Mari kita flashback pada kemenangan Presiden Jokowi dalam pilpres 2014 dan 2019, juga dalam dua kali pemilihan Walikota dan satu kali pemilihan Gubernur. Jokowi bukan berlatar militer. Ia pun tak ganteng, sebagaimana kecenderungan politisi ganteng memenangkan banyak Pemilu di Indonesia. Ingat kampanye SBY pada 2004? Saat itu iklan kampanyenya tak malu-malu menyebut SBY ganteng. Sesuatu yang terasa menggelikan dan belakangan tak banyak berkorelasi pada kemampuan memimpin negara. SBY yang militer dan ganteng itu hanya meninggalkan legasi setumpuk proyek mangkrak, negara nyaris bangkrut karena subsidi, dan membesarnya ormas-ormas radikal.
Kemenangan-kemenangan Jokowi itu menunjukkan perubahan kecenderungan pemilih untuk tak lagi mengacu pada ketegasan ala-ala militer atau penampilan gagah berwibawa. Pemilih lebih menyukai pemimpin yang menunjukkan keinginan untuk bekerja dan membawa dampak nyata untuk kehidupan sosial-ekonomi mereka. Ditambah dengan bencana pandemi dan maraknya intoleransi dan terorisme, kunci utama untuk pemilihan 2024 berada pada kandidat yang mampu memberikan visi dan misi yang tegas dan nyata untuk menyelesaikan isu-isu keamanan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia. Sigap membawa Indonesia melewati pertempuran ekonomi berbasis teknologi informasi
Menurut Michelle Obama, pemimpin (Presiden) yang tepat adalah pemimpin yang pada dasarnya memiliki kemampuan intelektual yang lebih tinggi dari staf ahlinya, serta memiliki pengetahuan sejarah, banyak membaca dan mampu menganalisa big data. Karena, meskipun pemimpin tersebut memiliki penasehat atau staf ahli, Presiden harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang mampu mengambil masukan yang tepat berdasarkan rasionalitas data dan melihat relevansinya terhadap kepentingan masyakat. Dan yang paling penting menurut Michelle adalah orang yang memiliki pengalaman di pemerintahan.
Oleh karena itu pemimpin yang tepat bukan Presiden yang hanya mampu mengucapkan apa yang ingin didengarkan oleh pemilih akan tetapi pemimpin yang mampu secara intelektual dengan kompetensi yang sudah terbukti dan memiliki keinginan membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang aman dan makmur.
Menjelang Pilpres 2019, Saiful Mujani Reasearch and Consulting (SMRC) melakukan survey tentang kriteria calon Presiden RI 2019. Ternyata publik menginginkan integritas dan empati dari seorang Presiden. Kemenangan Jokowi pada 2019 menunjukkan bahwa Presiden memenuhi dua kriteria vital itu.
Pada survei yang dilakukan 3 tahun sebelum Presiden Jokowi memenangkan Pilpres pertamanya, Presiden Jokowi hanya menduduki posisi ke 8 dengan jumlah pemilih hanya 4,7%. Survei itu diselenggarakan pada 10-24 September 2012 di 33 provinsi di seluruh Indonesia oleh Lembaga Survei Nasional. Hasil survey menunjukkan, publik mendambakan sosok presiden yang bersih dan tegas. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN), Umar S Bakry, menyatakan, karakteristik ini yang kemudian dipersonifikasi pada figur jenderal. Tak heran Prabowo Subianto menduduki tempat pertama dengan 20,1%, diikuti Wiranto dengan 12%. Keduanya berlatar belakang militer.
Hasil survei saat itu 58,6 persen menyukai sosok yang bersih [tidak pernah terlibat korupsi], 56,6 persen responden menyukai figur capres yang tegas, 49,8 persen menyukai yang merakyat, 48,9 persen menyukai capres yang konsisten, dan 45 persen menyukai capres yang cerdas. Menurut Umar, sejumlah karakteristik ini respons atas penampilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai tidak tegas, ragu-ragu, dan tidak berani mengambil risiko.
Kita semua tahu bila pemenang Pilpres 2014 jauh berbeda dari hasil survey tersebut. Bila kita kaitkan dengan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014, ternyata ada benang merah yang kuat. Rakyat menginginkan ‘sosok yang bersih’ di atas kriteria-kriteria lain. Kriteria ‘sosok yang bersih’ itu jelas ada pada Jokowi. Tak heran bila Presiden Jokowi bisa memenangkan Pilpres saat itu.
Ada hal yang perlu kita cermati dan garis bawahi dari survey itu. TIGA TAHUN sebelum Pilpres 2014, Jokowi belum tampak sebagai kandidat yang kuat. Kalah dibanding Prabowo Subianto yang punya tradisi merajai survey capres dari waktu ke waktu. Bahkan hingga saat ini. Arti lainnya, seorang kandidat kuat selalu muncul saat-saat akhir. Tak dapat diprediksi jauh-jauh hari.
Sementara saat itu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, menyatakan, Ketua Umum partainya, Megawati Soekarnoputri, mempersilakan kandidat-kandidat calon presiden muda maju di Pilpres 2014. Menurut legislator dari Fraksi PDI P Budiman Sudjatmiko, Megawati sudah mulai memikirkan regenerasi.
“Dia (Megawati) risih orang-orang bergantung dengan beliau,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko dalam diskusi Peluang Pemimpin Muda Dalam Pemilu 2014 di gedung DPR, Jakarta, Senin, 22 Oktober 2012. Menurut Budiman, kriteria seorang pemimpin dari PDI Perjuangan harus mengembangkan kharisma. Meski demikian, PDI Perjuangan belum akan mengumumkan kandidat muda yang akan maju di Pilpres 2014. “Insya Allah 2013 kami akan dorong. Kalau perlu pemilihan legislatif dan pemilihan presiden serentak,” kata dia.
Ini menunjukkan, PDIP bukanlah partai yang tergesa-gesa menunjuk calon presiden. Siapa yang terlihat moncer saat ini, belum tentu menjelang Pilpres mendapat mandat dari partainya. Demikian juga siapa yang didakwa memiliki privilege khusus, tidak kemudian didapuk menjadi Capres seperti dakwaan banyak orang.
Lalu bagaimana dengan survey capres cawapres 2024 yang dilakukan lembaga survey akhir-akhir ini? Simak dan tunggu kelanjutannya di bagian 3 (akhir) dari tulisan berseri ini.