Mereka yang menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi menjadi 3 periode, atau sekedar sampai 2027, dengan alasan demokrasi, mereka perlu belajar lagi sejarah demokrasi, belajar ke negara mbah-nya demokrasi, belajar dari Amerika Serikat.
Tahukah kalian kalau di Amerika Serikat, dalam sejarah Amerika modern, ada sosok , yaitu Franklin Delano Roosevelt, presiden terpenting mereka di abad ke-20, yang menjabat hingga 4 periode, dari tahun 1933 sampai dengan 1945?
Padahal, sebelum-sebelumnya, masa jabatan Presiden Amerika maksimal 2 periode saja, sebagaimana diteladankan oleh presiden pertama mereka yang legendaris, yakni George Washington.
Tapi, kondisi ketika itu memang membutuhkan Amerika Serikat bergantung pada Roosevelt lebih lama. FDR bukan saja berhasil membawa bangsa Amerika keluar dari krisis ekonomi terbesar, tapi juga membangun pondasi sehingga paska 1945, paska Perang Dunia ke-2, Amerika menjadi Negara Adidaya, negara terkuat, dan juga negara paling maju dan paling makmur di dunia.
Menolak perpanjangan masa kepemimpinan Presiden Jokowi dengan alasan demokrasi bagaikan orang yang memakai kacamata kuda dan melupakan gambaran besar tujuan para pendiri bangsa ini memerdekakan Indonesia. Tujuan kemerdekaan kita bukan demokrasi melainkan masyarakat yang adil dan makmur. Masyarakat yang sejahtera. Itulah tujuan Indonesia Merdeka!
Kita sendiri tentunya menyadari kritik-kritik terhadap demokrasi kita. Politik yang terlalu gaduh. Kebebasan keblablasan yang membiarkan bibit-bibit radikalisme menyebar, bahkan hingga mengancam keutuhan bangsa. Otonomi dan Pilkada melahirkan raja-raja kecil yang bahkan lebih korup dan menghisap dibanding yang ada sebelumnya.
Karenanya, mari kita jeda sejenak. Mari memikirkan kembali semua ini.
Keputusan mengadakan pemilu serentak setiap 5 tahun sekali, dimana Pilpres, Pileg dan Pilkada disatukan di tahun yang sama adalah sebuah kemajuan. Dengan begitu, keriuhan pesta demokrasi, yang kerap mengancam kerukunan hidup bermasyarakat, itu cukup terjadi lima tahun sekali. Setelahnya, semua orang bisa konsentrasi membangun negeri.
Juga, masuknya Prabowo-Sandi ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin adalah sebuah terbosan. Paska pemilu yang sengit, semua rukun kembali dan bergotong-royong membangun negeri.
Singkat cerita, demokrasi, atau prosedural demokrasi, tidak boleh mengalahkan kepentingan bersama kita agar Indonesia jadi negara yang maju dan makmur. Demokrasi harus melayani tujuan bangsa tersebut, dan bukan sebaliknya.
Bicara soal aturan demokrasi, juga pentingnya pembatasan kekuasaan, kita patut belajar dari saudara tua kita yang demokrasinya maju, negaranya maju, dan masyaralatnya sangat makmur, yaitu Amerika Serikat.
Dalam suatu waktu, Amerika Serikat pun pernah melanggar kesepakatan masa jabatan presiden maksimal 2 periode. Itu dilakukan bukan semata untuk mengatasi krisis, melainkan untuk membawa Amerika Serikat menuju kemenangan dan kemakmuran.
Franklin Delano Roosevelt, yang hidup antara tahun 1882 sampai dengan 1945, berhasil membawa Amerika melewati depresi ekonomi, sekaligus membuka jalan bagi Sekutu untuk memenangkan Perang Dunia II. Dia adalah satu-satunya presiden AS dengan empat masa jabatan. Roosevelt menjadi presiden AS dengan masa jabatan terpanjang yaitu sejak tahun 1933 hingga kematiannya pada tahun 1945.
Lalu, apa kehebatan Roosevelt hingga membuat rakyat Amerika mempercayainya menjadi presiden hingga 4 masa jabatan? Banyak!
Saat Roosevelt pertama kali dilantik menjadi presiden Amerika pada 4 Maret 1933, perekonomian negara itu sedang berada di titik terendahnya, terpuruk dalam krisis yang kemudian dikenal sebagai great deppression. Terjadi hyper inflasi. Akibatnya 13 juta warga Amerika menganggur, hasil pertanian anjlok hingga 60 persen, 2 juta orang menjadi tunawisma, dan hampir semua bank bangkrut.
Segera setelah dilantik, Roosevelt mengusung program New Deal. Roosevelt berpegang pada teori ekonomi dari John Maynard Keynes bahwa pemerintah harus memperbesar penggunaan APBN agar dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Roosevelt pun mulai membangun banyak highway, jalan bebas hambatan. Serupa dengan apa yang dilakukan Jokowi kini. Pembangunan itu bukan saja menyerap banyak tenaga kerja, tetapi juga menghidupkan perekonomian di sekitar jalan-jalan baru, dan memperlancar distribusi produk.
Jalan-jalan itu pula yang mempersatukan kembali masyarakat Amerika, baik secara fisik maupun dalam nasionalisme-nya.
Roosevelt juga banyak membangun bendungan dan irigasi. Lagi-lagi sama seperti Jokowi. Dengan segera pertanian kembali bangkit. Apa yang dilakukan Roosevelt ini kelak menjadi pondasi awal Amerika menjadi negara super power dunia.
Keberhasilan memperbaiki perekonomian ini membuat Roosevelt terpilih kembali untuk masa jabatan kedua pada 1936 dengan kemenangan yang nyaris mutlak.
Selain membenahi perekonomian, Roosevelt juga mengembangkan kebijakan luar negeri yang disebut dengan kebijakan ‘tetangga yang baik’. Dia memperjuangkan undang-undang netralitas agar menjauhkan Amerika dari perang di Eropa.
Namun, netralitas ini berakhir setelah pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor. Sehari setelahnya, Roosevelt menyatakan perang terhadap Jepang yang disusul pernyataan perang dari Jerman. Amerika masuk terlibat ke Perang Dunia Kedua. Di masa darurat perang inil, Roosevelt menjabat ketiga dan keempat kalinya.
Perang berakhir hampir bersamaan dengan wafatnya Roosevelt. Yang ditinggalkan FDR adalah Amerika yang gemilang. Menang perang, ekonomi yang bagus. Dan akhirnya, sepeninggal Roosevelt, Amerika menjadi negara adidaya, negara terkuat, negara paling maju, dan juga negara paling makmur di dunia.
Amerika memberi pelajaran soal menyeimbangkan antara demokrasi dan pembangunan.
Memang! Adalah wajar bangsa kita memiliki trauma terhadap pemimpin-pemimpin yang terlalu berkuasa, yaitu Soekarno dan Soeharto. Keduanya berakhir tragis dan ekonomi menjadi morat-marit.
Tapi, presiden-presiden yang pendek kekuasaannya, seperti Habibie, Gus dur dan Megawati, mereka tak bisa banyak membantu dalam mensejahterakan rakyat. Meski begitu, mereka berhasil menstabilkan perahu besar Indonesia ini dari ancaman kehancuran paska krisis ekonomi dan huru-hara rasial.
Lalu, apakah masa jabatan 10 tahun seperti dialami SBY memang paling pas? Tunggu dulu! Jokowi tentunya jauh jauh lebih bagus dibandingkan SBY. Hasil kerja Jokowi nyata. Keberaniannya dalam membongkar dosa masa lalu dan kebiasaan lama juga nyata.
Di masa kedua pemerintahannya, tingkat kepuasaan terhadap Jokowi stabil di angka 70 persen. Padahal, Indonesia baru saja dihantam pandemi Covid dan sekarang harga-harga sedang melambung tinggi.
Maka, apakah adil Jokowi hanya diberi kesempatan membangun negeri dengan waktu yang sama dengan SBY? Kita bisa juga berpikir seperti itu tentunya!
Terakhir, bicara soal tujuan kemerdekaan kita, yakni menggapai kemakmuran, kita perlu juga menoleh ke China.
Dalam 50 tahun terakhir, China melesat cepat dari negara miskin menjadi negara adidaya dunia, menjadi pabriknya dunia. Dalam kurun waktu singkat itu, ratusan juta warga China berhasil diselamatkan dari kemiskinan, diangkat taraf hidupnya.
Yang menjadi catatan di sini. Keberhasilan China itu bisa digapai dengan mengabaikan demokrasi. Tak ada demokrasi di China.
Oleh sebab itu, kembali ke Indonesia, wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang sudah digulirkan Cak Imin, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, yang kemudian diperkuat oleh Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar, dan juga Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, ini perlu disikapi dengan dewasa dan memicu pemikiran ulang kita semua soal keseimbangan antara demokrasi dan pembangunan.
Demokrasi seperti apa yang harus kita miliki, agar tercapai cita-cita kemerdekaan kita, yakni masyarakat yang adil dan makmur.
Iwan Raharjo