Ingat emansipasi, pasti ingat Kartini. Ingat filosofi kepemimpinan, ingat Ki Hadjar Dewantara. Ingat kebebasan pers, ingat Habibie. Ingat infrastruktur, pastinya teringat Jokowi. Ini baru dari segelintir orang, tidak terbayangkan jika banyak orang atau pemimpin mewariskan sesuatu yang baik dan yang membawa perubahan. Betapa majunya negeri ini!
Namun sayangnya, sepertinya tidak semua pemimpin menyadari pentingnya legacy. Beberapa terlihat hanya memanfaatkan posisi atau jabatan untuk meningkatkan branding diri dan memperluas circle kekuasaan, yang tidak berimbang dengan kerja giat bagi kepentingan masyarakat.
Legacy atau warisan menjadi kata yang sarat makna. Banyak orang sangat senang ketika mendapat warisan, biasanya berupa harta atau nama baik. Namun, ada juga orang yang merasakan kebalikannya, nestapa, ketika mendapat “warisan” berupa utang, tanpa ada pencapaian.
Apa pun jenis materi atau kondisinya, warisan masih menjadi kata yang cukup “elegan”. Setiap orang yang mendengarnya pasti akan bertanya-tanya dengan takaran seberapa banyak, seberapa kaya. Padahal warisan tidak hanya berbicara tentang harta. Warisan bisa berupa beragam hal, mulai dari falsafah hidup, kemerdekaan, paradigma, sampai terobosan baru dalam aspek-aspek tertentu.
Setiap orang berhak untuk meninggalkan legacy, tapi belum tentu setiap orang menyadarinya, terutama bagi seorang pemimpin. Pemimpin sebagai orang yang dipercaya, berpengaruh, memiliki pengikut, seharusnya memiliki legacy untuk diberikan. Ketika seseorang dipercaya untuk memimpin, dia seharusnya bisa memberikan pengabdian terbaik, dan kelak meninggalkan legacy yang baik pula.
Bagaimana dengan pemimpin-pemimpin yang selama ini kita ketahui? Apakah mereka berpotensi memberi legacy yang baik bagi masyarakat yang selama ini telah memilih, mendukung, dan memercayainya? Atau, selama ini pemimpin hanya berseliweran di medsos dan media massa hanya untuk mengembangkan sayap, tapi sebenarnya tidak terbang ke mana-mana? Apa yang spontan terlintas di benak kita ketika mendengar nama Buya Syafii Maarif, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono, Prabowo, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, hingga Ridwan Kamil? Apakah kita menemukan sesuatu yang memiliki value tinggi? Sesuatu yang kuat, baik, fenomenal, dan pengaruhnya terasa hingga kini?
Legacy menyangkut identitas, karakter, dan kiprah seseorang. Membahas legacy, biasanya kita serasa seperti orang pasif yang tinggal menerima warisan saja. Dalam sebuah keluarga, anggota keluarga hanya menerima legacy dari seseorang yang telah meninggalkan mereka. Namun, dalam ranah kepemimpinan, kita bisa aktif untuk bersumbangsih dalam membentuk legacy apa nantinya yang akan ditinggalkan oleh pemimpin yang kita pilih. GImana caranya?
Apakah kita akan memilih seseorang yang jelas-jelas kita tahu tidak punya kiprah yang baik? Rekam jejak kepemimpinan seseorang pasti akan diketahui, bahkan membekas dalam ingatan masyarakat. Apakah kita akan memilih seseorang karena mempertahankan kepentingan golongan tertentu? Atau, kita akan berjuang keras untuk memilih pemimpin yang kita yakini akan meninggalkan legacy yang baik. Bagaimana kita bisa tahu?
Kita bisa mencermati kiprah pemimpin. Apakah ketika mendapat kesempatan, posisi, jabatan, pemimpin tersebut benar-benar bisa memanfaatkannya dengan baik untuk kepentingan masyarakat. Jika kiprah-kiprah sebelumnya saja tidak ada sesuatu yang bisa dipetik baik, atau bahkan menyusahkan masyarakat, kita harus berpikir ulang untuk memilihnya.
Tidak akan mungkin legacy terjadi dalam waktu yang singkat. Legacy mencakup bagaimana seseorang itu hidup dan menghidupi perannya. Ini perlu waktu, perlu komitmen, konsistensi, dan perlu karakter serta etos kerja yang benar. Legacy tidak bisa terjadi dalam satu atau dua bulan. Legacy merupakan hasil dari suatu proses yang perlu waktu, bisa dilihat, diakui, dan bertahan lama.
Pemilu 2024 menjadi salah satu momen penting kita untuk memilih pemimpin negeri ini. Kita punya pertimbangan dan kesadaran untuk melihat legacy apa yang nantinya akan ditinggalkan oleh pemimpin. Memilih pemimpin bukan berdasarkan apa yang didengar telinga saja. Calon pemimpin selalu akan menyatakan yang baik-baik, menyenangkan, terdengar manis dan meyakinkan, dan sangat antusias mengumandangkan kehidupan akan jadi lebih baik. Terdengar sempurna, tapi itu bukan satu-satunya konfirmasi yang utuh bagi kita untuk memilih seorang pemimpin.
Kita punya mata dan pikiran yang bisa menganalisa lebih dalam. Telinga saja tidak cukup dan bisa dimanipulasi dengan kata-kata manis, tetapi mata dan pikiran kita, termasuk hati nurani akan bisa menyelisik lebih jauh. Bukan hal yang main-main memilih pemimpin negeri ini. Yang terpilih, itulah yang akan menentukan legacy seperti apa yang akan diterima generasi bangsa ini.
Mencermati tentang legacy membutuhkan critical thinking. Kita perlu aktif. Kita perlu terlibat dalam usaha pembentukan legacy. Apakah kita menginginkan generasi bangsa ini mendapatkan legacy utang, tapi nol kemajuan? Tidak kan?! Atau, kita ingin nantinya ada legacy berupa kemajuan yang signifikan di beberapa aspek kehidupan. Atau, kita ingin legacy sebuah paradigma baru dalam hidup bermasyarakat. Atau, kita ingin legacy sebuah sistem pendidikan yang bisa mengikuti perkembangan zaman, teknologi, dan bisa agile dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Pikiran, mata, telinga, dan hati nurani kita bersumbangsih besar dalam menentukan pilihan. Semua ini bersinergi untuk mencermati langkah-langkah calon pemimpin negeri ini dalam kiprahnya masing-masing. Pemimpin harus yang tua, wah .. lebih baik yang muda. Pemimpin harus dari partai ini, wah .. lebih baik dari partai itu. Pemimpin yang sekarang diperpanjangan saja periodenya, wah .. lebih baik sudah cukup sampai di sini. Ada banyak sekali opsi untuk menggiring seseorang menjadi pemimpin. Siapa yang layak?
Legacy, bisa menjadi salah satu pertimbangan kita dalam memilih nantinya. Kita punya peran dalam menentukan legacy. Memilih pemimpin-pemimpin yang kita anggap bisa meninggalkan legacy yang baik, itu privilege kita.