Berita-berita tentang buzzer marak belakangan. Sekelompok orang menuduh kelompok tertentu sebagai buzzer pemerintah. Kemudian timbul polemik tentang ada tidaknya buzzer serta benar tidaknya keberadaan buzzer. Salah satu pihak menyerang habis-habisan kelompok yang dianggapnya buzzer pemerintah. Dengan berbagai cara dan terkadang disertai hoax.
Menarik disimak karena menilik makna buzzer yang berarti ‘pendengung’, kegiatan buzzer sebenarnya serupa dengan kegiatan public relation, mengendorse, mempromosikan atau bahkan membela ala para lawyer. Mereka yang mengecam kelompok tertentu sebagai buzzer pemerintah, pada dasarnya juga buzzer. Buzzer bagi pandangan-pandangan yang dibelanya ataupun kepentingan-kepentingan yang dibelanya. Hampir semua begitu, tak benar-benar karena kritis dalam rangka Indonesia yang lebih baik. Tetapi memang mereka membela pandangannya, minimal pandangan bahwa ‘Pemerintah selalu salah’. Pandangannya ini, dipegang dengan sangat teguh, dan tetap menutup mata saat mendapatkan fakta bahwa apa yang dikatakannya salah.
Dalam buku The Death of Expertise- Tom Nichols, dikatakan bila orang cenderung memilih dan mencari informasi untuk membenarkan apa yang dipercayai dan disukai. Ini menjelaskan mengapa ada berbagai kelompok buzzer dengan pandangan-pandangannya sendiri. Ada yang membela kemanusiaan, kebangsaan, dan adapula yang membela identitas. Untuk setiap buzzer, ada segmennya sendiri. Dan setiap segmen itu, fanatik pada ideologi yang disukanya.
Menjadi pertanyaan, mengapa seringkali informasi yang disampaikan buzzer anti pemerintah di sini kerap menggunakan cara-cara menyerang, intimidatif, bahkan bila perlu memakai hoax? Ternyata karena kita berhadapan dengan sekelompok besar orang yang suka ditakut-takuti, memilih untuk ditakut-takuti. Kelompok orang yang akan sulit diajak bicara ilmiah alih-alih diskusi kritis.
Mengapa demikian, ternyata ini adalah mekanisme survival juga. Kita cenderung takut pada kondisi yang tak bisa kita kendalikan. Maka kita lebih mudah dicengkeram ketakutan irasional daripada optimisme irasional. Kita lebih mudah takut naik pesawat terbang daripada naik mobil. Meski statistik menunjukkan jumlah korban kecelakaan jalan raya lebih banyak daripada kecelakaan pesawat terbang. Kita merasa tak mampu mengendalikan pesawat terbang.
Betapapun rasionalnya manusia, manusia tetap menyisakan sedikit hal irasional, meski optimisme irasional lebih jarang terjadi. Tidak heran, saat seseorang membeli lotere, langka sekali kemungkinan bila ia akan berteriak-teriak mantap, “Besok aku menang lotere.” Jauh lebih mudah seseorang takut kehilangan nota pembelian loterenya daripada berkata optimis akan menang lotere. Ketakutan ini tentu saja berlebihan karena probabilitas menang lotere itu rendah.
Demi meraih followers, unggahan-unggahan para buzzer anti pemerintah ini seringkali dibuat dengan konten yang menjejalkan ketakutan. Ketakutan untuk sesuatu yang dirasa tak dapat kita kendalikan. Dalam hal ini masa depan. Pikiran seringkali beroperasi dengan informasi yang terbatas. Keterbatasan inilah yang memungkinkan terjadinya teori konspirasi. Maka tetangga yang berbeda iman itu ditafsirkan akan membentuk pemukiman baru, hanya untuk mereka yang seiman
Menurut Nichols, teori konspirasi bukan hanya memuaskan hasrat heroik kita, teori konspirasi amat menarik bagi mereka yang kesulitan memahami dunia yang rumit, sekaligus hanya mau mendengar hal-hal dramatis. Ini masih ditambah fakta bahwa orang yang kurang kompeten akan memperjuangkan pendapat mereka mati-matian, meski belum tentu benar. Orang yang tak kompeten juga menilai terlalu tinggi kemampuannya. Apa yang disebut sebagai Dunning-Kruger Effect: semakin bodoh Anda, semakin Anda yakin diri kalau Anda sebenernya tidak bodoh.
Debat paling ngeyelan di medsos selalu dilakukan orang yang paling payah tata bahasanya. Gambaran literasi rendah. Sedikit fakta yang membuat saya sedih, Nichols mengatakan bahwa manusia masa kini tetap lebih cerdas daripada di masa lalu. Yang jadi masalah, bisakah manusia abad 21 mengejar kecerdasannya dengan kecepatan perubahan dunia? Tak perlu waktu lama lagi kecerdasan manusia akan mendapat ancaman serius dari AI, dan sebagian dari kita masih sibuk saling barbar dengan membunuh sesama. Primitif. Tidak pernah prihatin berpikir bila AI telah menguasai, bisnis tukang obat bakal tersendat-sendat.
Berita-berita tentang buzzer provokatif intimidatif itu seperti biasa juga menguak apa yang biasa terjadi di era digital, era Post Truth, masyarakat yang pemarah. Zaman kemarahan. Dalam The Age of Anger – Pankaj Mishra menyebutkan, zaman kemarahan muncul sebagai antitesis dari modernitas dan globalisasi. Sekelompok orang yang memelihara kemarahan karena tak paham dengan lompatan kemajuan dan modernitas. Tak mampu mengikuti dan merasa terpinggirkan karenanya. Terabaikan dari sistem yang berlaku kini. Kalah dalam kompetisi untuk survive. Apa yang disebut sebagai Darwinisme sosial, serta gagal seirama dengan perkembangan dunia global yang makin menyerupakan antar bangsa.
Mereka yang tertinggal itu, atau tepatnya yang tak benar-benar memahami arah perkembangan zaman, memilih untuk menyuburkan identitas. Eforia berlebihan pada kejayaan masa lalu. Agama dan etnisitas misalnya. Kelompok pemarah ini juga memiliki buzzer-nya sendiri. Di sini, banyak yang melampiaskan kemarahannya dengan menjadi buzzer-buzzer anti pemerintah.
Sebenarnya menyuburkan nilai-nilai lama dan identitas bukan hal yang buruk. Menjadi seram ketika demi penegakan identitas itu cara-cara yang dilakukan penuh kemarahan bahkan kekerasan. Anti terhadap apapun yang berkuasa dan tak sama identitasnya. Menekan semua yang minoritas.
Pankaj Mishra menulis The Age of Anger itu sebagai keprihatinan atas naiknya Narendra Mody dan Donald Trump sebagai kepala negara. Dua politisi yang berkampanye atas nama prasangka dan kebencian. Mody dan Trump bisa naik didukung buzzer provokatif yang selalu mengeluarkan kebencian, hujatan dan menebar ketakutan. Mishra tentu saja tak ingin fenomena Trump dan Moody ini menyebar ke seluruh dunia.
Dari unggahan-unggahan penuh ujaran kebencian itu lahirlah para buzzer dalam kategori demagog, orang yang pandai menghasut dengan cara membakar naluri kemarahan massa untuk meraih tujuan tertentu. Seringkali pergolakan yang terjadi sebenarnya berawal dari pertentangan antara konservatisme dan liberal. Konservatisme sering menuduh liberalisme sebagai perubahan yang terlalu progresif dan meninggalkan nilai-nilai tradisi dan bahkan religiusitas seperti yang dikeluhkan para konservatif. Sedang para liberalis menuduh para konservatif itu kolot, atas nama dogma dan tradisi, seringkali kehilangan kemanusiaannya.
“Nothing is static in nature or the universe, not even God.” Kata Jorge Bergoglio seorang Kardinal pada Paus Benedict dalam film The Two Popes. Bergoglio mengatakan bahwa kita lebih membutuhkan membangun jembatan dan bukan tembok. Kerjasama, kolaborasi dan bukan sekadar kompetisi. Jembatan dapat diartikan pembauran, pertukaran, sinergi dan tentu saja bukan purifikasi. Agar tercapai peradaban modern yang meningkatkan bukan hanya angka harapan hidup dan peningkatan kenyamanan, namun juga membuat manusia sekarat dalam waktu lebih singkat.
Kompromi, dialog, bukan sekadar kompetisi hingga melahirkan zaman kemarahan. Jorge Bergoglio kemudian menjadi Paus Francis dan dikenal banyak melakukan reformasi pandangan-pandangan Gereja. Sebab kemajuan dan zaman harus diakomodir, bukan dipaksa untuk menurut nilai-nilai yang mulai sulit diterapkan. Purifikasi, yang berarti ada eliminasi pada yang berbeda, sangat jauh dari semangat kolaborasi itu. “One might look foolish dancing alone, ” kata Pope Francis di film itu. It takes 2 to tango.
Dalam hal konflik antar buzzer, sering terjadi mereka terlalu kaku, utopis dan ingin segalanya diselesaikan dengan hitam putih. Tak ada kompromi. Sifat manusia selalu tak ingin dikalahkan, kompetisi berlebihan hanya akan meninggalkan perlawanan, membuat keadaan menjadi tidak smooth. Seringkali bahkan memakan korban, kerusuhan di masyarakat misalnya. Untuk mencapai tujuan bersama, seharusnya para buzzer anti pemerintah garis ganas itu mulai berpikir tentang best among the worst. Ini tentu saja tentang kolaborasi, bukan kompetisi. Sedapat mungkin tak harus ada yang kalah, no one left behind.
Jadi untuk apa ribut tak penting tentang siapa menjadi buzzer siapa, siapa boleh mengkritik atau tidak, hal-hal receh yang intinya hanya perebutan pengaruh. Jauh lebih penting melempar ide dan wacana untuk karya kemanusiaan dan kebangsaan, lalu bersama kita mewujudkannya.