Survey Capres dan Realitasnya dalam Pemilu (bagian 1)

Suksesi sudah dekat, pemilihan Presiden akan berlangsung hanya dalam tempo tiga tahun lagi. Tidak heran di negeri ini mulai terlihat kesibukan para politisi mencari panggung. Pansos hari ke hari. Tentu saja kegiatan cari panggung, pencitraan, pansos tak melulu sesuatu yang buruk. Kegiatan itu justru membuat kita para pemilih sekaligus pemilik negara tercinta ini, punya kesempatan menilai para calon sejak dini. Hanya…… jangan sampai tertipu. Resikonya adalah menggadaikan negara, menggadaikan masa depan kita dan keluarga kita sendiri.

Bagaimana cara agar tak tertipu? Gunakan hati nurani, itu nomor satu. Berikutnya tentu saja, jangan ragu-ragu menyimak artikel-artikel yang ditulis mereka yang peduli pada NKRI. Mereka yang tak ingin bangsa ini jatuh dalam jurang perpecahan dan penindasan, sekaligus ingin Indonesia menjadi negeri yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana amanat Undang-undang.

Selama hampir 8 dekade lahirnya Indonesia, ada trend yang menarik bahwa pemilih selalu mendambakan pemerintahan yang tegas. Kata ‘tegas’ ini sering dipersepsikan sebagai orang yang berasal dari militer. Sejarah Indonesia menunjukkan, Suharto dan SBY yang notabene berlatar belakang militer mendominasi 56% sejarah pemerintahan di Indonesia.

Kecendrungan memilih pemimpin yang kuat dan tegas sudah merupakan hal yang lumrah, baik negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan maupun non-demokrasi seperti Korea Utara. Bedanya, menurut Archie Brown dalam bukunya The Myth of the Strong Leader: Political Leadership in the Modern Age, di negara-negara maju yang disebut kuat dan tegas adalah pemimpin yang mampu mendorong dan mendominasi proses pengambilan keputusan yang besar dan penting di dalam kabinet pemerintahan, partai politik ataupun lingkungan kerjanya.

Kalau kita menilik dari perspektif sejarah negara-negara yang memiliki latar belakang peperangan, maka wajar apabila pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang kuat dan tegas dengan latar belakang militer karena kestabilan dan keamanan negara merupakan prioritas yang paling penting diawal-awal terbentuknya Negara. Kriteria ini melemah seiring dengan makin demokratisnya suatu negara. Pemimpin yang diinginkan berubah menjadi yang memiliki visi dan misi kuat disektor ekonomi.Ini terjadi di negara-negara modern. Dalam kondisi ini, pemimpin berlatar belakang sipil bermunculan.

Namun kemudian trend dunia mulai terganggu oleh banyaknya kasus-kasus intoleransi, radikalisme yang bermuara pada maraknya terorisme. Ini masih ditambah dengan wabah pandemi Covid19 setahun terakhir. Konsep pemimpin yang tegas kembali dirindukan, sekaligus tanggap darurat dalam pemulihan bencana dan ekonomi sekaligus tak gagap perkembangan teknologi sekarang ini.

Pertanyaan besarnya adalah siapakah yang mempunyai kualifikasi seperti itu dan dianggap mampu menggantikan Presiden Jokowi pada 2024? Sekarang ini kandidat yang dianggap memiliki kualitas presiden dan wapres berdasarkan hasil polling masih berkutat pada nama-nama yang berasal dari latar belakang militer seperti Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono. Sementara dari tokoh sipil, hanya nama Presiden Jokowi yang memiliki kecendrungan hasil polling yang tinggi. Baik Prabowo, Gatot dan AHY, berusaha menggunakan branding personality yang mirip yaitu: pemimpin yang tegas.

(bersambung ke bagian 2, flashback Pemilu 2014 dan 2019, ditunggu ya kelanjutannya, hanya di KENDI.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *