Jelang Pilpres 2024, bursa capres ramai. Tidak ketinggalan duo anak kesayangan ayah, AHY – Ibas, juga digadang-gadang sebagai capres potensial. Bagaimana faktanya, mari teguk dulu info tentang tentang keduanya berikut ini. Cleguk…..
Siapa tak kenal AHY? Purnawirawan Mayor AD yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta ini terkenal sebagai perwira berbakat dalam karir militernya. Daftar prestasinya panjang: lulusan terbaik dari Akademi Militer tahun 2000, peraih penghargaan Presiden RI; Bintang Adi Makayasa, Pengemban tugas operasi pemulihan keamanan di Aceh tahun 2002 dan operasi perdamaian PBB di Libanon tahun 2006. Memimpin salah satu satuan pengamanan Ibu Kota, sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kamuning, di bawah Brigif 1/PIK, Kodam Jaya pada 2015.
Cerita sukses itu menjadi berbeda setelah ia mengundurkan diri dari militer dan mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI pada Pilkada 2017. Berpasangan dengan Silviana Murni, Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DKI, pasangan ini langsung gagal pada putaran pertama. Banyak pengamat mengatakan, kekalahan AHY terutama karena AHY tidak memiliki basis massa yang kuat dan solid di Jakarta, makna tersamar dari ‘tak dikehendaki’ warga Jakarta.
Direktur eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, saat itu mengatakan, salah satu penyebab kekalahan AHY adalah karena dianggap paling tak rasional di antara ketiga calon yang ada. Ahok, dianggap yang paling rasional. Di tangan Ahok, pembangunan Jakarta sukses dan gemilang. Anis punya gelar akademik yang ciamik, meski pecatan Menteri Pendidikan, namun berpengalaman sebagai rektor Universitas terkenal. Alunan kata-katanya saat beretorika santun, membuai dan membius. Dan ingat, Anis didukung oleh barisan orang tak rasional. Secara rasional, barisan tak rasional itu cukup membantu pembentukan citra positif bagi Anis. Sedang AHY, ia tak memiliki keduanya, rasionalitasnya diragunakan, ia pun tak memiliki pendukung tak rasional yang siap menggila. Ia hanya dianggap anak Pepo yang biasa hidup manja.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menambahkan kenyataan pedih bila AHY payah saat debat Pilgub. Kelihatan sekali ia kedodoran saat menghadapi Ahok dan kecerdasan rasionalnya, serta Anis dan kelihaian retorikanya. Beberapa mengaitkannya dengan posisi AHY yang selama ini menjadi perwira menengah. Belum terbiasa mengeksekusi sesuatu, hanya menjalankan instruksi atasan. Belum terbiasa mengambil keputusan mandiri.
Ketakmampuan mengambil keputusan mandiri ini menjawab keluhan banyak orang tentang sang ayah, SBY, yang dinilai terlalu ikut campur. SBY bisa jadi bukan faktor yang menguntungkan bagi AHY. Banyak analis politik menilai, terlalu ‘bawelnya’ SBY dalam urusan Pilgub, pada akhirnya membuat dukungan yang tadinya menguat kemudian merosot dratis. Cuitan-cuitan SBY di Twitter yang lebih bernada keluhan direspon negatif oleh netizen. Politik ‘didzalimi’ yang coba dikembangkan SBY untuk menarik dukungan pada putranya tak efektif. Strategi ini justru kontraproduktif bagi AHY. Publik menganggap AHY akan sama saja dengan ayahnya bila menjabat, banyak mengeluh, dan menyalahkan pihak lain.
Setelah kegagalan Pilgub itu, nyaris tak ada prestasi berarti dari AHY. Pada tanggal 15 Maret 2020 di Jakarta Convention Center, AHY terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2020–2025 secara aklamasi dalam Kongres Ke V Partai Demokrat. Menggantikan ayahnya sendiri. Sejak Kongres V itu, Partai Demokrat yang dituding menjadi partai keluarga atau partai dinasti, karena selain AHY, Ibas dan menantu-menantu SBY menduduki posisi penting di partai tersebut.
Bagaimana dengan sang adik, Edhie Baskoro Yudhoyono? Mengantungi gelar Bachelor of Commerce in Finance and E-Commerce dari Curtin University, Perth, Australia, Ibas mulai berkecimpung di dunia politik pada tahun 2009. Saat itu ia menjadi anggota DPR dari Daerah Pemilihan VII Jawa Timur, mewakili 5 daerah: Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi. Ibas terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan April 2009 dengan perolehan suara tertinggi se-Indonesia: 327.097 suara. Tugasnya di DPR RI menjadi anggota Badan Anggaran dan Komisi I DPR RI yang membidangi hubungan luar negeri, pertahanan, dan informasi dan komunikasi.
Kariernya di Partai Demokrat diawali sebagai Ketua Departemen Kaderisasi. Pada Mei 2010, ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal untuk mendampingi Ketua Umum Terpilih Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Penunjukan tersebut menjadikannya sebagai Sekretaris Jenderal partai politik termuda di Indonesia. Ia juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Promosi Internasional, Pariwisata, Seni Budaya, dan Olah Raga periode 2010-2015.
Mengutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dikeluarkan KPK pada 23 Juni 2020, kekayaan Ibas pada 31 Desember 2019 bernilai total Rp 33.604.798.552,- . Sebagian besar berbentuk kas dan setara kas yang nilainya Rp 17.008.191.552,-. Aset property berupa tanah dan bangunan sebesar Rp 7.681.607.000,- tersebar di Bogor dan Bandung, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Anehnya Ibas tak melaporkan kepemilikan kendaraan dan mesin dan tak memiliki utang.
Karir politik Ibas tercoreng saat namanya disebut oleh Mantan Bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin sebagai penerima aliran dana terkait sejumlah kasus korupsi. Diantaranya adalah kasus korupsi proyek pengadaan alat kesehatan dan proyek wisma atlet. Nama Ibas juga pernah disebut dalam persidangan kasus suap SKK Migas dengan terdakwa Rudi Rubiandini. Ia disebut dekat dengan Direktur PT Rajawali Swiber Cakrawala Deni Karmaina. Deni disebut berupaya agar PT Saipem yang dikawalnya dimenangkan dalam tender proyek offshore Chevron di SKK Migas. Dalam kesempatan yang berbeda, Nazaruddin juga menyebut bahwa Ibas melalui PT Saipem juga ikut bermain proyek di SKK Migas.
Terlepas dari kasus-kasus yang menyeret nama mereka, bagaimana peluang AHY maupun Ibas dalam Pilpres 2024?
Seperti diketahui, kepemimpinan AHY di Partai Demokrat digoyang adanya KLB di Deli Serdang yang memilih Moeldoko sebagai Ketua Umum. Meski Menkumham, Yasonna Laoly dalam konferensi pers daring, Rabu, 31 Maret 2021menyatakan menyatakan permohonan pengesahan hasil KLB di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021, bukan berarti AHY bakal melaju mulus sebagai Ketum Partai Demokrat, alih-alih Calon Presiden.
Peristiwa KLB Deli Serdang itu membuat nama Partai Demokrat semakin disorot keterlibatannya dalam kasus Hambalang dan sejumlah kasus korupsi lain pada zaman SBY. Para tokoh KLB secara khusus menggugat pengurus Partai Demokrat versi AHY agar bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam kasus Hambalang. Atas tudingan-tudingan ini, AHY mendadak menjadi segalau ayahnya. Gemar merasa teraniaya, dan melemparkan tuduhan bila ia didzalimi. AHY terlihat sangat serupa ayahnya, membuat ia disinyalir sangat disetir sang ayah.
Bila kelak menjadi Presiden, ia diprediksi hanya akan menjadi pemimpin seperti sang ayah. Pengambil keputusan yang selalu ragu dan tak pernah tegas. Tak banyak melakukan pembangunan infrastruktur, melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan dan bakal gagap bila menhadapi kejadian luar biasa serupa pandemi Covid ini. Era kepemimpinan SBY bahkan dianggap sebagai era bermunculannya ormas-ormas radikal yang gemar melakukan aksi-aksi intimidasi dan tidak berpihak pada Pancasila serta NKRI. Semua aksi terror yang seolah dibiarkan oleh SBY. Ini masih ditambah dengan rumor-rumor berbau konspirasi tentang saksi-saksi kunci kasus korupsi eKTP yang semua sudah meninggal, kasus Antasari Azhar, serta terorisme yang kembali ramai bila kepentingan Partai Demokrat terganggu. AHY dikhawatirkan hanya akan menjadi Presiden seperti itu.
Secara umum, kritik terhadap AHY masih persis dengan apa yang didakwakan padanya saat kalah dalam Pilgub DKI. Politisi yang belum matang, tak punya basis massa kuat, tidak rasional, payah dalam berdebat (yang artinya tak cukup wawasan dan tak menguasai permasalahan yang ada), serta tak mampu mengambil keputusan mandiri. Jangankan memiliki basis massa, karya sosial melalui komunitas ataupun yayasan pun nyaris tak ada. Boro-boro mau punya program yang jelas, memetakan permasalahan-permasalahan di Indonesia saja ia terlihat gagap.
AHY pun dianggap belum punya lompatan pemikiran dan inovasi. Semakin terlihat aneh, ia terpaksa memelihara brewok agar terlihat garang. Ini seolah dilakukan untuk menepis kesan kurang pengalaman dan jejak ‘hanya mayor’ nya,. Di mata umum, AHY serupa dengan Anies Baswedan. Politisi yang hanya mengedepankan penampilan dan retorika. Masih banyak orang teringat, saat meninggalnya Ibu Ani, AHY yang didaulat membacakan pidato dukacita dari keluarga, membacakannya dengan berapi-api laksana anak SD sedang mendeklamasikan sajak Krawang-Bekasi. Ini terasa kurang pas dengan suasana dukacita, jauh lebih bisa dipahami bila ia terbata-bata, tak mampu berartikulasi dengan baik karena kesedihan dan dukacita yang mendalam. AHY belum punya kepekaan tentang suatu peristiwa dukacita.
Belum lagi faktor istri yang dianggap galak dan gemar ‘mencabein’ orang-orang yang tak sejalan dengan keluarganya. Sang istri terlihat sangat ikut campur urusan suami. Sesuatu yang membuat orang berpikir ulang untuk menjadikannya ibu negara.
Bagaimana dengan sang adik? Meski tak seganteng kakaknya, setelah menikah si adik tak banyak menonjolkan diri. Tenggelam dalam kesibukan pribadi dan keluarganya. Hanya ia tak pernah bisa lepas dari kasus-kasus Partai Demokrat pada saat menjabat Sekjend Partai dulu. Masih ditambah dengan kenyataan: Ibas tak pernah terlihat mengatakan sesuatu yang cerdas atau melontarkan ide brilyan dan inovatif. Masyarakat sendiri sering menertawakan Ibas karena selalu terlihat memakai pakaian lengan panjang.
Bicara soal busana, Ibas pernah menjadi tertawaan netizen karena fotonya saat berenang. Saat itu Ibas berbaju renang ala penyelam dan sedang berenang bersama anaknya di kolam dangkal. Bayangkan, pakaian penyelam di kolam dangkal. Menjadi semakin lucu karena sang anak yang masih balita itu terlihat lebih normal dengan hanya bercelana renang. Keluarga SBY pun pernah menjadi olok-olok netizen saat mengunggah foto keluarga di suatu pantai berombak besar dan berbatu karang. Dalam foto tersebut, mereka sekeluarga memakai seragam batik yang sama, bercelana kain yang terkesan resmi, lengkap dengan sepatu kulit dan high heel. Di tengah pantai….
Tanpa bermaksud mencela selera dan kebebasan berbusana, foto-foto tersebut mengesankan keluarga mereka lebih serupa ibu-ibu arisan yang gemar berseragam serasi. Menimbulkan kesan, mereka hanya keluarga politisi yang hanya bisa pencitraan dan bukan tindakan nyata. Ini masih ditambah kesan bahwa ayah mereka, SBY adalah pemimpin yang tak suka menyelesaikan masalah, tapi hanya menyenandungkan dan menjadikannya lagu saja. AHY terimbas juga karena, ia dianggap hanya akan mendeklamasikan suatu masalah. Seperti juga saat ia tak henti-henti menyuarakan kepedihannya di’kudeta’ Moeldoko.
Dan Ibas, ia terkesan sebagai pemuda yang takut sinar matahari, dan tak percaya sunblock, sehingga selalu berbusana lengan panjang. Nah kalau sama sinar matahari saja takut, bagaimana mungkin seseorang berani menghadapi tantangan sebagai kepala negara yang tentu tidak mudah? Kalau sama sunblock saja tidak percaya, bagaimana mau mempercayai orang lain?
Masalah-masalah itu, ditambah perolehan suara Partai Demokrat yang makin melorot dari Pemilu ke Pemilu, ini adalah indikasi bahwa masyarakat meragukan AHY dan Ibas. Mengapa, karena toh kita semua tahu pengkaderan di partai itu murni hanya membukakan jalan untuk SBY sekeluarga. Mengingat SBY yang makin sepuh, maka Demokrat masa kini identik dengan duo AHY dan Ibas.Tidak memilih Demokrat, dapatlah ditafsirkan sebagai ketidakpercayaan kepada kakak beradik milenial.
AHY dan Ibas untuk 2024……………………..BIG NO……!!!!
Nia Megalomania