Tak ada hal aneh yang dilakukan Ade Armando pada 11 April 2020 kemarin. Ia mendatangi demo, menyatakan dukungannya pada para mahasiswa yang menolak masa jabatan Presiden 3 periode. Membuat liputan (mungkin) untuk podcastnya. Tak ada yang aneh.
Ade, seorang akademisi handal, obyektif, sekaligus selalu kritis pada masalah-masalah sosial dan sekitarnya. Kekritisan yang menjauhkannya dari kemapanan jabatan sebagaimana banyak akademisi lain. Ia Minang, meski kerap berbeda pendapat politik dengan kebanyakan orang Minang. Perbedaan dianggapnya hal yang wajar, bagian dari penerimaan keberagaman. Dan Ade tentu saja seorang santun. Bicaranya halus, terstruktur, nyaris tak pernah mengeluarkan kalimat sarkas apalagi kasar. Ia mengingatkan kita pada para kaum terpelajar dari Minang yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia.
Lalu apa yang Ade Armando dapat dari demo itu? Bukan hanya kepedihan melihat sekelompok orang brutal yang jauh dari kesantunan orasi ilmiah mahasiswa, Ade justru menjadi korban. Ia dikeroyok, dianiaya hingga babak belur. Dan yang paling biadab, ia (maaf) ditelanjangi.
Demonstrasi menyatakan pendapat memang diperbolehkan UUD 1945. Namun entah mengapa demo kali ini berakhir dengan kerusuhan. Padahal demo digalang untuk tema yang terdengar ‘besar, hebat dan garang’ dan membela konstitusi tentang Presiden hanya dapat terpilih untuk dua periode.
Para pendemo lupa bahwa UUD Dasar 1945 yang telah diamandemen 4 kali itu kini memiliki pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia. Menjamin hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan ataupun perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Apa yang mereka lakukan pada Ade Armando memperlihatkan betapa bullshit-nya omongan berbusa-busa mereka tentang pelanggaran konstitusi.
Kasus penganiayaan Ade Armando ini menambah kelam sederetan kasus demo yang terjadi di Indonesia. Pada 4 November 2016, pernah terjadi demo oleh kelompok 212 yang berujung pada pembakaran mobil Brimob, penjarahan mini market dan pembakaran sepeda motor. Sejumlah polisi dan masyarakat terluka karenanya. Demo menolak Omnibus Law pada 8 Oktober 2020 lalu juga berakhir dengan kericuhan dan perusakan serta pembakaran sejumlah fasilitas umum. 18 pos polisi dirusak dan dibakar. Belasan halte Transjakarta ikut terkena aksi perusakan dan pembakaran oleh pedemo.
Ini semua sungguh mengkhianati gerakan pemuda yang selama ini selalu menjadi pendorong kemajuan Indonesia. Kebangkitan nasional dicetuskan oleh pemuda saat mereka mendirikan Boedi Oetomo. Kesadaran kebangsaan Indonesia juga dipelopori oleh Pemuda saat Sumpah Pemuda. Demikian pula dengan Proklamasi, eksponen 66 dan reformasi. Tapi penganiayaan Ade Armando kemarin memperlihatkan kenyataan pahit pada kita: apakah pemuda masa kini justru agen kejahatan?
Fakta sering terjadi kerusuhan dalam demo-demo belakangan ini, membuat kita bertanya-tanya, masih murni kah gerakan mahasiswa, maupun aksi pemuda lainnya? Apakah mereka telah ditunggangi banyak kepentingan yang rela ‘bermain’? Apakah demo-demo justru telah menjadi bisnis?
Di tahun 98, gerakan mahasiswa masih murni. Mereka justru menjadi korban dari rezim represif, yang kerap bertindak berlebihan menanggapi kritik pada rezim Orde Baru. Namun demo-demo setelah 98 justru berbeda. Aparat keamanan justru menjadi pihak yang seringkali menjadi korban, karena mereka tak lagi bisa bertindak represif. Bahkan sering jadi korban kebrutalan massa.
Agak menyedihkan sebenarnya mendamati kata ‘amok’ yang telah diadopsi ke bahasa Inggeris sesungguhnya berasal dari bahasa Melayu. Rumpun bangsa Melayu mungkin punya kecenderungan untuk mengamuk komunal, mengamuk bersama-sama hingga akhirnya dianggap karakter bangsa ini dan kata amok pun diadaptasi ke bahasa lain. Perilaku amok sendiri telah dikategorikan sebagai Mental Disorder (gangguan mental). Amok biasa terjadi tiba-tiba di tempat yang ramai tanpa terlihat tanda-tanda kerusuhan sebelumnya. Persis apa yang terjadi terhadap Ade Armando. Ade bahkan sempat meliput, diwawancara sejumlah media, sebelum akhirnya sekelompok ibu-ibu berwajah kejam berteriak pada Ade sebagai orang yang melakukan propaganda untuk pemerintah, memancing datangnya sekelompok orang yang berujung pada penganiayaan serta pencopotan celana Ade. Dan selama penganiayaan itu, kalimat-kalimat relijius banyak terdengar.
Peristiwa penganiayaan Ade Armando itu menjadi sangat memprihatinkan bila kita teringat apa yang dikatakan filsuf Hannah Arendt tentang banality of evil (banalitas kejahatan). Dalam bukunya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, Arendt mengamati pengadilan terhadap Adolf Eichmann, seorang tentara Nazi yang selama Perang Dunia Kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Arendt begitu kaget, karena ternyata Eichmann, pelaku kejahatan kemanusiaan itu adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam. Sebaliknya ia adalah ‘warga negara yang patuh pada hukum.’
Arendt kemudian menyimpulkan, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa dilakukan orang baik-baik, orang-orang biasa. Argumen Arendt inilah yang kemudian disebut sebagai banalitas dari kejahatan (banality of evil). Bagi pelakunya, kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Tentara-tentara Jerman pada PD 2 tidak memiliki pikiran jahat, meski berpartisipasi aktif di dalam suatu tindak kejahatan brutal. Apalagi sikap patuh di dalam militer adalah suatu keutamaan, bukan kejahatan. Mereka tidak akan pernah berkhianat atau bahkan membunuh orang lain demi memuaskan kepentingan pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer, Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan patuhnya tersebut.
Berbagai tindakan kekerasan berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis, sehingga para pelaku terkondisikan menganggap kekerasan dan kejahatan, sebagai hal yang biasa, wajar, atau lumrah. Pelakunya mengalami ketumpulan nurani. Langsung percaya pada otoritas-otoritas di luar dirinya. Tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang jahat, yang indah dengan yang buruk, kecuali bila siapa yang dipercayanya mengatakan hal tersebut.
Yang kurang dari Eichmann dan para pelaku banalitas kejahatan adalah imajinasi. Begitu parahnya kesadaran Eichman sehingga saat diinterogasi oleh dua orang polisi, ia berkata, bahwa penyesalannya terbesarnya hanyalah tidak dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi di SS Nazi Jerman pada masa itu. Eichmann bukanlah orang bodoh. Hanya tidak berpikir. Berpikir sistemik istilahnya. Karena tak berpikir,menjadi tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran.
Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Faktanya Eichmann hanyalah patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. Inilah yang kiranya menjadi pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, sebagaimana dianalisis oleh Arendt.
Ada banyak orang seperti Eichmann. Orang-orang yang amat normal, dianggap normal. Menjadi menakutkan karena mereka tak berpikir. Dalam kasus penganiayaan Ade Armando, boleh jadi para pengeroyok itu adalah sosok bapak dan ibu yang baik, atau anak yang polos dan penurut. Tapi karena mereka menolak untuk berpikir dan menyerahkan otonomi diri mereka kepada institusi lain, maka mereka bisa melakukan kekejian yang luar biasa biadab. Bila dalam kasus Eichman, keutamaan tertinggi ada pada taat terhadap perintah Sang Fuhrer. Dalam kasusnya Ade Armando, mereka merasa membela agama, merasa taat pada perintah agama.
Analisis Arendt pada hematnya bisa digunakan untuk memahami berbagai kasus intoleransi di Indonesia belakangan ini. Termasuk penganiayaan Ade Armando. Sekelompok massa beringas, penyebar hoax adlah orang yang sama seperti Eichmann. Orang-orang biasa, rakyat kebanyakan, dan patuh pada apa yang mereka percaya. Termasuk apa yang dikatakan pembimbing keagamaannya. Miskin imajinasi, hingga tak mampu membayangkan perbuatan baik atau jahat. Doktriner, dalam arti tak pernah berpikir, percaya penuh, hanya asal menjalankan perintah. Mengikuti trend umum masyarakat bahwa terlihat relijius itu baik, tanpa mampu mencerna muatan-muatan ceramah yang didengarnya. Akhirnya mereka kehilangan arti dan pemahaman tentang kejahatan. Dengan berpijak pada pemikiran Arendt, kita tahu, bahwa akar kejahatan tidak melulu kebencian, dendam, ataupun pikiran kejam, melainkan sikap patuh buta pada sistem dan aturan, yang tidak disertai dengan sikap kritis maupun reflektif. Mirip seperti seekor monyet yang menyelamatkan ikan, karena ia mengira, ikan itu tenggelam di air. Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan.
Salah satu penyakit sosial yang telah lama diderita masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia, yakni diskriminasi sistemik. Tindakan mengecilkan seseorang di masyarakat, karena latar belakang SARA. Ini terjadi dalam kasus Eichman, termasuk juga pengeroyokan Ade Armando. Ade dianggap terlalu pro pemerintah, sementara mereka sudah terlanjur dicekoki paham bahwa pemerintah selalu salah ataupun kafir dan bertabur dosa. Tindakan ini dianggap sewajarnya dilakukan (banal). Analisis ini relevan untuk memahami pelaku intoleransi dan radikalisme belakangan ini. Orang Indonesia sebenarnya bukan orang kejam, hanya kurang berpikir secara mendalam, dan tak punya imajinasi untuk membayangkan penderitaan orang lain.
Lalu siapa yang kejam dan jahat? Tentu saja aktor intelektualnya. Mereka yang terus menerus mendiktekan narasi-narasi perpecahan berbalut ajaran agama, menyuntikkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Menghipnotis pada orang-orang miskin imajinasi ini. Masyarakat miskin imajinasi ini menjadi sangat membahayakan ketika suatu negara berada dalam keadaan bencana, pandemi misalnya. Atau menghadapi krisis global, seperti dampak krisis energi dan invasi Rusia ke Ukrainia. Demokrasi juga sering tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin imajinasi itu. Entah apa yang terjadi di 2024 nanti dengan adanya kombinasi efek jangka panjang pandemi, krisis luar negeri dan pesta demokrasi.
Mungkin para aktor intelektual akan sulit ditemukan. Tapi kita bisa mencoba cara lain yang lebih smooth: menyiapkan pendidikan yang mengajarkan untuk berpikir kritis dan reflektif di dalam bertindak dan memahami pelbagai hal. Bukan hanya dalam Pendidikan formal, tetapi tentu saja dalam pengajaran agama. Masih banyak tokoh agama baik di sekitar kita. Berilah mereka kesempatan. Support dan beri mereka panggung agar lebih didengar.
Vika Klaretha Dyahsasanti