Soal Gaya Kepemimpinan, Anies dan Gibran Bagai Bumi dan Langit

Proyek pembangunan sodetan kali Ciliwung ke Kanal banjir Timur akhirnya hampir selesai. Dijadwalkan, April 2023, proyek tersebut sudah bisa beroperasi. Presiden Jokowi bahkan sudah tersenyum gembira melihat proyek yang mangkrak selama enam tahun itu akhirnya bisa diselesaikan. Mengapa mangkrak? Semua orang langsung paham, pasti ini ulah Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta yang lebih ahli menata kata daripada menata kota. Apa sih yang nggak terbengkalai dan mangkrak di tangan si mantan Gubernur. Hati fans-nya aja di PHP terus.

Di lain pihak, Gibran si anak kemarin sore, sekaligus walikota yang kerap dibilang karbitan dan ingusan, terus menerus mencetak prestasi. Mulai dari menata kota Solo tanpa banyak kata-kata, hingga pelan-pelan menjadikan Solo sebagai destinasi wisata baru yang sukses menggelar banyak perhelatan besar. Mengubah pembangunan kota Solo menjadi pembangunan kelas provinsi. Sebaliknya di tangan Anies, pembangunan Jakarta jadi nyungsep. Kalah sama Desa-desa yang cuma membangun pake Dana Desa.

Mari kita lihat perbandingan antara Anies dan Gibran.

Di awal Presiden Jokowi diangkat menjadi Presiden RI, Gibran kerap dikira publik sebagai anak yang cuek, tidak peduli dengan sekitarnya. Tapi pendapat itu langsung rontok ketika ia mulai terjun ke politik. Gibran terlihat selalu santun pada mereka yang lebih tua dan dituakan, sekaligus juga welas asih pada mereka yang berada di bawahnya. Ia selalu terlihat merunduk dengan santun, saat mendengar keluh kesah mereka yang kesulitan.

Bagaimana dengan Anies? Jangan kaget, ada banyak foto-foto candid Anies tengah berkacak pinggang dengan wajah pongah. Meski saat ia sadar ada kamera yang mengabadikannya, ia pun segera melempar senyum sok manis dan santun. Ingat, Nies… namamu Anies dan bukan Manies.

Gaya kepemimpinan Gibran identik dengan tanggungjawab, menghargai dan lebih memilih memotivasi bawahan daripada bersikap arogan. Ia bisa dibilang pemimpin yang rendah hati. Keberhasilan Kota Solo diakuinya sebagai hasil kerja keras para stafnya di Pemkot Surakarta.

Soal raihan predikat WTP dari BPK tahun ini misalnya, dengan low profile, Gibran menyebutnya sebagai hasil kerja keras semua pihak. Tak lupa Gibran juga memberi penghargaan kepada walikota pendahulunya, yang sudah memulai tradisi menerima Penghargaan WTP ini. Terhitung hingga tahun ini, Kota Solo telah meraih status WTP selama 12 kali berturut-turut.

Berbeda dengan Gibran, Anies memanfaatkan raihan WTP DKI Jakarta dari BPK, selama lima kali berturut-turut sebagai pencapaiannya pribadi, bukan kerja bersama. Ia ingin menunjukan sebagai pembuat sejarah di DKI Jakarta. Tentu, ini supaya menjadi nilai plus dirinya dalam pencapresan 2024. Ia bukan cuma kebelet eek, tetapi juga kebelet pengen jadi Presiden. Apalagi citra dirinya buruk karena gagal memimpin Jakarta, alih-alih membangun Ibukota. Ini masih ditambah catatan kelamnya seumur hidup sebagai Gubernur yang menang Pilgub menggunakan politik identitas. Gubernur Ayat dan mayat.

Sifat buruk Anies lainnya adalah gemar lepas tangan. Bukan hanya saat bersepeda tetapi juga saat memimpin Jakarta. Masih ingat kasus lem Aibon di tahun 2019?

