselingkuhan itu, atas laporan istrinya. Karirnya terancam. Mantan selingkuhannya dipermalukan, seolah ia wanita nakal, meski kita semua tahu ia perempuan baik yang tak dapat lari dari rasa jatuh cinta. Yang paling mengerikan dari semuanya, sang istri segera menyita ATM dan buku tabungan gaji teman aku. Ia mendadak menjadi kesulitan keuangan, bahkan hanya untuk sekadar membeli rokok. Mengemis meminta segala sesuatu pada istrinya, meski semua itu hasil kerjanya.

Tanpa adanya perselingkuhan, ada banyak istri dengan perilaku serupa itu. Menguasai semua sumber penghasilan suami, tanpa ingat bahwa sang suami bekerja keras untuk itu. Kelumpuhan finansial ini dipercaya mengurangi kesempatan pria untuk bermain di luar. Baik main kelereng, main judi, maupun main perempuan. Ini seringkali ditambah dengan perlakuan ala detektif yang selalu mencurigai suaminya. Mereka menciptakan neraka baru bagi suaminya. Ini kadang membuat aku heran, cinta seperti apa yang tega mengekang seperti itu? Konon suami-suami dalam pernikahan neraka inilah yang rentan selingkuh.

Terlepas dari itu, ketidak mandirian memang sering jadi salah satu akar ketidakbahagiaan pernikahan. Baik karena diperlakukan semena-mena suami, atau istri yang memaksakan pernikahan meski sudah tak ada kebahagiaan lagi di situ. Berlindung atas nama ‘demi anak-anak’ meski sebenarnya adalah ketakutan karena tak mampu hidup mandiri.

Ketidakmandirian perempuan di masa lalu bisa jadi adalah akar dari semua hujatan berlebihan terhadap pelakor, meski masa kini telah berbeda. Tapi cap salah pada perselingkuhan sering tak memberi ruang introspeksi diri, hanya menyalahkan karena kebetulan memiliki legalitas. Di masyarakat lain, kisah perselingkuhan bukan lagi kisah heboh dimana setiap orang akan menghujat tanpa memahami akar permasalahan. Melupakan hak-hak untuk meraih kebahagiaan, termasuk untuk lepas dari hubungan yang tak membahagiakan. Termasuk melupakan fakta bahwa cinta tak dapat dipaksakan atau meski kita memilikinya, belum tentu kita memiliki hatinya.

Bagaimana perempuan di masa lalu yang tak mandiri secara finansial menghadapi kasus perselingkuhan? Mereka umumnya menahan diri, memaklumi, sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan mandiri. Maka agama punya mekanisme bernama poligami, sedang adat dan tradisi memahami adanya selir dan harem. Meski hati hancur lebur, mereka paham konsekuensi dari ketidakmandirian.

Tetapi apakah perempuan modern juga harus mengalah dan memahami bila dimadu? Ada pilihan lain, perempuan modern punya pilihan untuk berpisah. Hidup mandiri. Tak memaksakan cinta sepihak. Tak perlu berlarut-larut memelihara dendam. Yang perlu adalah menyelesaikan dengan kepala dingin, tetap menjaga silturahmi demi anak. Bagaimana bila masih terlalu cinta dan tak kuat berpisah. Bersabar, konon pasangan yang diam, mengalah dan tabah akan membuat suami tak akan menempuh jalan ekstrim menceraikannya. Tetap kembali penuh cinta. Tak perlu menyalahkan yang lain.

Pernikahan punya banyak unsur yang tak dapat dinilai hanya dengan hitam putih. Tak semua pasangan resmi baik dan benar, tak semua pasangan tak resmi jahat dan salah. Introspeksi mungkin menjadi kunci….

Aisha Khanzaniyya Hamid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *