Walau The King’s Man diluncurkan mengikuti 2 film pendahulunya, akan tetapi film ini sebenarnya merupakan prekuel – pendahulu – Kingsman: The Secret Service dan Kingsman: The Golden Circle. Film berlatar awal tahun 1900an besutan Matthew Vaughn ini berkisah tentang awal mula terbentuknya agensi King’s Man, sebuah agen rahasia independen yang walau bertitelkan “Pendukung Raja” merupakan agen rahasia non pemerintah yang memiliki misi untuk menjaga perdamaian dan mencegah konflik antar negara, terutama yang melibatkan Inggris, agar tidak sampai meletus menjadi peperangan.
Adalah Orlando Oxford (diperankan oleh Ralph Fiennes), seorang bangsawan Inggris bergelar “Duke of Oxford”. Orlando adalah seorang pacifist, yaitu seorang yang berkeyakinan bahwa perang dan kekerasan adalah sesuatu yang salah, sehingga menolak untuk mendukung dan berpartisipasi dalam peperangan. Sikap Orlando ini dilatarbelakangi beberapa kejadian dalam hidupnya. Kejadian pertama adalah keterlibatannya dalam Boer War 2 yang membawanya pada rasa bersalah telah memerangi orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya. Boer War 2 atau Anglo – Boer War adalah perang yang terjadi di Afrika Selatan antara Afrika Selatan melawan Kerajaan Inggris. Kejadian kedua adalah terbunuhnya istrinya, Emily Oxford saat ia, istri dan putranya mengunjungi kamp konsentrasi di Afrika Selatan pada masa Boer War, untuk menjalankan tugas sebagai anggota palang merah Inggris. Belakangan prinsip anti perangnya dan kejadian yang menimpa putranya, menjadi alasan Orlando Oxford mendirikan King’s Man.
Ketidaksukaan Oxford pada perang tercermin dalam banyak dialog yang dilakukannya,
“Real power is not found running off to war. Real power lies in understanding who it is you’re truly fighting, and how they can be defeated”, Orlando menjawab doktrin perang “Dulce et decorum est pro patria mori” – Adalah pantas dan manis untuk mati bagi negara – suatu bagian Odes, kumpulan puisi yang ditulis penyair Roma, Horace, yang dipopulerkan saat PD 1 untuk memobilisasi para pemuda ke medan pertempuran,
Atau nasihat Orlando pada putranya, Conrad,
“Throughout time, our people robbed, lied, and killed. Until one day, we found ourselves… noble men. But that nobility never came from chivalry. It came from being tough and ruthless”, merupakan kata-kata yang menggambarkan kepahitan Orlando tentang perang, bahwa kebangsawanan yang diraihnya bukan datang dari suatu sikap ksatria, akan tetapi merupakan hasil dari berperilaku kejam – merampok, berbohong dan membunuh. Orlando sangat berharap – sesuai dengan janjinya pada istrinya sebelum ia meninggal – Conrad tidak terlibat dalam peperangan manapun.
“Our enemies think we are gentlemen, but reputation is what people think of you. Character is what you are”.
Film ini menjelaskan banyak hal yang ditampilkan di Kingsman 1 dan 2. Selain penjelasan tentang awal mula berdirinya agensi independen Kingsman dan visi misinya, film ini juga memberi penjelasan mengapa para agen Kingsman diberi kode seperti para ksatria “Meja Bulat” King Arthur: Arthur, Lancelot, Galahad, Percival, Bedivere dan Merlin. Terdapat juga penjelasan bagaimana awal mula kios penjahit Saville Row menjadi markas besar Kingsman.
Terlepas bahwa film ini sebenarnya cukup asyik untuk ditonton, kritik yang dilayangkan pada film ini cukup banyak. Kritik pertama adalah hilangnya gaya komedi dan dark jokes yang sebelumnya sarat mewarnai sekuel pertama dan kedua Kingsman. Pada ulasan di banyak media dikatakan bahwa film ini merupakan satu upaya gagal untuk ikut-ikutan gaya James Bond.
Kritikan kedua datang dari pelukisan beberapa fakta sejarah yang tidak tepat, mengesankan suatu usaha karikatural yang konyol. Bagaimanapun seperti lazim terjadi pada suatu cerita fiksi berlatar belakang sejarah, elemen-elemen fiktif – tokoh atau peristiwa fiktif – biasa ditambahkan ke dalam kerangka cerita. Dalam film Kingsman ini, kejadian-kejadian sejarah diceritakan seperti apa yang kita ketahui, akan tetapi alasan mengapa kejadian tersebut terjadi fiktif, yaitu diceritakan bahwa terdapat satu kelompok rahasia yang menjadi otak di balik terjadinya Perang Dunia 1. Perang Dunia 1 yang pada dasarnya merupakan persaingan 3 bangsawan yang masih memiliki hubungan kekerabatan – King George V (Raja Inggris), Kaiser Wilhelm II (Kaisar Jerman) dan Tsar Nicolas II (Tsar Rusia) – sebenarnya dimastermind oleh satu kelompok yang dipimpin seorang berkebangsaan Skotlandia. Tujuan utama kelompok ini adalah menghancurkan Kerajaan Inggris sebagai balas dendam penguasaan Kerajaan Inggris pada Skotlandia. Kelompok ini beranggotakan tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah seperti Grigori Rasputin, Mata Hari, Erik Jan Hanussen dan Vladimir Lenin. Kelompok ini dengan segala cara berupaya untuk menghentikan perang antara Jerman dengan Rusia – membuat Rusia mengundurkan diri dari peperangan, sehingga Jerman kemudian akan memalingkan muka untuk bertempur dengan Inggris. Selain berupaya membuat Rusia mundur dari pertempuran, kelompok ini juga berupaya untuk membuat Amerika Serikat tidak bergabung dengan Inggris. Upaya mencegah AS turun ke peperangan dilakukan dengan mengancam akan membuka bukti skandal seks Presiden Woodrow Wilson dengan Mata Hari, serta membuat Meksiko menyerang Amerika.
Kritikan lain pun datang dari kekonyolan penggambaran tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah seperti Grigori Rasputin yang dalam film digambarkan memiliki kemampuan bela diri luar biasa. Tidak kunjung terkalahkan meski dikeroyok 3 orang dan telah diracun. Betapa konyol sekali adegan Rasputin beradu pedang sembari menari berputar-putar laksana penari Darwis.
Dan apabila pada Kingsman 1, quote “Manner Maketh Man” menjadi ikon film tersebut, di film The King’s Man ini, filosofi yang sama dinyatakan dengan quote yang berbeda,
“Oxford not Bruges…”
Oxford dan Bruges sebenarnya merupakan model sepatu. Sementara oxford merupakan model sepatu klasik yang sering dipakai kaum aristokrat, bruges merupakan istilah yang merujuk pada pola lubang-lubang kecil yang sering ditemui pada sepatu pria. Sepatu yang diberi pola bruges biasanya dikenakan oleh orang-orang di kawasan rural (pedesaan). Lubang-lubang atau bruges itu berfungsi untuk mengeluarkan kelembaban dari dalam sepatu. Dengan ungkapan “Oxford not Bruges”, ingin digambarkan bahwa seorang King’s Man merupakan orang yang lebih sopan, cerdik, pintar dan lebih beradab dibandingkan kebanyakan orang lainnya. Juga digambarkan bahwa King’s Man menyelesaikan masalah dengan damai, tidak dengan cara kotor dan brutal seperti peperangan. Yang mana merupakan inti pesan film The King’s Man ini.
Rani Rumita