Saat itu Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta menemukan, anggaran 82 miliar rupiah untuk pengadaan lem aibon dan pengadaan ballpoint sebesar Rp 124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur. Publik kemudian ramai menyoroti penyusunan anggaran Pemprov DKI untuk tahun 2020. Ada banyak pos belanja dengan nilai fantastis. Belanja alat tulis kantor, tanpa tanggung-tanggung meroket hingga 1,6 triliun rupiah. Tahun sebelumnya hanya sebesar 349 miliar.

Lebih menggelikan lagi karena setelah dilihat secara rinci, anggaran pengadaan kalkulator sangat fantastik. 31 miliar rupiah. Anies kelihatannya memang gagap memahami era digital. Di tahun 2012 itu, semua orang mengolah data memakai komputer atau laptop, dan semua ponsel memiliki kalkulator. Jadi buat apa beli kalkulator? Kenapa enggak beli sempoa sekalian?

Tapi yang menjijikkan bukan di situ. Mendapati publik menekannya soal anggaran siluman itu, Anies pun mendamprat anak buahnya di depan umum. Di depan media. Settingan banget pokoknya. Nggak beda sama acara reality show di TV yang suka pura-pura mendadak menolong orang kesulitan padahal udah di setting.

Stop doing this,” kata Anies sok tegas. Kali ini Anies lupa pura-pura manis.

What is going on, Bapak dan Ibu? Apa yang sedang terjadi ini?” Anies bertanya lagi.

Kemudian Anies pun mengucapkan kalimat yang sudah pasti sudah dilatihnya berkali-kali hingga fasih. “Bapak, Ibu sekalian. Ini, Bapak dan Ibu ulangi, you are out. Out, Pak. Karena kita tidak bisa menjelaskan ini kepada diri sendiri, tidak bisa menjelaskan ini kepada publik, apalagi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Enggak bisa kita jelasin ini.”

Anies kemudian dengan nada deklamasi, menyuruh jajarannya merevisi anggaran-anggaran siluman tersebut. Anies bahkan melayangkan ancaman pencopotan pegawai terkait penyusunan anggaran ini. Segera saja tampilan artificial alias dibikin-bikin Anies ini mengundang cibiran publik saat itu. Nyaris semua menganggap Anies pura-pura bersih, sok tidak terlibat, cari slamet.

Ketika tekanan publik makin kuat pada dirinya terkait penganggaran tahun 2020 itu, Anies Baswedan kemudian berkelit. Mengatakan, kesalahan anggaran lem aibon disebabkan adanya kesalahan sistem digital. Pemrov DKI mengunggah seluruh usulan anggaran dalam link website http://apbd.jakarta.go.id. “Ya sebenarnya itu yang saya panggil minggu lalu. Saya tidak umumkan karena memang itu review internal, ini ada problem sistem yaitu sistem digital tetapi tidak smart,” ujar Anies saat itu.

Ujung-ujungnya setelah viral di media sosial, Anies melalui Pemprov DKI menutup situs web itu. Terhitung sejak tanggal 29 Oktober 2019 malam, website itu tidak bisa diakses kembali.

Itulah Anies, selalu lepas tangan. Selalu cuci tangan. Bukan karena taat prokes, tapi karena ia seorang pelari yang ahli. Ahli berlari dari kenyataan.

Bandingkan dengan Gibran yang kerap dianggap cah cilik itu. Di Sleman, Yogyakarta tahun 2022 pernah terjadi kericuhan oleh suporter Persis, klub sepakbola asal Solo. Segera saja Gibran meminta maaf kepada warga Sleman atas kericuhan itu. Tak Cuma meminta maaf, Gibran pun bertanggung jawab dan mengganti rugi atas dampak kerusakan dari insiden tersebut.

