Beberapa waktu lalu saya menghadiri Diskusi Buku ‘Dari Jokowi Hingga Pandemi’, sebuah esai politik dari Eko Sulistyo. Pak Eko sebagaimana kita tahu adalah mantan Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (2014-2019) dan kini menjadi Komisaris PT PLN (Persero). Pak Eko sendiri adalah seorang penulis yang aktif sejak masih mahasiswa. Acara diskusi itu sendiri cukup menarik karena menghadirkan tokoh-tokoh nasional Sidarto Danusubroto (Dewan Penasihat Presiden RI), Darmawan Prasodjo (Wakil Direktur Utama PLN) dan budayawan asal Solo, Sardono W. Kusumo, sebagai pembicara.
Budayawan Sardono W. Kusumo mengatakan, latar belakang pendidikan Pak Eko sebagai sarjana Sejarah, membuatnya teringat Yuval Noah Harari. Harari dan latar belakangnya sebagai sejarawan menjadikannya seorang intelektual organik terdepan yang mampu membuat analisis interdisipliner. Pak Eko, menurut Sardono, juga memiliki kemampuan serupa. Seseorang yang tak akan memberikan makna tunggal dalam menyikapi beragam kejadian yang terjadi. Menjadikan tulisan-tulisannya memiliki keluasan pengetahuan dan ketajaman analisisis. Demikian tulis Sidarto Danusubroto dalam sekapur sirih.
Dan itu benar. Keluasan dan ketajaman itu langsung bisa kita rasakan pada tulisan pertama ‘Lamun Sira Sekti, Aja Mateni’, ungkapan Jawa yang pernah diunggah Presiden Jokowi di laman media sosialnya. Unggahan Presiden Jokowi itu menjadi viral, dengan aneka reaksi positif maupun negatif. “Ungkapan itu justru mengingatkan kita bahwa kekuasan itu terbatas, tidak absolut,” demikian tulis Pak Eko. Dari sisi moral, tulisnya lagi, kekuasan itu tidak boleh semena-mena. Kekuasaan butuh pemimpin moral yang bisa memahami dan mendengar orang lain. Dalam konteks politik hari ini, ungkapan itu juga menunjukkan karakter kepemimpinan Jokowi sebagai ‘solidarity maker’, pemimpin yang berjiwa merangkul dan menyatukan.
Meski ‘orang dalam’ Presiden Jokowi, saya melihat Pak Eko cukup obyektif saat menulis tentang Pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam artikel ‘Politik Identitas, Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi Substansial’, pak Eko bahkan tanpa ragu-ragu menulis: ‘Di sisi lain, Jokowi memilih pasangannya, KH Ma’ruf Amin, yang menjabat Rais Aam PBNU sebagai strategi politik merebut pemilih muslim’ (halaman 66).
Artikel itu membahas tentang kekuatan politik nonprosedural yang dimotori gerakan mahasiswa. Mereka menolak berbagai RUU yang dianggap mencederai demokrasi. Meski Pemilu 2019 secara formal dianggap sukses, karena tingkat partisipasi pemilih mencapai 80 persen, namun keberhasilan itu tak berkorelasi dengan kualitas atau substansi demokrasi. Pemilu 2019, sebagai bentuk demokrasi prosedural, dianggap belum sejalan dengan demokrasi substansial karena sejumlah indikasi. Tentu saja karena adanya politik identitas menggunakan agama untuk berkompetisi memperebutkan suara pemilih muslim, mengemukanya politik dengan ujaran kebencian bermuatan SARA, serta makin menguatnya industrialisasi politik. Industrialisasi politik ini membuat biaya politik menjadi mahal, dan menjadikan politik menjadi transaksional antar elite.
Secara obyektif, Pak Eko menilai gerakan mahasiswa menunjukkan tingkat kepercayaan publik pada lembaga demokrasi formal mengalami penurunan. Namun Pak Eko tidak kemudian larut dalam pesimisme, ia dengan optimis menganggap baik demokrasi prosedural maupun nonprosedural itu merupakan modal politik untuk memperbaiki dan konsolidasi demokrasi ke depan. Konsolidasi itu bisa dimulai dari DPR dan Presiden untuk menindaklanjuti tuntutan mahasiswa. Pak Eko juga menganggap, gerakan mahasiswa itu dapat menjadi kontrol politik di luar sistem formal. Dalam sejarah Indonesia, komitmen kerakyatan aktivis gerakan mahasiswa sudah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini.
Tulisan-tulisan Pak Eko banyak membahas bahaya segregasi bangsa akibat terlalu banyaknya orang-orang dengan motif egois mengeksploitasi isu-isu SARA. Muaranya mengerikan, disintegrasi. Menarik untuk dilihat bila Pak Eko tak menganggap masalah segregasi ini hanya dalam kacamata NKRI, namun juga dalam kacamata perdamaian global. Majelis Umum PBB, tulisnya, dalam resolusinya tentang penghapusan rasialisme, menekankan bahwa setiap doktrin superioritas rasial adalah salah secara ilmiah, dapat dikutuk secara moral, tidak adil secara sosial dan berbahaya, serta harus ditolak. Bentuk rasialisme kontemporer sendiri meliputi diskriminasi sosial, xenofobia dan intoleransi.
Intoleransi ternyata adalah bentuk rasialisme juga, sesuatu yang selama ini di luar dugaan saya. Intoleransi ini makin menguat dengan makin maraknya populisme nasionalis yang mengedepankan praktik dan kebijakan eksklusif dan represif, serta superioritas pada kelompoknya. Apa yang dikenal sebagai politik identitas. Ancaman populisme nasionalis ini makin memprihatinkan dengan banyaknya media daring sebagai sarana glorifikasi praktek-praktek politik identitas yang serupa dengan naziisme dan neonaziisme. Sampai di sini saya teringat apa yang terjadi di Indonesia tahun-tahun belakangan. Populer dan dipuja-pujanya para penganjur kebencian.
Ternyata apa yang saya pikirkan itu dijelaskan Pak Eko kemudian. PBB menyatakan kekerasan rasial dan diskriminasi berpangkal pada ideologi supremasi dan populisme etnis-nasionalis, tulisnya. Menurut Pak Eko, ini sangat relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia: “Politik kebencian dengan menggunakan isu ras dan agama telah masuk ke ruang politik formal dalam kompetisi elektoral” (halaman 80). Pak Eko kemudian memberi contoh Pilkada DKI Jakarta pada 2017.
Karakter politik identitas adalah anti-perubahan, primordial dan konservatif. Penggunaan politik identitas sangat mengancam demokrasi ketika dibarengi politik kebencian. Di beberapa negara demorasi liberal, politik identitas yang disuarakan melalui politik kebencian mendapat tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sampai di sini saya kagum, Pak Eko mampu menjelaskan sesuatu yang rumit dan bertele-tele di tangan orang lain, menjadi sederhana dan penuh data. Tidak terjebak menjadi sok ilmiah dengan obral istilah asing dan konsep, yang membuat para awam seperti kita segera meletakkan buku dan meninggalkannya hanya dalam 10 halaman pertama. Njelimet, bikin mumet.
Pak Eko mengingatkan pada Pramoedya, yang penuh data, menunjukkan kebiasaan riset yang serius. Namun berbeda dengan Pram yang gemar mendesakkan pemikirannya, Pak Eko terlihat datar, hanya mengajukan serangkaian fakta dan data. Ia sama netralnya dengan GM dalam berkisah. GM memberondong kita dengan serangkaian fakta dan data, tanpa mendesakkan pemikirannya. Bedanya lagi dengan Pak Eko, GM merujuk istilah teman saya, gemar ‘bergenit-genit’ dengan bahasa. GM punya gaya bahasa yang ‘nyastra’, sementara Pak Eko tidak. Bahasanya sederhana dan datar, sesuatu yang menjadi kekurangan sekaligus kelebihannya.
Mengapa disebut kelebihan, karena bahasa yang simpel itulah yang membuatnya pas menjadi staf Presiden. Pak Eko tentu mampu membuat analisis tajam dalam bentuk resume yang gampang dipahami. Sesuatu yang memudahkan Presiden dalam mengambil keputusan, tanpa perlu berlelah-lelah dan terhanyut dalam indahnya bahasa. Tulisan yang tak membuat pembacanya emosional, tetap di jalur rasional.
Ini menjawab pertanyaan sebagian besar kami di Solo, tentang mengapa meski sama-sama mengawali karir di daerah, mengapa Pak Eko dan bukan yang lain yang mengorbit ke level nasional. Perlu diketahui, Pak Eko pernah menjadi Ketua KPUD Kota Surakarta (2003-2008) dan jauh sebelumnya adalah tokoh lokal Solo. Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja karena Pak Eko mampu ke luar dari pandangan-pandangan regional yang biasanya membatasi seorang pejabat daerah. Hal serupa yang dilakukan Presiden Jokowi sehingga mampu melesat dari Walikota, Gubernur, dan akhirnya Presiden. Suatu indikasi kemampuan belajar, mengamati dan berkontemplasi yang tak pernah berhenti. Sesuatu yang disebut budayawan Sardono W. Kusumo sebagai intelektual organik. Kecerdasan yang tumbuh karena belajar langsung dari kompleksitas budaya, tidak terpaku pada suatu disiplin ilmu tertentu, ataupun job description yang ketat.
Dalam rangkaian tulisan mengenai pandemi Covid 19, Pak Eko menulis “persaingan penemuan vaksin Covid-19 menandai babak baru perlombaan senjata global. Tiongkok mendadak menjadi lawan tangguh bagi Amerika. Tiongkok ingin medapatkan keuntungan geopolitik dari penemuan Vaksin. Sebaliknya bagi Trump, urgensi menghasilkan vaksin adalah kesempatan menggelorakan kecenderungan nasionalisme. Tepatnya populisme nasionalis, sebagaimana yang dibahas pak Eko sebelumnya. Bukan sesuatu dalam arti positif.
Di Amerika Serikat, masker adalah simbol politik yang merepresentasikan tindakan politik tentang cara menghadapi Covid-19 di antara pendukung kubu liberal dan konservatif. Donald Trump bahkan menolak memakai masker dalam berbagai kesempatan. Trump meyakini bahwa citra dan peluang terpilih kembali bisa rusak jika mengenakan masker karena dianggap lebih peduli kesehatan masyarakat daripada pemulihan ekonomi. Soal masker dan perdebatan ‘kesehatan versus ekonomi’ menjadi aspek baru dalam perang budaya di Amerika sejak pandemi.
Sampai di sini saya tertawa, kejadian serupa juga terjadi di Indonesia. Kelompok-kelompok yang menampik bahaya pandemi, enggan melakukan protokol kesehatan. Sebagaimana kita tahu, Trump kalah akhirnya. Seperti juga di sini, tokoh ‘garang’ yang mengumpulkan massa tanpa taat protokol kesehatan itu akhirnya ditangkap dan kini mulai disidang. Dunia perlahan menemui titik cerah dalam mengatasi pandemi. Vaksin ditemukan, vaksinasi dimulai. Meski distribusi vaksin secara merata ke seluruh dunia bukanlah hal yang mudah. “Memastikan akses yang adil bukan hanya masalah keadilan, melainkan juga cara tercepat untuk mengakhiri pandemi. Vaksin yang terjangkau dan dapat diakses oleh semua orang akan membantu kita mengatasi ketidaksetaraan kesehatan sistemis” (halaman 106). Sampai di sini saya lega karena pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk akselerasi vaksinasi ke seluruh daerah.
Sebagai seorang yang berlatar belakang akademik Sejarah, Pak Eko juga mengulas seminar-seminar Sejarah Nasional. Seminar pertama di tahun 1957, memuat semangat dekolonisasi sejarah bangsa. Agar sejarah Indonesia ditulis dengan perspektif bangsa Indonesia, dan bukan dalam kacamata kolonialisme. Sejak 2016, mulailah pendekatan baru untuk mencari relevansi sejarah dengan situasi dan konteks masa kini. Sejarah sebagai pengetahuan masa lalu agar jangan menjadi pelajaran menghafal yang menjemukan dalam pengajarannya.
Yang menarik, Pak Eko juga menekankan kontekstualisasi nilai-nilai dan pembelajaran dari masa lalu agar sesuai dengan tantangan kebudayaan masa kini. Kontektualisasi nilai sering menjadi hal yang tabu diucapkan, apalagi dibahas oleh kaum inteletual Indonesia. Terutama bila kontekstualisasi itu menyangkut nilai-nilai agama dan masalah-masalah gender seperti kuatnya budaya patriarki.
Di buku ini Pak Eko juga menulis beberapa kisah sejarah, tentu dengan perspektif yang selama ini kita belum tahu. Tentang Gedung Sarinah di Jalan MH Thamrin misalnya. Bangunan Gedung Sarinah ternyata menunjukkan kekhasan arsitektural peninggalan era Sukarno, yaitu dipenuhi karya seni dengan tema perjuangan rakyat Indonesia sebagai bangsa merdeka.
Sarinah sendiri bukan sekadar toko serba ada (toserba), melainkan mempunyai nilai historis dan legasi kebangsaan yang digagas Sukarno. Pendirian Sarinah bertujuan untuk menggerakkan ekonomi yang dimotori pelaku usaha dari Indonesia. “Barang yang boleh diimpor hanya 40%. Tidak boleh lebih. Enam puluh persen mesti barang kita sendiri,” ujar Sukarno dalam amanatnya saat peresmian tiang pancang Sarinah pada 23 April 1963 (halaman 218).
Bagi Sukarno, Sarinah menjadi simbol negara pascakolonial untuk berdiri sejajar dengan negara-negara yang sudah maju ekonominya. Maka bila Sarinah akan direvitalisasi, perlu diperhatikan relevansi nilai-nilai masa kini dengan legasi Sukarno. Pak Eko pun menulis strategi: sebagai etalase produk kebanggaan nasional yang tak hanya terkungkung konsep ‘brick and mortar’ namun juga mengadopsi pemasaran digital, mengintegrasikan dengan jaringan produsen-produsen kebanggaan Indonesia untuk pemasaran global seperti Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan lain-lain. Sampai di sini saya melihat, apa yang ditulis Pak Eko adalah salah satu strategi ekonomi Pemerintahan Presiden Jokowi.
Pak Eko juga menulis dua tantangan pers masa kini: menguatnya politik identitas dan konservatisme politik. Media sosial dengan kemampuannya mengamplifikasi ujaran kebencian, menjadi corong politik identitas dan konservatisme. Dewan Pers mencatat, pada 2017 ada 43.300 media daring di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada banyak penumpang gelap yang memanfaatkan platform ini untuk tujuan politik dan ideologis kelompoknya. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi, telah ditemukan sekitar 20.000 akun pendukung ekstremisme di media sosial. Ini masih ditambah dengan temuan 22 situs web radikal yang akhirnya diblokir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Suatu resensi tentu tak lengkap bila tak mengungkap kekurangan tulisan-tulisan di buku ini. Sekali lagi, tulisan yang tak emosional, kurang persuasif, hanya obyektif semata, bisa jadi kelebihan sekaligus kekurangan. Di tangan mereka yang rasional, dan cukup punya kemampuan berpikir otonom, tulisan-tulisan di buku ini sangat mencerahkan. Memberi bekal bagi kita untuk mampu melihat dan bersikap menghadapi tantangan zaman yang kian hari melibatkan perubahan yang makin cepat.
Tetapi jangan dilupakan bila era ini adalah era ‘post truth’. Orang hanya ingin informasi yang sepaham dengan hasrat-hasratnya. Tak peduli kebenaran fakta yang disajikan, tak peduli hoax atau bukan. Karya ilmiah, karya jurnalistik obyektif yang dihargai di masa lalu, mendadak menjadi terasa mentah dan tak menarik banyak pembaca karenanya. Hanya tulisan berbau propaganda yang menarik minat untuk dibaca sebagian besar masyarakat.
Artinya, harus ada kesadaran untuk menambahkan unsur baru dalam tulisan: unsur emosional, sesuatu yang lebih persuasif. Sesuatu yang membuat pembacanya menjadi berapi-api atau menggebu-gebu saat membacanya. Kemampuan hyper persuasif ini biasa dimiliki para pengasong ekstremisme, termasuk juga kemampuan untuk terus menerus ofensif terhadap apapun gerakan dan kebijakan pemerintah. Benar salah, apakah ucapan mereka membuat terlihat bodoh atau tolol menjadi tak penting bagi mereka. Sebab pasti ada yang mempercayainya, betapapun hoax nya. Suatu ‘sifat jahat’ yang terasa kurang dimiliki oleh tim media Presiden Jokowi. Untuk meraih kesadaran lebih banyak orang, apa salahnya kadar persuasif tulisan ditingkatkan.
Entahlah, mungkin untuk lolos dari kejahatan yang lain, kita harus sedikit berpikir jahat.
#vkd