Seberapa Urgensikah Mencari Penerus Jokowi?

Berbeda dengan enam Presiden yang lainnya, Jokowi selalu saja banyak menelurkan anomali. Nyaris dari keenam presiden sebelumnya, tak pernah benar2 memikirkan tentang “Presiden Penerus”. Satu-satunya yang bisa dianggap penerus adalah transisi dari Soeharto kepada BJ Habibie. Tapi bukankah itu, penerus dalam artian terpaksa diteruskan. Karena Suharto juga terpaksa “mengundurkan diri”.

Karena itulah nyaris setiap alih jabatan Presiden, konteksnya harusnya dipahami adalah “Presiden Pengganti”. Atau bila dalam bahasa yang paling netral disebut sebagai “Presiden Selanjutnya”.

Barulah pada masa Jokowi kemudian tiba2 muncul kebutuhan tentang Presiden Penerus. Figur yang bukan saja dianggap pantas, namun terutama mampu meneruskan kerja baik, besar, dan bermanfaat yang telah dilakukan Jokowi. Hal ini tentu menjadi polemik, karena realitas bahwa tidak semua orang suka Jokowi. Terlepas bahwa yang sebelumnya mendukung berbalik membenci, atau sebaliknya yang semula bersikap oposan berbalik masuk koalisi. Itu soal pergeseran selera berpolitik yang biasa saja.

Tapi bahwa realitas gagasan mencari “Sang Penerus” itu muncul dari segala jurusan. Sulit dipungkiri sebagai fenomena yang unik dan pertama kali terjadi dalam sejarah politik Indonesia modern. Mari kita urai satu persatu hal2 yang memungkinkan hal tersebut terjadi dan tentu saja konsekuensi lanjutannya.

Pertama, bahwa adanya “jebakan batman” konstitusi kita dalam hal pembatasan masa dua kali menjadi Presiden atau Wapres itu sebuah keputusan yang dilematis. Konstitusi tersebut memang berhasil menghentikan sepuluh tahun periode buruk di bawah SBY. Saya tak pernah ragu inilah periode paling buang waktu sejak Indonesia merdeka. SBY adalah presiden yang melulu sekedar cari selamat, agar ia menjadi presiden pertama yang tidak berhenti atau dijatuhkan di tengah jalan.

Namun konstitusi tersebut dianggap “barikade” untuk Jokowi menyelesaikan banyak program besarnya. Ya, entah bagaimana ceritanya: di tengah tantangan internal politik dalam negeri yang “super gila”, di tengah jet coaster ekonomi dunia yang tak pernah stabil. Bahkan masih di tambah kurun panjang pandemi yang sulit dipahami. Ia bisa bertahan, bahkan maju terus dengan banyak gagasan besarnya. IKN tentu saja bagian terpentingnya, tapi bukankah banyak program besar yang tiba2 saja secara ajaib juga terwujud. Terlalu banyak catatan tentang hal tersebut.

Di titik inilah, absurditas terjadi. Keinginan (baca: mimpi) para pembencinya untuk menjatuhkannya tak pernah surut, tapi gelombang besar yang lain untuk mempertahankannya tak kalah kuatnya. Bahkan melanggengkannya juga sangat santer.

Kedua, realitasnya banyak sekali figur yang telah “memperdagangkan dirinya”. Baik secara terang-terangan melalui baliho yang “waton wagu” itu. Sedemikian norak, karena nyaris tanpa apresiasi, miskin ambience, dan tak lebih masturbasi pencitraan belaka. Buang duit untuk sesuatu yang muskil bakal terjadi. Saya termasuk sulit mengerti bagaimana mungkin para konsultan politik bayaran itu masih merekomendasikan baliho sebagai cara menaikkan popularitas.

Era tersebut telah lewat, karena target minimalnya selalu saja pada tahap paling awal sebagai pengenalan (knowing). Tak bakal sampai pada pengetahuan (interesting), apalagi pada tahap pemilihan (choice). Dalam lingkaran ini nama2 seperti Puan Maharani, Muhaimin Iskandar dan Erlangga Hartarto dapat dianggap sebagai figur yang terlalu berambisi, namun miskin apresiasi. Mereka adalah figur2 yang masuk kotak terlalu cepat.

Sementara yang “mencoba meniru-niru” gaya Jokowi, tapi masih tampak malu-malu. Berciri aktivitas sosialnya sangat gencar: Eksistensinya dalam event2 yang menyedot perhatian publik sangat rajin, bahkan sosial media adalah ajang lain yang tak kalah intensifnya digunakan. Namun sekali lagi, gaya berpolitik di Indonesia itu sangat aneh, bila tidak bisa dikatakan cukup unik. Volume dan eksplosi-nya harus selalu dijaga di bawah standar: terlalu keras sedikit, pasti menjadi noisy. Mengganggu dan menyebalkan, yang justru mudah menghilangkan respek.

