MUSRA : Mencari Penerus atau Meneruskan Jokowi

Fenomena yang paling menarik dari dua kali kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019 adalah besarnya peran relawan. Keberhasilan press untuk “membranding” (bukan: memframing loh) Jokowi sebagai media darling, membuat publik baik yang selama ini dianggap sebagai massa loyal maupun massa mengambang tergerak. Dalam konteks ini “relawan” merupakan jalan keluar kebekuan politik praktis yang selama ini hanya bertumpu pada partai politik, orpol, dan ormas.

Sayangnya awal yang baik ini, kemudian oleh “sebagian kelompok” (catat: hanya sebagian saja) menjadikannya “seolah ketagihan dan kepedean” untuk terus berperan. Bukan sekedar karena sebagian di antaranya, berhasil masuk dalam berbagai struktur organisasi pemerintahan baik jalur birokrasi pemerintahan maupun berbagai jabtan komisariat dalam banyak BUMN. Namun yang pasti adalah mereka berkesempatan menikmati “kue kemenangan” tersebut dalam banyak pekerjaan yang diampu pemerintah.

Dalam konteks ini kepedulian selalu berhadapan langsung atau malah sebuah irisan tipis dengan kepentingan!

Di sinilah, ambigu yang sesungguhnya biasa saja. Namun menjadi tidak biasa saat, berbagai kelompok relawan ini keluar masuk Istana untuk menemui Jokowi untuk ikut bertanggung jawab menjamin “pilihan terbaik” yang akan menjadi penerus Jokowi. Pada titik ini, sangat terlihat bahwa Jokowi berkali-kali sangat kikuk dan canggung menghadapi mereka. Karenanya justru membuatnya menjadi sangat berhati-hati sekali. Karena hingga saat ini, ia tegas dalam dua hal saja. Pertama, tetap menolak perpanjangan jabatan. Kedua, tak pernah menyebut secara terbuka siapa yang “layak” dijadikan penerusnya.

Di kedua titik inilah, berbagai kelompok relawan ini mendayung, berselancar, atau mereposisi peran mereka. Alasan ini pulalah kemudian menyelenggarakan Musra adalah sebuah keniscayaan…

Pertanyaannya harus dimulai dari kenapa Musyawarah Rakyat (Musra) yang semula digagas pertama kali dilakukan di Solo, kemudian dipindahkan ke Bandung. Jawaban teknis yang paling mudah diterima adalah pada saat yang nyaris bersamaan, para relawan Jokowi di Solo sedang repot membantu Pemerintah Kota Surakarta yang sedang melakukan hajatan ASEAN Para Games 2022. Hal ini menunjukkan bahwa peran relawan akhirnya tak hanya bergerak di arena politik, tetapi tetap terjalin erat dala berbagai forum sosial, budaya, bahkan olahraga.

Namun secara non-teknis, alasan tersebut justru menjaga marwah kota Solo sendiri sebagai “pusat pergerakan” relawan Jokowi. Apa pun rekomendasi yang dihasilkan di kota ini, akan menjadi pertanyaan. Bahkan jika ternyata tatacara dan metode yang digunakan tanpa persiapan dan pengalaman yang cermat, justru akan menjadi berbalik “senjata makan tuan”. Ia akan mudah dituduh sebagai sentimen pada Jokowi atau malah kuda tunggangan salah satu calon yang kebetulan menjadi pejabat tertinggi provinsi tersebut (sebut saja: Ganjar Pranowo).

Kenyataan paling dasarnya adalah ambiguitas, kredibiltas, dan integritas sebagai “organisasi tanpa bentuk” seperti konsorsium kelompok relawan untuk menyelanggarakan sebuah “konvensi”. Karena itu istilah musyawarah sendiri menjadi kosa kata pilihan, yang seolah ada “urug rembug” di situ. Walau ujung2nya adalah sebuah konvensi biasa yang diselesaikan melalui voting (pemungutan suara). Inilah kemenduaan yang banal tentang praktek demokrasi di hari2 ini. Musyawarah yang bukan untuk mufakat, hanya representasi sebuah rekapitulasi pilihan-pilihan.

Sebuah hibridasi praktek demokrasi yang tanpa gagasan dan terobosan baru….

Dan setelah hasil Musra 1 di Bandung diumumkan. Kekhawatiran tersebut seolah terjawab, kenapa Musra itu memang sebaiknya tidak dilakukan di Solo. Pada apa yang disebut “calon presiden yang paling diinginkan rakyat”, dalam e-voting yang dilakukan pada 5.721 peserta Musra I. Pilihan pertama jatuh pada Jokowi dengan 1.704 (29,79 %). Berturut2 disusl nama Sandiaga Uno yang mendapat 986 suara (16,92 %), Ganjar Pranowo 921 suara (16,10%)
Setelahnya, ada Prabowo Subianto yang mendapatkan 635 suara (11,10%) dan Anies Baswedan 516 suara (9,02 %).

Dari situ muncul pertanyaan2 yang menggelitik dan mendasar. Kenapa jika tujuan utama forum ini untuk mencari penerus Jokowi, nama Jokowi masih dimasukkan ke dalam “peta persaingan” dalam forum tersebut? Bukankah Jokowi sudah menyatakan tidak berminat untuk mencalonkan lagi dan konstitusi memang melarangnya. Dan tak pernah tampak ada cukup kemendesakan apalagi keinginan untuk mengamandemen UU dan merubah ketentuan tersebut. Di luar butuh waktu dan proses panjang, tentu resiko yang tak kecil yang harus dihadapi pemerintah tidak saja dari partai politik maupun para aktivis demokrasi.

Apakah itu sebuah unggah-ungguh, sikap pakewuh, atau tak enak hati. Atau malah yang paling nyata adalah bentuk kegagalan para relawan untuk move-on, sekaligus bentuk ketidak percayaan pada nama2 siapa pun itu di luar Jokowi.

Hal ini lah, yang seharusnya dijadikan bahan koreksi Musra edisi2 selanjutnya bahwa “musyawarah” bukanlah “konvensi”. Musyawarah hanya lah ajang rembugan dan rasan-rasan. Ia tak bisa menghadirkan para calon, karena jelas forum seperti ini tak memiliki kapasitas mengundang “seseorang” untuk memperkenalkan dirinya apalagi mengkaji visi misi mereka. Belum lagi kenyataan pahit bahwa relawan tidak punya “kapasitas” untuk mencalonkan seseorang, dalam konteks mendaftarkan diri ke KPU. Hanya Parpol sajalah yang bisa, itu pun harus mengikuti electoral threshold yang pasti memaksa mereka mau untuk berkoalisi.

Sekali lagi, sebagaimana banyak kekhawatiran yang telah diberikan kepada ajang ini bahwa antara harapan dan realita itu selalu dipisahkan jurang yang menganga. Musra ini baru satu putaran, yang kelak akan dilanjutkan untuk dijalankan di 33 provinsi selanjutnya. Kalau di Jawa Barat sebagai kandang oposisi sudah? Masih menarik dan menyita perhatian publik-kah saat Musra dijalankan di tempat2 lain selanjutnya, jika pola dan metodenya masih sama?

Bagian yang paling penting untuk dijawab secara lebih tegas, tujuan Musra ini apakah mencari penerus atau meneruskan Jokowi…

Mari kita tunggu!
.
.
.
NB: Lepas dari realitas masih bertenggernya Jokowi di posisi teratas, terdapat dua fakta menarik dari Musra 1 di Bandung ini. Pertama, bahwa Sandiaga Uno (SU) bisa menjadi runner-up, mengalahkan nama2 yang dalam polling yang dilakukan berbagai lembaga survai jauh lebih ajeg dan itu2s saja urutannya. Dalam suatu kesempatan, Jokowi sendiri pernah berbicara bahwa SU adalah profiling pemimpin politik Indonesia di masa datang.

Hal perlu dicermati tentu saja bukan pada kapasitas, integritas, dan kredibiltas dirinya. Sesuatu yang ternyata dalam posisinya sebagai (dulu) saat menjadi Wagub DKI Jakarta, maupun (saat ini) sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonimi Kreatif (Menparekraf). Tampak ia terlalu biasa, dan tak punya prestasi apalagi gebrakan menonjol. Tapi realitas yang tak bisa dibantah ia adalah figur yang berani masuk ke dunia politik, setelah sukses secara bisnis.

Dari situ ia membangun reputasi sebagai orang yang mampu memobilisasi dana publik. Sesuatu yang sangat vital dan jauh lebih penting untuk karakter pemimpin masa depan, yang tak hanya main2 dan berkutat dengan duit negara.

Kedua, tentu saja keberhasilan sosok Ridwan Kamil sebagai pilihan tertinggi sebagai “cawapres yang paling diinginkan”. Lepas dari prestasi dan reputasinya, sangat kuat terasa “sentimen kedaerahan”. Karena Musra dilakukan di Jawa Barat, maka yang menjadi usulan populer adalah figur yang dapat mewakili dan menjadi representasi daerah tersebut. Saya tidak bisa prediksi, apakah preseden dan trend seperti ini juga akan berlaku di daerah2 lain. Mengingat sangat jarangnya “nama nasional” yang berasal dari daerah lain.

Inilah suatu “asap peringatan” bahwa ternyata calon pemimpin nasional kita, hanya berkumpul di sekitar Pulau Jawa. Bahkan cuma di sudut2 kota Jakarta. Barangkali inilah arti terpenting Musra dilakukan, menjaring nama2 baru yang barangkali juga perlu digali, ditengok dan dinilai “probabilitas”-nya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *