Sejak beberapa waktu lalu, Komunitas Pelukis Realis Solo mengadakan pameran lukisan bertema ‘Sedulur Ndesa’. Berawal dari begitu bangganya para pelukis kota Solo ini kepada sosok Jokowi, maka tak henti-hentinya doa dilantunkan mengawal perjuangan ‘sedulur ndesa’ nya itu agar meraih kemenangan. Lukisan-lukisan potret Jokowi dalam berbagai ekspresi ini adalah ekspresi jujur para seniman yang polos apa adanya dalam menyuarakan isi hatinya. Demikian alasan para pelukis realis itu tentang pemilihan sosok Jokowi sebagai obyek lukis.
Secara spontan dan tanpa sengaja, sosok Jokowi-lah yang membuat Komunitas Pelukis Realis Solo ini terbentuk. Pada bulan Juni tahun 2014, seusai pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla ditetapkan sebagai calon Presiden Republik Indonesia oleh KPU Pusat, sejumlah pelukis realis di Solo berinisiatif untuk menggalang dana yang akan disumbangkan pada Tim Kampanye Jokowi. Para pelukis ini melukis beraneka sosok Jokowi. Lukisan-lukisan Jokowi itu kemudian dilelang dan hasil lelang disumbangkan pada Tim Kampanye Jokowi-JK.
Peristiwa itu ternyata menjadi perekat persaudaraan para pelukis realis sehingga tanpa sengaja menjadi tonggak terbentuknya Komunitas Pelukis Realis Solo. Pada tahun 2019, mereka kembali melakukan kegiatan dukungan pada Jokowi. Kali ini berupa selebrasi kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Selebrasi ini dilakukan setelah hasil suara pemilihan Presiden 2019 diumumkan secara resmi oleh KPU Pusat pada 21 Mei 2019 dini hari, meski pasangan Prabowo-Sandi kemudian mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Selama menunggu Putusan MK, saat banyak relawan dan kelompok pendukung Jokowi lainnya belum berani melakukan selebrasi, Komunitas Pelukis Realis Solo justru dengan berani menggelar acara melukis bareng sosok Jokowi di halaman Benteng Vastenberg saat itu. Acara ini disambut para pelukis realis dengan antusias. Tercatat 80 orang pelukis realis ambil bagian, termasuk dari daerah-daerah di luar Solo seperti Demak, Jepara dan Yogyakarta.
Lukisan-lukisan itu adalah sikap politik para pelukis realis saat itu. Awam, sederhana tetapi itulah ‘cara ndesa’ yang mampu dilakukan perupa. Sebagian dari lukisan itu kini dipajang di Galeri Royal Besaran, Colomadu, Solo. Di situasi yang sulit ini, pameran ini ingin mengenang kembali harapan-harapan yang pernah ditorehkan di atas kanvas. Harapan semoga situasi membaik bagi semua. Mimpi sederhana akan penghargaan yang layak bagi profesi keahlian para pejuang keindahan.
Keinginan para pelukis realis itu memang sungguh sederhana. Harapan bila pameran-pameran yang mereka adakan dapat mendorong perubahan situasi. Perubahan pada ekosistem seni lukis, berupa apresiasi masyarakat yang lebih besar terhadap karya seni lukis. Dengan cara sederhana, interaksi yang lebih intens dari masyarakat terhadap karya-karya seni lukis. Baik dengan cara banyak mengunjungi pameran maupun meramaikan pasar seni lukis sebagai tempat para pelukis menggantungkan hidup.
Para pelukis realis tidak mengharapkan mereka dihidupi pemerintah. Berbeda dengan banyak orang kaya Indonesia yang justru sangat menggantungkan diri dari proyek pemerintah. Para pelukis realis itu hanya berharap pemerintah lebih mengedukasi masyarakat tentang arti, makna dan manfaat kesenian, untuk keberlanjutan seni lukis di masa yang akan datang. Dari situ akan tercipta ekosistem seni lukis yang kondusif, sehingga para pelukis realis itu mampu menghidupi diri dari seni lukis. Cita-cita sederhana agar profesi pelukis realis dapat menjadi tumpuan hidup mereka.
Mungkin pemerintah melalui kementerian dan dinas terkait dapat memulai dengan memetakan pemangku kepentingan (stakeholders). Mulai dari pelukis, masyarakat penikmat seni lukis, pasar, institusi penyelenggara pameran, lembaga pendidikan seni, kelompok seni dan sanggar, kritikus dan kurator, industri terkait seni lukis, bahkan media massa maupun media sosial. Dari sana pemerintah dapat memantik iklim berkesenian yang lebih intens. Bila perlu meski pelan namun progresif mendorong Perbankan menjadikan para pelukis menjadi nasabah yang kredibel.
Dari sini kita mungkin akan bertanya, mengapa disebut pelukis realis. Apa bedanya dengan pelukis saja. Telah menjadi bagian dari sejarah panjang seni lukis bila bisa dikatakan ada dua arus utama di dunia seni lukis. Di satu sisi, ada kelompok pelukis dengan teknik garap realistik yang melukis dengan pengamatan murni, tanpa terbeban dengan gagasan-gagasan kekinian dan polemik nilai-nilai. Melukis dengan menggunakan mata dan tangan, berpijak pada realitas visual obyek, menawarkan kenikmatan visual. Di pihak lain adalah seniman yang berkarya menggunakan media-media visual, namun lebih mengedepankan gagasan dan pergumulan nilai dalam karyanya. Melukis dengan menggunakan otak dan kata-kata, memprioritaskan tersampaikannya ide-ide dan terkadang melepaskan diri dari kaidah-kaidah kenikmatan visual.
Tak ada yang salah dengan kedua arus utama seni lukis tersebut. Hanya saja belakangan para pelukis realis sering merasa terpinggirkan karena opini-opini yang kurang berpihak pada pelukis realis. Antara lain bahwa lukisan mereka hanyalah kerajinan tangan (craft) dan bukan karya seni, karena tak ada gagasan atau ide yang diperjuangkan di dalamnya. Keadaan ini diperparah dengan adanya hegemoni dari lembaga pendidikan seni, bila karya seni bermutu tak hanya mengandalkan visual. Karya-karya realis dianggap rendah mutunya karena tolok ukur penilaiannya kini bergeser ke intelektualitas. Tiba-tiba skill melukis, apa yang dipupuk dengan intensitas dan ketekunan oleh para pelukis realis selama berpuluh tahun menjadi terasa tak dihargai.
Yang lebih menyedihkan lagi, tanpa sengaja institusi pemerintah sering menyuburkan pandangan-pandangan yang mendiskreditkan seni lukis realis ini. Misalnya pada ajang-ajang kompetisi lukis, penilaian senantiasa memberi bobot lebih pada gagasan dan nilai-nilai dibanding skill teknis melukis. Begitu pula ruang-ruang pamer dan kuratorial sepertinya tidak diperuntukkan bagi mereka yang memamerkan kemampuan teknis melukis, tetapi lebih kepada mereka yang memamerkan wacana. Pelan-pelan terbentuk preferensi seni yang kurang berpihak pada pelukis realis. Imbasnya bisa panjang, ekosistem seni lukis menjadi kurang berpihak pada mereka. Membuat seniman realis semakin sulit mengandalkan hidup pada seni lukis semata.
Fakta ini cukup menyedihkan. Dari cerita-cerita para pelukis di Komunitas Pelukis Realis Solo, ada banyak dari mereka yang kini tak lagi mengandalkan penghasilan dari seni lukis untuk bertahan hidup. Ada yang beralih profesi menjadi tukang parkir, nelayan, bahkan tidak sedikit yang telah meninggalkan Solo, mengadu nasib ke tempat lain yang jauh sebagai buruh. Menyedihkan, mengingat kemampuan melukis bukanlah kemampuan yang bisa didapat instan, perlu ketekunan bertahun-tahun. Lebih memprihatinkan lagi bila kita sadar, kemapuan melukis adalah kemapuan langka. Bisa jadi belum tentu ada satu pelukis di antara 5.000 orang.
Mereka para pejuang keindahan. Selayaknya kita mengapresiasi mereka, ada dan tidak idealisme ataupun gagasan kekinian dalam karya mereka. Pejuang keindahan, mereka yang memanjakan indra-indra kita, layak mendapat penghormatan yang tinggi dari kita. Bukankah seni melembutkan hati, membawa kebahagiaan, dan menjauhkan kita dari hal-hal destruktif.
Kalau kita ingin generasi penerus yang gembira, bahagia, tak mudah terbakar amarah….
Kalau kita ingin masa depan NKRI yang tak tercabik-cabik perpecahan bangsa….
Saatnya kita mulai mendekatkankan diri dengan kesenian. Seni. Termasuk juga seni lukis realis yang konon dianggap hanya memanjakan mata tanpa membawa pesan apapun.
“Suk yen aman, walesku apa..? Tutuge dongeng puniki… Indonesia wis merdiko Diganti tatanan edi… ngajeni mring podo manungsa… Welinge sing ndongeng niki: Yen kakang mbakyu neng kutha, welinge aja nganti lali… lan ojo disio-sio…”
(petikan lirik Langgam Dongengan karya komponis Gesang yang dijadikan penutup katalog Pameran Komunitas Pelukis Realis Solo kali ini)
Sunu Prasetya