Ciri lain dari kelompok kedua ini, tentu saja tumpang tindih antara tugas kenegaraan sebagai pemangku jabatan publik, dengan aktivitas sosial yang bersifat privat. Tiga tokoh yang saya anggap sudah “terhukum” terlalu dini dalam konteks ini adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Entah bagaimana ceritanya, alam telah menghukum mereka atas kegilaan mereka “demi konten”. Dengan profilingnya masing2, mereka bisa dianggap sebagai usaha terlalu eksplosif tapi kepagian. Sebuah kepedean yang tak terkira.

Apa hukuman gai mereka, ah kura-kura dalam perahu. Mosok pura2 tidak tahu….

Ketiga, dalam konteks inilah kemudian para kelompok relawan Jokowi mengambil inisiatif. Hal tersebut tentu saja mensikapi kedua fenomena di atas. Kegagalan para pemimpin partai politik dalam mencitrakan dirinya, yang dilengkapi juga mampatnya para pemimpin alternatif yang selama ini masuk dalam apa yang dianggap sebagai “para peserta polling”. Di sisi yang lain, muncul fenomena yang tak kalah menariknya bahwa banyak lembaga survai yang jatuh harga, bukan sekedar tak dianggap lagi hasil risetnya.

Citra sebagai “lembaga pesanan” sulit dipungkiri. Independensi lembaga2 survai jadi bahan pertanyaan. Bahkan sudah menyangkut pada lembaga2 survai kawakan, yang tak ayal dianggap pada titi terendahnya “menyesatkan masyarakat”. Apa saja lembaga surbai tersebut. Ah!

Di sinilah, kembali terjadi berbagai gerakan akar rumput yang mencatut nama “rakyat”. Sekelompok relawan berinsiatif mulai bulan Agustus ini, membuat “Musyawarah Rakyat” yang akan mulai melakukan aktivitasnya untuk dan atas nama menjaring suara rakyat di Bandung. Aktivitas awal tersebut semula akan dilakukan di Solo, tapi entah kenapa malah pindah ke “kandang macan”. Apakah hal tersebut sebagai bentuk “show of force” mengingat justru di Jawa Barat dukungan terhadap Jokowi sangat rendah. Jumlah pemencinya makin besar, apa pun prestasinya selalu di abaikan.

Fenomena (sekaligus peluang) tersebut, kemudian juga ditangkap oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang melakukan aktivitas yang sama dengan brand “Rembug Rakyat”. Dan setelahnya, banyak sekali kelompok2 relawan lainnya hilir mudik, silih berganti datang ke Istana Bogor atau Istana Merdeka menemui Jokowi untuk melaporkan bahwa mereka akan melakukan aktivitas serupa. Serupa spiritnya: menemukan siapa yang paling pantas menjadi penerus Jokowi…

Fenomena ini menjadi menarik, lebih pada reaksi Jokowi. Ia selalu pada sikap khas-nya untuk menyarankan menahan diri. Idiom khasnya: “aja kesusu”, selalu terlontar dan dinyatakan pada tetamu relawannya yang sedemikian membanjir kepadanya. Hingga memunculkan ejekan dari para oposan yang tersisa yang menyebut Istana Kepresidenan sebagai tak lebih sebagai Pos Pemenangan.

Sekali lagi inilah anomali politik terbaru Indonesia terkait Presiden Penerus: Dimana relawannya merasa susdah sangat urgen dan mendesak. Sebaliknya Jokowi justru menganggap belum waktunya…..
.
.
.
NB: Bagaimana memahami fenomena di atas, seorang filsuf science Indonesia, Lukas Luwarso menganggap hal tersebut tak lebih sebagai budaya latah. Sesuatu yang saling memicu atau dalam bahasa hari ini “saling mendrive”. Ia sebagaimana K-pop, drakor, hingga Citayam Fashion Week. Sebagaimana juga Islam Wahabi hingga busana jilbab. Dalam konteks bahasan fenomena di atas ia tak lebih sebagai “latah politik”.

Dimana ia para relawan sedang mengembangkan dirinya dari dukungan awalnya, menjadi dukungan selanjutnya. Atau lebih tepat pelanggengan eksistensi dari relawan, yang suka tidak suka akan menuntut mahar, yang tentu saja atas nama gagasan agung politik populis.

Saya tidak tahu, apakah Jokowi justru menjadi “tersandera” atau tidak. Tentu saja hal ini bisa menjadi “harapan baik”, bahwa banyak kerja besar yang tertunda karena banyak alasan atau memang memang butuh jangka waktu yang jauh lebih panjang. Apa yang disebut sebagai “proyek antar tahun” atau “proyek tahun jamak”. Saya melihatnya Jokowi sendiri menjadi “manusia Jamak antar tahun”. Ia dibutuhkan atau lebih tepatnya membutuhkan “jembatan” antar waktu itu.

Tapi bila dikaji lebih mendalam kenapa Jokowi masih sedemikian adem, kalem dan tampak tak terburu. Saya hanya meyakini bahwa dalam situasi paling genting, ketika tak ada pilihan terbaik. Ketika justru para calon menimbulkan plemik dan konflik baru yang terduga.

Ia bisa merendahkan diri, menyediakan dirinya sebagai cawapres, dimana jadi tak penting lagi siapa pun Presidennya kelak!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *