Di masa Perang Dingin, atau tepatnya Pasca Perang II berakhir, kepemilikan senjata nuklir dianggap sebagai kunci. Ia adalah simbol kedigdayaan dan kemajuan suatu negara. Buktinya kemenangan Sekutu di Asia Timur, tersebab dua bom yang dijatuhkan di atas kota Hiroshima dan Nagasaki. Kemenangan yang semu, karena “Sekutu” kemudian justru terpecah dan saling berebut pengaruh. Dan pada akhirnya membuat dua kubu besar yaitu Blok Barat yang imperialis-kapitalis dan Blok Timur yang sosialis-komunis.
Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa Gerakan Non-Blok, tentu ingin mempunyai kekuatan tawar sebagai “Blok Tengah” dengan juga memiliki kekuatan nuklir, dalam arti konkret sebagai senjata pemusnah.
Istilah “nuklir” sendiri terkadang rancu karena sebenarnya kita tak pernah menyebutnya demikian. Indonesia sejak awal sejarahnya mengenalnya sebagai “tenaga atom”. Karena itu, lembaga paling awal yang didirikan pada tahun 1954 adalah Komite Nasional Tenaga Atom (KNTA). Empat tahun kemudian namanya diubah menjadi Lembaga Tenaga Atom (LTA). Lembaga ini memiliki tugas yang lebih luas, Sukarno berharap Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di bidang teknologi nuklir.
Pada April 1965 untuk lebih mempercepat cita2 tersebut, statusnya menjadi organisasi pemerintah. LTA berubah nama menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), sementara direktur utama LTA, Gerrit A. Siwabessy, diangkat menjadi Menteri Badan Tenaga Atom Nasional. Untuk menandaskan ambisinya tersebut, Sukarno memberikan pidato dalam acara Muktamar Muhammadiyah ke-36 yang diadakan di Bandung pada 24 Juli 1965. Kenapa di depan Muhammadiyah? Kebetulan belaka? Atau sengaja berkonotasi tertentu, karena lembaga ini dianggap jauh lebih progresif dan berorientasi kemajuan. Tak jelas!
Tapi, salah satu petikan kalimatnya yang tenar hari ini adalah “Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri.”
Dan itulah akhir dari cita2 Indonesia untuk memiliki senjata nuklir secara mandiri. Sejurus hingga 60 tahun kemudian, bahkan cita2 membuat PLTN pun terus menuai kontroversi. Nuklir berhenti sebagai bidang riset yang kemanfaatan, selalu jauh tertinggal di belakang kemajuan sejenis yang dicapai negara lain. Sependek yang saya tahu, hanya dua PTN yang memiliki jurusan spesifik tentang Teknik Nuklir. Menunjukkan bahwa perhatian di bidang ini memang minim, mengingat sisi kontroversinya yang memang tak pernah selesai.
Dan itu tak terbatas di bidang tenaga atom, tapi nyaris mengular panjang pada nyaris semua bidang riset. Outputnya adalah rasa frustasi setelah nyaris 75 tahun merdeka, bidang riset nyaris selalu jauh tertinggal dari negara maju, bahkan dari negara tetangga yang sebelumnya jauh di belakang. Padahal nyaris puluhan lembaga riset didirikan, dibiayai tapi dianggap tak pernah cukup. Tenaga terdidiknya diberi kesempatan menimba ilmu di nyaris di semua bidang. Namun tetap saja, hasilnya jauh panggang dari api.
Ketersebaran lembaga riset yang ada di dalam berbagai organisasi dan lembaga, baik kementrian, perguruan tinggi, industri strategis maupun berbagai badan independen. Bukannya membuat jejaring yang kuat, terkoordinasi, dan sinergis, tetapi memunculkan ego sektoral yang rumit dan menjengkelkan. Rasa frustasi dan jengah itulah yang kemudian secara praktis dan taktis, membuat Jokowi memutuskan meringkasnya dalam satu nama lembaga bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan melebur semua lembaga riset yang pernah ada.
Tak terkecuali lembaga mentereng sekelas BPPT, LIPI, bahkan lembaga kawakan seperti Lembaga Eijkman yang usia dan reputuasinya bahkan jauh lebih tua dan mendunia dari negeri ini. Dan rasa frustasi ini sampai pada puncaknya tatkala, justru Megawati diangkat sebagai Ketua Dewan Pengarah. Pertanyaan yang munvul tentu saja, terkait usia, kompetensi, reputasi, dst dst. Realiatas nyata: Megawati di BRIN adalah persoalan….
Dan jawaban tersirat dan tersebar luas yang bisa diperoleh sangat sederhana: kepentingan Megawati untuk menuntaskan cita-cita tertunda Sukarno agar Indonesia bisa memiliki senjata nuklir. Bukan saja alasan yang tidak friendly-listening (baca: ramah di telinga, enak didengar dan layak diamini), tapi terkesan mengada-ada, terlalu politis, dan salah zaman. Orang Jawa bilang: wis ora tata, salah mangsa.
Dari sinilah, media menjadi semakin tidak simpatik pada Megawati. Bukan tersebab profiling-nya, tetapi ketahu-diriannya menyangkut “jabatan baru”-nya tersebut. Gilanya, ya gilanya! Reaksi media-mainstream juga tak kalah absurdnya.
Dan di sini Tempo adalah media terdepan yang paling reaktif, sedemikian over-reaktifnya sehingga terkesan nyinyir dan overacting. Dan terakhir, liputan Tempo yang menuduh renovasi ruang kerja Megawati di eks-kantor BPPT menelan biaya 6 Milyard sungguh membuatnya publik ternganga. Bukan tertegun pada angkanya terutama, tapi pada sikap check and balance yang semestinay diterapkan. Karakter aktual media mainstream ini sungguh keterlaluan dan menyesatkan.
Disebutkan, bahwa Lantai 2 Gedung BPPT yang sebelumnya ditempati oleh Ketua BPPT sudah cukup mewah, karena di dalamnya sudah ada fasilitas ruang tidur, ruang tamu bahkan ruang makan plus mini bar. Bahkan fasilitas karaoke yang jadi aneh karena justru ada di lembaga bernama Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). Apa perlunya Ketua BPPT harus berkaraoke di ruang kerjanya. Lalu dengan fasilitas semewah Hotel Bintang 5 itu, masih juga harus direnovasi. Agar lebih wah wah lagi?
Di sinilah Tempo secara sengaja telah melakukan “framing” bukan saja terhadap BRIN, tetapi terutama Megawati secara pribadi. Tentuatas dasar ketidaksukaannya terhadap fenomena tersebut…
Realitasnya duit sebesar 6 Milyard itu, digunakan untuk merenovasi seluruh lantai 2 yang seluas lapangan bola itu untuk ruang kerja seluruh anggota Dewan Pengarah BRIN yang berjumlah 10 orang, plus 12 orang staff pendukung. Renovasi tersebut justru untuk menggusur fasilitas mewah “tidak perlu dan tidak pantas” yang sebelumnya secara sepihak dan terbatas hanya digunakan untuk memenuhi hasrat hedonis mantan Ketua BBPT. Renovasi ini dilakukan untuk menyedikan banyak ruang ruang rapat dan kebutuhan teknis yang justru sebelumnya tak ada….
Dari cerita di atas, sebenarnya mengungkapkan banyak hal, yang membuat publik harusnya makin paham dengan tentu mengelus dada.
Pertama, bahwa betapa absurd dan sembrononya bidang riset dikelola di masa lalu. Anggaran dana yang abadi dianggap tak pernah cukup untuk riset lapangan, namun di sisi lain para petinggi lembaga dibanjiri fasilitas kerja yang tidak perlu. Barangkali, berdasar hal2 seperti ini, bisa dipahami mengapa banyak lembaga riset mesti dilebur, mengingat betapa tidak efektif dan efisien cara mengelola lembaga2 tersebut.
