Tanggal 10 November 1945 dipilih sebagai hari Pahlawan awalnya untuk memperingati pertempuran Surabaya. Suatu pertempuran terbesar dan terberat di sepanjang sejarah Republik Indonesia. Meski kisah pertempuran Surabaya mungkin tak asing bagi kita, simak kisah-kisah kecil yang jarang diungkap berikut ini.
Diawali kedatangan para tentara Sekutu yang bertugas memulangkan tentara Jepang sebagai orang yang kalah perang. Sekutu juga memiliki misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Hindia Belanda sebagai negeri jajahan Belanda. Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI)tiba di Surabaya pada 18 September 1945, tidak hanya berisikan tentara Inggris, tetapi juga didomplengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration), tentara Belanda. Kedatangan NICA memicu perlawanan rakyat Indonesia.
Terjadilah Insiden Yamato, perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato, Surabaya oleh pemuda-pemuda pada tanggal 19 September 1945. Akibat dari Insiden Yamato, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan Tentara Inggris selaku wakil AFNEI. Berawal dari serangan-serangan kecil, perlahan serangan berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban.
Akibat serangan-serangan itu, Brigade Infanteri ke 49 Inggris pimpinan Brigadir AWS Mallaby di ambang kehancuran. Menurut sejarawan Richard McMillan, para veteran Perang Dunia II itu tak berkutik dikepung arek-arek Suroboyo. Pada hari kedua pertempuran saja Inggeris telah kehilangan 16 perwira dan 427 orang prajuritnya. “Karena pamer kekuatan,” tulis Mc Millan dalam bukunya The British Occupation of Indonesia, 1945-1946.
Para pejuang Surabaya itu dipimpin seorang dokter gigi bernama Moestopo. Moestopo salah seorang lulusan terbaik sekolah calon perwira PETA di Bogor, dan juga seorang Daidancho (komandan batalyon) yang karismatik. Moestopo juga dikenal cerdas namun nyentrik. Salah satunya mengangkat dirinya menjadi ’Menteri Pertahanan Republik Indonesia’saat berhadapan dengan tentara Inggris di Surabaya.
Pertempuran kembali pecah pada 30 Oktober setelah gencatan senjata gagal dilakukan. Saat itu mobil Buick yang ditumpangi Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya.
Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum 10 November 1945. Ultimatum disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris. Isi pamflet menyebutkan bahwa semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada Tentara Sekutu dan menyerahkan senjata yang dimiliki.
Tak pelak ultimatum Inggris ini membuat rakyat Surabaya sangat marah. Suhario Padmowirio alias Hario Kecik sebagai Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakyat, dalam otobiografinya, Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit menulis: nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Semuanya membawa senjata dan pistol otomatis, minimal membawa granat. Surabaya dipenuhi semangat perlawanan yang sangat kuat. Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya itu memunculkan semboyan ‘Merdeka atau Mati’.
Tepat pukul 6 pagi pada 10 November 1945, Inggris membombardir Surabaya dari darat, laut dan udara dengan membabi buta. Diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas dan mayoritas rakyat sipil. Surabaya menjadi lautan api.
Namun Pasukan Inggris mendapatkan perlawanan sengit dari Indonesia, kendati kekuatan tempur Indonesia hanya sebatas pasukan infanteri. Bung Tomo dari Radio Pemberontak terus memompa semangat para pejuang untuk bertempur. Menurut sejarawan David Wehl dalam The Birth of Indonesia, perlawanan pejuang Indonesia saat itu dilakukan dengan dua cara: secara fanatik dengan hanya bersenjata belati dan dinamit di badan lalu nekat menyerang tank-tank Sherman pasukan Inggris dan cara kedua yang lebih terorganisasi dan efektif, mengikuti petunjuk buku militer Jepang.
Tiga pesawat Mosquito Inggris bisa ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia, termasuk yang membawa Brigadir Symonds. Hanya dengan menggunakan senjata penangkis serangan udara kuno peninggalan KNIL. Mereka para veteran Heiho yang berpengalaman tempur melawan tentara Amerika di Morotai.
Pada 14 November 1945, pasukan meriam pimpinan Mayor Jenderal Suwardi berhasil membombardir Tanjung perak dengan meriam kaliber 10,5 cm. Tembakan artileri itu ditulis The New York Times pada 15 November 1945 sebagai salah satu faktor yang membuat Pertempuran Surabaya makin berdarah-darah.
Kegilaan pasukan Indonesia itu memunculkan kengerian yang sangat di benak serdadu Inggris. Kepada wartawan mereka menyebut ‘The Battle of Surabaya’ sebagai ‘inferno’ atau neraka’yang paling berdarah pasca perang Dunia II, demikian diberitakan dalam New York Times, 15 November 1945.
“Pasukan Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran,” tulis Mayor RB Houston dalam What Happened in Java; History of the 23rd Division. Namun demikian sniper-sniper Indonesia masih menempati gedung-gedung tersembunyi dan mengganggu pergerakan pasukan Inggris memasuki kota. Banyak prajurit Inggris tewas karenanya.
Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku menyebutkan, korban pertempuran dari Indonesia diperkirakan mencapai 15 ribu orang. Inggris diperkirakan kehilangan 1.200 tentaranya. Sarana tempur yang tidak seimbang menjadi penyebab banyaknya korban jatuh di pihak Indonesia.
Meskipun kalah secara persenjataan dan kehilangan banyak anggota pasukan, pertempuran Surabaya membangkitkan semangat bangsa Indonesia dan menarik perhatian internasional. Inggris pun tidak lagi memandang Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Lord Killearn, Komisioner yang ditunjuk menyelesaikan persoalan Inggris di Indonesia menulis bahwa membiarkan tentara Inggris bercokol lebih lama di Indonesia adalah suatu tindakan bunuh diri. Inggris akhirnya mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Inggris mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perang Surabaya itu juga meninggalkan cerita lucu namun mengharukan. Catatan Hario Kecik menuliskan, dalam suatu pertempuran, seorang pejuang cilik berusia 15 tahun tiba-tiba harus berhadapan satu lawan satu dengan prajurit Sikh bersorban, berjanggut lebat dan berbadan besar. Sang bocah yang tengah memegang senjata langsung membidik dan menarik picu. Klik! Peluru kosong.
Prajurit Sikh kemudian mendekati si bocah. Merampas senjata macet dan mengomel tanpa henti dalam bahasa Inggris. Sang bocah hanya menangkap kata ‘mama’. Segera ia paham bila si Prajurit Sikh memintanya pulang ke rumah ibunya daripada ikut-ikutan berperang. Si bocah tidak dilepaskan prajurit Sikh.
Des Alwi pun menuturkan kisah lucu dalam bukunya Pertempuran Surabaya November 1945. Saat bergerak mundur, satu kompi pasukan Inggris tersudut di kebun binatang Wonokromo. Muncul íde liar di kalangan pejuang Indonesia untuk diam-diam melepaskan semua harimau dan binatang buas yang ada di kebun binatang itu. Semua setuju.
Namun saat akan melepas binatang-binatang buas itu, seorang pejuang yang cukup dewasa kemudian melarang. “Jangan dilepas! Nanti setelah mereka memakan orang-orang Inggris giliran kita juga bakal mereka habisi…”
Pertempuran Surabaya kelak dicatat sejarah sebagai salah satu pertempuran paling heroik sekaligus paling mencekam dan brutal dalam sejarah Perang Dunia II. Betapa rakyat Indonesia yang tak ingin lagi dijajah telah kehilangan rasa takutnya dan rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan kemerdekaannya. Selayaknya kita bukan hanya memperingatinya secara seremonial, tetapi terus mempertahankan keutuhan NKRI.
Vika Klaretha Dyahsasanti