Listrik di Surakarta: Kisah Kemandirian Energi yang Terhambat

Pernah mendengar sejarah listrik dan hubungannya dengan nasionalisme? Tentu ini jarang sekali kita dengar, sebab buku kisah sejarah tematik sangat jarang kita temukan di Indonesia. Beruntung saya bertemu buku Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo. Buku ini diawali kisah berdirinya  Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM), perusahaan listrik pertama di Surakarta pada masa kolonial yang berdiri pada 12 Maret 1901. Sebagai pemegang saham, maka dua kerajaan besar di Surakarta menempatkan wakilnya sebagai komisaris: Raden Adipati Sasradiningrat sebagai patih yang mewakili Kasunanan serta De Kock van Leeuwen sebagai utusan Pura Mangkunegaran. Seorang lagi, Be Kwat Koen, adalah seorang Kapiten Cina yang terkemuka di kalangan Tionghoa Solo.

Keberadaan listrik segera saja menjadikan Solo kota yang kosmopolitan, sekaligus memicu lahirnya budaya perkotaan. Bukan saja karena tampak terang benderang di malam hari, namun kehadiran listrik juga memacu industrialisasi di kota Solo. Adanya penerangan di malam hari membuat pabrik-pabrik dan industri mulai mengenal sistem kerja shift atau lembur malam yang kemudian meningkatkan produksi.

Tersambungnya aliran listrik di Surakarta berdampak pada kehidupan malam. Angka kriminalitas yang menurun drastis sejak adanya penerangan listrik di malam hari.  Listrik juga menggairahkan dunia hiburan di ruang publik perkotaan seperti Taman Sriwedari. Pertunjukan bioskop dan wayang, juga taman hiburan aneka permainan, disukai bukan hanya orang Jawa saja, melainkan orang etnis lain dan bangsa Asing. Dalam buku  Jejak Listrik di Tanah Raja (JLTR) menceritakan bila Taman Sriwedari juga menjadi tempat para pemuda dan pemudi tebar pesona. Beragam busana terlihat di sana, termasuk busana ala Solo campur Bandung, sepatu dilapisi besi, dan peci ala Padang, ala mancanegara, meski sebenarnya hanya orang Solo setempat. Banyak yang jadi bingung pulang ke rumah karena terkena cambuk asmara. Berkat listrik pula, bioskop telah hadir sejak tahun 1914, dengan adanya dua bioskop di perempatan Pasar Pon dan Purbayan.

Penerangan juga membuat kota dan kampung terlihat lebih bersih dan indah di malam hari, rumah terawat dan terpelihara, membuat nyaman kaki melangkah. Demikian kesaksian sastrawan Jawa yang juga Guru Gubernemen Surakarta, Yasawidagda tentang kemajuan di Solo dengan kehadiran listrik.  Dalam suatu tembang asmaradana dikisahkan bila pukul 18.00 seluruh lampu elektrik telah menyala semua, kediaman raja bersinar terang dengan kemuliaannya. Lalu pada pukul 19.00 kemuliaannya menerangi semua jalan.

Bukan hanya itu, tembang dandhanggula berjudul Penglipur Manah (Pelipur Hati) menuliskan syair tentang perkembangan zaman dapat dilihat dari lampu gantung dengan minyak tanah, beralih dengan lampu pompa dengan gasoline dan berganti lampu listrik yang lebih terang. Orang gunung menyebutnya ‘lampu setan’. Meski memiliki semuanya, tulis tembang itu, belum tentu hatinya terang jika belum menerangi sesamanya serta sesama makhluk ciptaan… demikian lirik tembang itu. Bukti bila kehadiran listrik di Solo ternyata telah mengilhami sejumlah karya sastra dan menginspirasi dimensi spiritual masyarakat.

Buku JLTR ini memang sangat menonjol ketika membahas kondisi sosial budaya, tidak melulu serangkaian data-data teknis yang terasa kering dan membingungkan pembaca awam seperti saya, sebagaimana lazimnya buku sejarah. Membuat kita berhenti membaca, hanya beberapa menit setelah membuka buku. Buku ini tidak begitu. Penuh kisah informatif yang menggugah rasa ingin tahu untuk membuka lembar demi lembarnya, seperti kisah Pakubuwono X yang sangat menikmati listrik. Sejak 1907, Madusuka,  ruangan tidur pribadi Sinuhun (PB X) mulai dipasang instalasi listrik. Ini artinya PB X tidur dalam terang benderang, berbeda dengan lazimnya orang Jawa yang memilih tidur dalam keremangan, demikian catatan sastrawan Padmasusastra.