Kedua, bahkan hingga tujuh bulan setelah pelantikannya anggota Dewan Pengarah, persoalan fasilitas kerja masih jadi masalah. Bukankah banyak fasilitas kerja bekas lembaga sebelumnya yang bisa digunakan. Apalagi dengan peleburan yang diikuti dengan perampingan SDM. Tentu banyak ruang kosong, dan fasilitas yang pasti tak optimal dipakai. Apalagi untuk para anggota Dewan Pengarah, yang tentu saja pasti telah memiliki fasilitas kerja yang melekat pada dirinya. Bukankah, hari ini adalah era tele-conference yang paperless, roomless, timeless, priceless, bla bla bla…
Ketiga, kenapa tiba2 BRIN identik dengan Megawati? Menagapa juga BRIN tiba-tiba terlalu ditarik pada ambisi pribadinya? Bangaimana mungkin senjata nuklir dijadikan visi dan misi terpentingnya? Bagi saya, Indonesia adalah negara dengan warga paling tidak displin di dunia. Orientasi loyalitasnya selalu floating (mengambang), dengan integritas dan kredibilitas yang rendah. Nuklir apa pun bentuknya dalam produk yang paling canggih, butuh SDM yang dalam konteks Indonesia “belum waktunya” atau lebih tepat “bukan pada tempatnya”.
Senjata atom atau Nuklir itu bukan untuk Indonesia.
Sekali pun ada banyak kemungkinan negara yang akan bersedia membanguna fasilitas senjata nuklir, semisal RRT (untuk melunasi janji tertunda di masa lalu), Russia (yang tentu saja butuh mitra strategis dalam jangka panjang), atau misalnya Iran dan Korut (nah kalau yang ini pasti melulu perluasan “pengaruh setan”). Tapi tidakkah akan butuh perjuangan extra, di luar teknis perakitan dan produksi. Perjuangan diplomasi yang melelahkan, meyakinkan negara tetangga, atau salah2 jadi alasan negara besar untuk kembali “mengacau” kita.
Lalu untuk apa nuklir sebagai senjata?
Mengubungkan Megawati dan Tempo itu menarik. Keduanya di hari ini, memiliki karakter yang nyaris sama: suka nyinyir dan gampang kepleset. Bedanya hanya di Tempo sudah tak pernah punya rasa malu lagi membikin “framing” berita….
.
.
.
NB: Secara pribadi, patokan saya adalah petikan pidato Sukarno saat ia menyatakan bahwa tak lama lagi akan membuat bom atom sendiri. Hal ini tentu sebuah “bohong besar”. Bohong karena, sebenarnya dana maupun teknologi yang digunakan adalah dari China, dan hingga akhir kejatuhannya hal tersebut cuma berhenti sebagai wacana dan rencana.
Bahkan bila kita selidik lebih teliti, sangat jarang ia menggunakan kata “Insyaallah”. Sukarno adalah seorang orator yang retoris, ia selalu menggebu dengan keyakinannya. Ya ternyata bahkan dirinya sendiri tak yakin, pantas bila Tuhan pun tidak merestuinya.
Bagian akhir yang paling menarik, dari kausalitas hubungan ibu anak ini. Mengapa mereka tiba-tiba menjadi megalomania justru di saat senja mereka. Senja usia, senja pemikiran, senja kekuasaan. Dulu sekali, orang-orang kaya keturunan Tionghoa, memberi fasilitas kepada orang tua yang sudah uzur, ahanya agar mereka mau berhenti bekerja. Dengan mengirim mereka ke Rumah Candu.
Mereka dipersilahkan menikmati opium sepuasnya, agar gak usah terlalu banyak berhalusinasi. Ngrepoti…