“Yang jelas saya memohon maaf sebesar-besarnya untuk warga Jogja yang mungkin kemarin merasa tidak nyaman atas kejadian ini. Saya bertanggung jawab penuh apabila ada kerusakan-kerusakan atau hal-hal yang lain-lain,” kata Gibran saat itu. Gibran segera membantu korban yang mengalami luka-luka. Melalui manajemen Persis Solo, Gibran pun melakukan penggantian kerusakan. Termasuk mengganti kerugian bangunan dan dagangan sejumlah warung yang mengalami kerusakan.

Tak sedikit pun terbersit dalam pikiran Gibran, apalagi menyalahkan orang lain. Baginya, sebagai pimpinan, kepala daerah, apapun yang menjadi kesalahan orang di bawahnya adalah tanggung jawabnya. Ia tak akan lari dari tanggung jawabnya itu. Rasa kemanusiaanlah yang menuntunnya.

Tentu kita belum lupa peristiwa Pengibaran Bendera pada tanggal 17 Agustus 2022 di Stadion Sriwedari Solo. Tangis air mata pecah dari Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) dan para peserta upacara karena saat Paskibra menarik bendera untuk dibentangkan tepat sebelum dikibarkan, kait bagian atas pecah, sehingga mengakibatkan Bendera Merah Putih tidak bisa dinaikkan.

Namun, tepat setelah Indonesia Raya selesai berkumandang, Gibran sebagai pemimpin upacara mengomando para peserta upacara bertepuk tangan, untuk memulihkan semangat dari para Paskibra yang sudah bekerja keras, meskipun Merah Putih gagal berkibar. Tepat setelah upacara digelar, Gibran langsung meminta para Paskibra masuk ke Stadion Sriwedari. Diiringi isak tangis dan permintaan maaf, para Paskibra menemui Gibran dengan mengusap air mata. Di situasi ini, Gibran bertindak sebagai seorang ayah yang menenangkan anaknya. Tidak terlihat sedikit pun kemarahan di wajahnya. Gibran kemudian mengantar para anggota Paskibra berkeliling menyapa para peserta upacara, yang secara spontan memberikan tepuk tangan tanda apresiasi kepada para Paskibra. Di hadapan media, Gibran menyampaikan bahwa para anggota Paskibra sudah bekerja keras dan layak untuk mendapatkan apresiasi.

Itu Gibran, ia tak gemar membuat anak buahnya terpukul. Kalo Anies beda…

Lagi-lagi di tahun 2019, LBH Jakarta dan YLBHI membuka pos pengaduan pencemaran udara Jakarta. Dua lembaga tersebut menilai kualitas udara Jakarta sangat buruk dan mengancam kesehatan masyarakatnya. Padahal hak atas udara bersih merupakan bagian dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 28H UUD 1945.

Anies memang tak membantah kualitas buruk udara ibu kota. Tetapi ia langsung menyalahkan warga Jakarta yang melakukan mobilitas menggunakan kendaraan pribadi. Ia pun kembali menata kata hingga berbusa-busa mencari pembenaran atas kegagalannya menangani polusi di Jakarta.

“Fakta tentang polusi, itu adalah efek dari pola kita melakukan mobilitas saat ini di mana transportasi pribadi mendominasi, dan itulah konsekuensinya pada kualitas udara,” ujar Anies pada 15 April 2019.

Anies pun menyalahkan wartawan. “Anda juga ke sini naik motor? Motor Anda ikut membantu membuat kualitas udara kita menjadi seperti sekarang ini,” katanya pada wartawan. Anies pun tak memberi solusi untuk penanganan polusi udara tersebut. Jangankan solusi, meminta maaf pun tidak.

Itulah Anies di kebelet pengen jadi Presiden. Bayangkan bila ia memegang tampuk pertama pemerintahan. Pasti ia bukan cuma sering cuci tangan, tetapi mencari kambing hitam. Bahkan tak segan-segan mengorbankan orang lain demi slametnya sendiri.

Jangankan orang, tenun kebangsaan saja tega dirobeknya dengan politik identitas. Bangsa ini pernah nyaris terpecah gara-gara Anies ngebet jadi Gubernur dan tega membiarkan pendukungnya memakai isu SARA….

Nia Megalomania

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *