Sekelompok orang mengintimidasi umat Buddha di Lombok, hanya berawal dari pelarangan penyalaan petasan di malam takbiran. Beberapa waktu lalu terjadi insiden pengeroyokan terhadap Ade Armando. Kejadian Ade memancing berita viral tentang guru besar UGM yang mengutarakan kebenciannya pada Ade Armando dengan kata-kata tidak manusiawi. Sang guru besar kemudian dipersekusi oleh berbagai pihak. Di lain hari rektor suatu perguruan tinggi teknologi dianggap mengeluarkan kata-kata yang rasis. Ia pun segera menjadi sasaran persekusi. Sekali lagi lepas dari ketidakpatutan kata-kata yang mereka ucapkan, perilaku main hakim sendiri para netizen ini sangat mengerikan bagi saya. Bahkan terkadang memancing kekerasan di ranah maya itu berlanjut dengan sejumlah perlakuan intimidatif di dunia nyata. Kekerasan terhadap apa yang dianggap sebagai “musuh” rasanya makin dianggap wajar bahkan diaminkan.
Kasus-kasus intoleransi yang silih berganti itu makin mempertajam polarisasi di masyarakat. Dan saya, pelan-pelan mulai capek dengan polarisasi ini. Sebal dengan dua kutub-kutub ekstrim tersebut. Terutama saat mereka saling serang satu sama lain. Ini tak lagi masalah siapa yang salah atau benar menurut saya, tapi efek saling serang itu sangat tak efektif. Alih-alih membuat ‘yang dianggap salah’ merubah pandangannya, yang ada justru mereka ‘makin mempertahankan pandangannya’, bila perlu dengan cara kekerasan. Karena tak ada orang yang suka disalahkan, dipermalukan, atau dijadikan olok-olokan. Saya pun pernah ada di titik ini, berjuang dengan segenap tenaga agar apa yang saya yakini diterima dengan sepenuh hati oleh orang lain. Mempertahannya dari usaha-usaha orang yang ingin membuat keyakinan kita terlihat salah atau buruk, atau sibuk mengoreksi keyakinan orang lain.
It’s not working… meniru ucapan ala-ala anak Jaksel.
Tak sedikit pun mengurangi tensi ketegangan antar keyakinan. Ini terjadi untuk kedua kutub. Makin hari makin bagaikan minyak dan air. Polarisasi politik sendiri memang gejala global. Melanda banyak negara di dunia, sebagai ekses meruaknya informasi di masa kini. Polarisasi juga kerap menjadi salah satu titik lemah demokrasi modern. Masyarakat yang mengalami kekagetan di tengah derasnya arus informasi, dan dengan tingkat literasi yang rendah, mereka kemudian gagal memilah mana informasi yang benar dan mana yang hoax. Memilih hanya informasi yang disukainya secara emosional.
Sering saya berpikir, Soeharto mungkin benar dengan melarang keras berbicara apalagi ribut masalah SARA. Bila perlu dengan ancaman hukuman yang berat. Kita bahkan diam-diam bisa ditemukan telah menjadi mayat yang mengambang di sungai. Tanpa melalui pengadilan. Cara-cara ini tentu sangat tidak manusiawi. Apalagi kemudian banyak intelektual menganggap, maraknya kasus-kasus SARA di era selepas reformasi adalah efek buruk tindakan represif rezim Orde Baru membungkam masyarakat untuk menyatakan pendapat.
Tapi saya tak bisa lepas dari pikiran bahwa memang ada topik-topik yang sangat subyektif dan harus kita hindari dalam berkomunikasi dengan orang lain. Apalagi bila hanya berdampak pertikaian. Tidak bisa segala sesuatu terbuka seratus persen tanpa kendali. Demokrasi tentu saja bukan kebebasan yang liar untuk bicara seenaknya mencerca atau memaksa orang lain melakukan sesuatu yang sifatnya sangat privat dan subyektif.
Tentu saja ketika pendapat ini saya katakan pada teman-teman dekat, tak semua sependapat. Lagi-lagi tak sedikit yang menganggap berjuang menegakkan kebenaran itu harus dilakukan jika kita tak ingin diinjak-injak. Masalahnya kebenaran versi mana, demikian tanya saya dalam hati. Ada lagi yang menganggap saya penakut, hanya bermain di zona nyaman, dan ucapan serupa itu. Mungkin memang saya penakut, tapi sebenarnya saya hanya menganggap cara-cara konfrontatif itu tidak efektif.
Sampai akhirnya tanpa sengaja saya menonton podcast Dokter Ryu Hasan saat diwawancara Gita Wiryawan. Saya langsung bersemangat saat Dokter Ryu mengatakan, definisi kecerdasan menurut Biologi adalah kemampuan untuk survive, mempertahankan hidup lebih lama sesuai keadaan yang dimungkinkan. Saya pun tertawa dalam hati, “Cari slamet itu bentuk kecerdasan….”
Pembicaraan di podcast itu sungguh mencerahkan. Tentang mencairkan polarisasi dengan meningkatkan kapasitas komunitas. Bagaimana agar komunitas-komunitas di masyarakat cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi sendiri adalah bagian kecerdasan sosial. Semakin tidak cerdas emosi, semakin sulit suatu individu melakukan kerja sama.
Sayangnya, secara biologi kita tidak dirancang untuk bekerja sama. Manusia pada awalnya serupa dengan hewan-hewan lainnya. Mempertahankan hidup dengan naluri untuk selalu berkompetisi. Tapi kemudian segala keterbatasan fisik manusia, membuatnya sulit berkompetisi dengan hewan-hewan lain dalam perebutan makanan. Manusia pun mengembangkan kemampuan berpikirnya. Hingga akhirnya mulai melakukan kerja sama untuk berburu.
Peradaban manusia mulai berkembang sejak itu. Manusia menyadari kerja sama membuahkan sesuatu yang lebih produktif. Kognisi manusia tentang kerja sama berkembang. Manusia menciptakan bahasa dan mulai membuat narasi. Narasi inilah yang kemudian digunakan dalam menjalin kerjasama. Manusia pun terus berkembang. Dari sekadar gerombolan (flock) menjadi suku (tribe) hingga akhirnya membentuk negara bahkan kerja sama dunia. Kerja sama yang makin besar akan menghasilkan sesuatu yang makin spektakuler. Kemajuan teknolohi menambah kemungkinan kolaborasi menjadi makin besar.
Kemampuan berbahasa menjadi revolusi kognitif manusia yang pertama. Dari sana lahir narasi. Narasi tak hanya menghasilkan fiksi atau imajinasi, tapi juga manner (tata krama). “Manner does matter,” kata Dokter Ryu. Tata krama itu penting karena membuat manusia bisa bekerja sama meski tak saling menyukai. Menjembatani ketidaknyamanan dalam berhubungan satu sama lain.
Dari situ kemudian Dokter Ryu menyebut tentang literasi, sesuatu yang kerap menjadi perhatian saya belakangan ini. Gemar membaca buku berkorelasi lurus dengan indeks kebahagiaan. Pada masyarakat-masyarakat yang gemar membaca, indeks kebahagiaan mereka tinggi. Makin tinggi kebahagiaan komunitas atau masyarakat, makin cenderung untuk membaca buku. Di negara-negara yang ditengarai Bahagia seperti Finlandia, Norwegia, dan Denmark, ruang publik senyap karena nyaris semua membaca buku.
Membaca buku memang membuat bahagia. Orang yang bahagia sendiri bisa dikatakan cerdas secara emosi. Mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih rasional dan tidak emosional. Makin cerdas seseorang secara emosional, hidupnya makin berkualitas. Maka capaian-capaian dalam hidupnya pun makin berkualitas. Ini terjadi di negeri-negeri yang masyarakatnya bahagia.
Di negara-negara dengan indeks kebahagiaan tinggi itu, lebih dari 50 tahun lalu juga sama tidak teraturnya seperti Indonesia saat ini. Lalu bagaimana cara mereka mengubah masyarakatnya menjadi masyarakat yang bahagia? Ternyata dengan mengubah pendidikan yang mulanya berbasis kompetisi menjadi pendidikan yang melatih kolaborasi. Mereka dilatih kerja sama sama sejak usia dini.
Benar-benar dilatih bukan hanya dinasehati. Dokter Ryu mencontohkan, mereka di sana tidak cukup hanya menasehati: membuang sampah sembarangan akan menyebabkan banjir, tetapi benar-benar melatih membuang sampah dari usia dini. Dilatih hingga akhirnya menjadi terbiasa atau membudaya. Dokter Ryu pun memberi contoh yang lucu, tentang komandan pleton yang hanya menghimbau pasukannya untuk berbaris dengan baik. Bukan begitu caranya, kata Dokter Ryu, tetapi dengan melatih berbaris. Bila perlu dilatih baris berbaris 8 jam setiap hari.
Tapi yang paling menarik dari negara-negara bahagia itu, menurut Dokter Ryu, mereka membudayakan masyarakatnya sejak dini untuk peduli urusan-urusan publik, namun tidak pernah mengurusi urusan privat. Ini termasuk juga di Jepang dan Korea Selatan yang meningkat pesat kemakmuran dan indeks kebahagiaannya dalam 50 tahun terakhir. Di sana, mereka dilatih untuk tidak mengomentari orang lain. Karena disadari kebahagiaan tidak dapat dicapai suatu komunitas kalau ada orang yang gemar masuk ke wilayah pribadi orang lain. Value utama masyarakat bahagia adalah: tidak reseh urusan pribadi, tapi sama-sama peduli urusan sosial. Spiritualitas dan keyakinan di sana adalah urusan privat, tidak boleh dikomentari orang lain. Tidak share keyakinan mereka di ruang publik ataupun media sosial, karena membuat orang lain terpaksa mendengar keyakinan orang lain adalah pelanggaran norma bahkan pelanggaran hukum.
Tentang pendidikan ala negeri-negeri bahagia ini, apakah Indonesia akan memilihnya atau tidak adalah sebuah pilihan. Tetapi tentu saja konsekuensinya jelas. Meneruskan sistem kompetisi tentu kita tidak akan menghasilkan komunitas masyakarakat yang bahagia seperti di Finlandia dan lain-lain itu. Tapi dari sini saya kembali teringat polarisasi di Indonesia, yang terutama dipicu antara lain oleh politisasi perbedaan keyakinan dan ideologi. Andai masyarakat kita terbiasa dengan pendidikan bahagia yang membudayakan keyakinan adalah wilayah privat, gap polarisasi mungkin tak akan setajam sekarang. Kalau dipikir sekali lagi, Pancasila sendiri sudah mengajarkan tentang menghormati keyakinan orang lain. Hanya mungkin belum dilatih, belum dibiasakan, atau agar lebih terasa mantap, belum dibudayakan.
Vika Klaretha Dyahsasanti
Thank you for your post. I really enjoyed reading it, especially because it addressed my issue. It helped me a lot and I hope it will also help others.