Namun puncak dari buku ini adalah uraian tentang pengaruh listrik dan kemandirian bangsa. Adalah Mangkunegara VI (1896-1916) seorang raja yang visioner, dan menjadi penggerak kemajuan industri dan perekonomian di Mangkunegaran yang sebelumnya nyaris pailit di era Mangkunegara V. Ketika perusahaan SEM berdiri di Solo, Mangkunegara VI menunjuk J.A.C De Kock van Leeuwen sebagai komisaris  karena Mangkunegara VI meyakini, De Kock van Leeuwen sebagai seorang profesional yang terbukti berhasil membawa pabrik gula milik Mangkunegaran kembali berjaya, akan mampu mengoptimalkan kehadiran listrik untuk pengembangan industri dan memakmurkan praja Mangkunegaran.

Tindakan Mangkunegara VI itu tepat sekali. De Kock menguasai segala masalah mulai dari teknis hingga tarif. Akibatnya, Mangkunegoro VII yang memerintah kemudian, tidak kesulitan untuk mengikuti kemajuan teknologi perlistrikan. Mangkunegoro VII bahkan berinisiatif mendirikan pembangkit listrik dan perusahaan listrik sendiri. Setelah serangkaian riset dan observasi, Kali Samin di Tawangmangu dianggap sangat ideal untuk menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang bisa memasok listrik hingga ke wilayah Yogyakarta. Ini tentu saja merupakan kabar gembira bagi warga Surakarta, karena kebutuhan listrik dapat dipasok dari tempat yang lebih dekat. Pihak Mangkunegaran kemudian bekerjasama dengan SEM untuk mendirikan PLTA Kali Samin.

PLTA Kali Samin benar-benar terwujud, bahkan berhasil beroperasi selama tiga tahun. Bangsawan dan masyarakat setempat sangat mendukung proyek ini, setelah sebelumnya Mangkunegaran sukses dengan pemanfaatan sumber air di Tawangmangu untuk industri air minum. Keberadaan listrik ini pula yang memacu lahirnya pariwisata di Tawangmangu. Segera bermunculan hotel-hotel yang ditunjang kehadiran listrik, juga obyek-obyek wisata yang menarik.

Namun sayang, Pemerintah kolonial Belanda kemudian berbalik haluan. Pemerintah menjelaskan, membangun listrik dengan sumber daya alam sejatinya adalah urusan pemerintah, sehingga perlu ditinjau dulu sebelum menerbitkan izin eksploitasi. Penguasaan listrik di Tawangmangu oleh Mangkunegaran dianggap menyimpang. Ketakutan menjalar pada pemerintah kolonial Belanda yang tak suka pribumi dapat menyelenggarakan sarana vital seperti listrik.  Kebijakan-kebijakan tentang listrik, ternyata telah memasuki ranah politis, bukan ekonomi semata.    

Tidak sedikit masyarakat Surakarta menyesalkan keputusan Mangkunegara VII yang dianggap tidak berani berspekulasi mendirikan perusahaan listrik sendiri. Pembangunan PLTA itu dianggap terobosan penting bagi bangsa pribumi. Bukan hanya peningkatan pendapatan, rakyat menikmati tarif yang lebih murah, tetapi tentu saja bentuk kemandirian bangsa. Kemandirian ini akan memupuk lahirnya nasionalisme. Langkah ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda karena berpotensi mengurangi pemasukan dan tentu saja mengganggu stabilitas politik. Kepercayaan publik terhadap Praja Mangkunegaran akan menguat lantaran mampu mengupayakan pengadaan listrik yang murah bagi bangsanya.

Kehadiran listrik juga telah mempercepat kemajuan ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya namun kemandirian energi adalah pelajaran terbesar yang bisa diambil dari hadirnya listrik di Surakarta lebih dari seratus tahun lalu. Kemandirian ternyata telah dirintis bangsa kita seratus tahun lalu. Hendaknya menjadi spirit kita untuk selalu menjadi bangsa yang mandiri.

Sebagai tulisan sejarah, buku JLTR ini telah memenuhi kebutuhan akan apa yang dikatakan sejarawan Hilmar Farid sebagai sejarah yang Indonesia sentris. Penulisan sejarah Indonesia yang dominan selama ini masih warisan dari Belanda, dengan periodisasi serta arsip yang dibuat dalam perspektif mereka. Maka sejarah yang Indonesia sentris itu harus mampu memasukkan unsur ethic dalam metodologinya. Adanya hasrat-hasrat normatif untuk memasukkan makna seperti nilai nasionalisme. Suatu sejarah yang memerdekakan bangsanya, bukan hanya sedalam artian fisik, tetapi juga mental.

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *