Ajakan Berkorban Bagi Negara: Respon Positif atau Negatif?

Jangan gampang-gampang meminta orang berkorban bagi bangsa dan negara… kalau apes, kita bisa dirujak massa…. !

Sedang ramai berita tentang sejumlah tokoh meminta rakyat lebih mandiri dan produktif, alih-alih bergantung pada bantuan negara, demi mengurangi beban anggaran nasional. Ucapan-ucapan tersebut dalam sekejap diserbu reaksi negatif dari masyarakat. Di sisi lain, reaksi ini berbeda sekali terhadap ungkapan fenomenal Presiden Amerika ke 35, John Fitzgerald Kennedy, ” Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country“.

Diucapkan dengan gaya retoris saat inagurasi pelantikannya, pidato Kennedy itu menjadi legenda dunia. Mudah diingat, salah satu kutipan paling ikonik dalam sejarah, menjadikan JFK idola baru para Boomers, generasi muda masa itu. Kata-kata JFK itu juga menjadi semacam standar nilai baru bagi masyarakat tentang pengabdian dan tanggung jawab sosial, nilai-nilai yang dijunjung tinggi secara universal. Ungkapan-ungkapan tentang “pengorbanan bagi bangsa dan negara”, meski agak klise, kebanyakan mendapat nilai positif.  Namun ternyata, bahkan ungkapan legend JFK pun menuai pro dan kontra.

Paul Wolfowitz, tokoh penting dalam politik luar negeri Amerika Serikat di era pemerintahan George W. Bush, menjadi salah satu pengkritik ungkapan itu. Saat masih menjadi Duta Besar Indonesia di akhir tahun 80an, Wolfowitz pernah menyatakan ucapan JFK itu tidak pas, karena saat itu Amerika tidak sedang dalam keadaan berperang. Tuntutan berlebihan pada rakyat.

Kata-kata Wolfowitz ini dapat kita pahami jika melihat latar belakangnya yang dikenal sebagai arsitek kebijakan neokonservatif, dan dipengaruhi oleh pemikir neokonservatif seperti Leo Strauss. Pandangan Wolfowitz terhadap ucapan JFK jelas mencerminkan pandangannya tentang pentingnya kebebasan individu dan tanggung jawab pribadi di luar kondisi krisis. Selaras dengan kecenderungan neokonservatif Wolfowitz, dan juga Partai Republik, yang selalu menekankan peran pemerintah yang terbatas dalam kehidupan domestik namun agresif dalam memproyeksikan kekuatan di panggung internasional. Dalam konteks Indonesia saat itu, kritik Wolfowitz ini berkaitan dengan pendekatan kaum neoliberal terhadap pembangunan ekonomi dan reformasi politik. Mendorong inisiatif swasta dan keterlibatan masyarakat sipil ketimbang ketergantungan pada kebijakan negara yang sentralistik.

Partai Republik di US sendiri terkenal dengan prinsip pasar bebas, dengan peran negara seminimal mungkin. Pajak yang rendah karena pajak tinggi dianggap hanya membebani perekonomian. Sebaliknya Partai Demokrat punya kecenderungan sosialisme yang besar, memastikan peran aktif negara terhadap pemerataan kesejahteraan dan menjaga kesenjangan. Biasanya diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan seperti jaminan sosial dan kesehatan. Imbasnya, Partai Demokrat cenderung mendukung Pajak Progresif yang cukup besar, dengan imbal baliknya layanan publik, dan tanggung jawab sosial negara terhadap penyediaan kebutuhan dasar seperti  pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lapangan kerja, lebih besar.

Bukan hanya Wolfowitz, dalam artikel di Richmond County Daily Journal, 31 Mei 2017, Galles, seorang profesor ekonomi di Pepperdine University, mengkritik kalimat JFK karena dianggap memutarbalikkan prinsip dasar Amerika bahwa pemerintah ada untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya. Kalimat JFK telah digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah yang memaksa, mengorbankan kepentingan luas demi kepentingan politik tertentu. Galles juga mengutip Milton Friedman, yang menyatakan bahwa kalimat ini “bertentangan dengan keyakinan manusia bebas terhadap tanggung jawab atas nasibnya sendiri“. Pemerintah menempatkan diri sebagai tuan dan warga adalah pelayan.

Mari kita lihat mengapa ungkapan-ungkapan “pengorbanan pada negara” bisa menimbulkan reaksi massal yang positif maupun negatif. Beberapa tokoh terkenal dunia yang mendapat reaksi negatif luar biasa dari masyarakatnya antara lain Mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher. Di tahun 1984, Thatcher dikritik habis-habisan saat berkata, “There Is No Alternative” (TINA) untuk membenarkan kebijakan neoliberalnya, seperti privatisasi dan pemotongan anggaran sosial. Rakyat harus menerima perubahan ini demi kemajuan ekonomi.

Ucapan Thatcher ini ternyata dianggap keterlaluan karena menuntut rakyat Inggris, terutama kelas pekerja, untuk menerima dampak kebijakan yaitu pengangguran massal, pemotongan layanan publik, dan penutupan industri seperti pertambangan. Tanpa menawarkan jaring pengaman sosial yang memadai. Kebijakan Thatcher ini berujung Pemogokan Pekerja Tambang yang berlarut-larut sepanjang tahun 1984–1985.

Publik, terutama di komunitas pekerja, merasa Thatcher tidak peka dan mengabaikan penderitaan mereka karena kehilangan pekerjaan dan akses ke kesehatan serta pendidikan. Meskipun Thatcher dianggap sukses oleh sebagian kalangan karena kebijakan ekonominya, ucapan ini memperkuat persepsi bahwa ia memprioritaskan pasar di atas kesejahteraan rakyat.

Jenderal Augusto Pinochet, diktator Chili (1973–1990), pernah berkata, “Demokrasi harus menunggu sampai ekonomi stabil. Rakyat harus berkorban demi ketertiban dan kemajuan nasional.” Pinochet menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal yang menyebabkan ketimpangan sosial. Pinochet juga melakukan represi politik brutal, termasuk penghilangan ribuan orang. Mengorbankan kebebasan dan hak asasi demi “stabilitas’, meski pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan sebagaimana yang dijanjikan juga tak kunjung terwujud, bahkan makin terdegradasi akibat privatisasi. Publik internasional dan kelompok HAM mengutuk ucapan ini sebagai pembenaran untuk kediktatoran.

Pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping, dalam memperkenalkan reformasi ekonomi pasar pada 1980-an, pernah berkata, “Beberapa orang harus kaya dulu, dan yang lain harus rela miskin untuk sementara demi kemajuan bangsa.” Ucapan ini menjadi slogan untuk reformasi ekonomi Tiongkok yang membuka pasar, tetapi juga menyebabkan ketimpangan besar antara kota dan desa. Pernyataan ini dianggap keterlaluan karena mengabaikan penderitaan jutaan petani dan buruh yang terpinggirkan, sementara elit perkotaan menikmati hasil reformasi. Deng dianggap tidak peka terhadap ketimpangan. Akibatnya, di era Deng terjadi demonstrasi besar-besaran yang dipelopori mahasiswa dan berujung terjadinya Tragedi Tiananmen.

Diktator Uganda Idi Amin (1971–1979) dikutuk rakyatnya karena berkata, “Rakyat Uganda harus bersyukur dengan apa yang ada. Kemerdekaan dan ketertiban lebih penting daripada keluhan tentang ekonomi.”

Kediktatoran brutal Idi Amin menyebabkan kolaps ekonomi, pengusiran etnis India, dan pembantaian massal. Rakyat Uganda menghadapi kelaparan, minimnya layanan kesehatan, represi, tetapi Amin menuntut mereka untuk “bersyukur” demi narasi kemerdekaan, meski rakyat hidup dalam kemiskinan ekstrem dan teror, tanpa pelayanan publik. Idi Amin sendiri akhirnya digulingkan pada 1979.

Puncaknya resistensi massa terjadi pada Nicolae Ceaușescu, diktator Rumania (1965–1989). Seperti umumnya diktator, kebijakannya represif disertai kultus kepribadian yang ekstrem. Kemiskinan massal terjadi. Salah satu ucapan fenomenalnya yang memancing kemarahan rakyat terjadi pada pidato terakhirnya pada 21 Desember 1989 di Bukares. Dalam pidato di depan puluhan ribu orang di Bukares, Ceaușescu mengumumkan, “Kami sedang memasuki fase superior pembangunan sosialisme, dan rakyat Rumania harus bersatu untuk mempertahankan kemajuan ini melawan gangguan eksternal.”

Ceausescu menyalahkan “elemen asing” atas protes yang terjadi, menolak mengakui ketidakpuasan rakyat, dan menyerukan “disiplin” untuk melanjutkan pembangunan. Ucapan Ceaușescu yang menyalahkan “elemen asing” dianggap rakyat sebagai penolakan Ceausescu mengakui kegagalan kebijakannya dan menjadi katalis bagi Revolusi Rumania. Pada akhir 1989 itu, kondisi ekonomi memang sangat parah karena kewajiban melunasi utang luar negeri sebesar US$ 10 miliar. Semua produksi pertanian dan industri diekspor, menyebabkan kelangkaan makanan, bahan bakar, dan listrik, dan hyper inflasi. Kejatuhan Ceausescu terjadi tidak sampai seminggu setelah pidato itu.

Dengan dampak yang lebih soft, blunder pernahdilakukan mantan Presiden Soeharto pada akhir tahun 1973 saat meminta “Rakyat harus tabah menghadapi kenaikan harga“. Saat itu terjadi kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok pasca-“boom minyak” 1973, yang memicu inflasi dan kesulitan ekonomi bagi rakyat kecil. Pada masa itu juga, terungkap korupsi besar-besaran di tubuh Pertamina. Ketimpangan ekonomi yang dirasakan masyarakat ini berujung pada kerusuhan Malari pada Januari 1974.

Jika ada tokoh yang gagal meraih respon positif, tidak sedikit juga tokoh dunia yang berhasil menggugah masyarakatnya dengan ajakan berkorban bagi negara, namun tetap mendapat respon positif. Diantaranya Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat awal Perang Dunia II. “We shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender,” ajak Churchill. Ajakan ke medang perang itu justru diambut masyarakat dengan patriotik. Mereka paham Inggris menghadapi ancaman invasi Nazi Jerman. Rakyat memang harus bersatu dan berkorban melawan musuh, dan Churchill sukses memompa semangat nasionalisme Inggris.

Pasca Churchill, Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee juga sukses menggugah rakyat dengan ucapannya, “We must tighten our belts and work together to rebuild Britain. The state cannot do everything; every citizen must contribute to recovery.” Masa itu Inggris menghadapi krisis ekonomipasca Perang Dunia II. Utang besar, dan kerusakan infrastruktur parah. Attlee mengajak rakyat untuk hidup prihatin, dengan menerima jatah makanan yang ketat dan berkontribusi pada pemulihan tanpa terlalu bergantung pada negara, seraya meluncurkan reformasi sosial seperti National Health Service (NHS). Hebatnya, rakyat Inggris justru melihatnya sebagai panggilan realistis untuk membangun kembali negara.

Dalam pidato setelah kemerdekaan Singapura, Perdana Menteri Lee Kuan Yew berkata, “We have no natural resources but our people. Work hard, live frugally, and together we will build a strong nation.” Di tahun 1965 itu, Singapura berpisah dengan Malaysia. Lee mengajak rakyat untuk hidup hemat, bekerja keras, dan tidak bergantung pada bantuan eksternal. Meskipun menuntut pengorbanan (upah rendah dan perumahan sederhana), rakyat merespons dengan semangat karena Lee menawarkan kebijakan konkret seperti industrialisasi, pendidikan massal, dan perumahan. Keberhasilan ekonomi Singapura pada 1970-an memperkuat kepercayaan publik, dan Lee dipandang sebagai pemimpin yang berbagi visi kemajuan. Pidato ini menjadi dasar etos kerja Singapura modern.

Serupa dengan PM Clement Atlee, pasca kekalahan Perang Dunia II, Kanselir Jerman Barat Konrad Adenauer berkata, “Germany lies in ruins, but we must rebuild with our own hands. Every citizen must contribute to restore our nation’s dignity.” Ajakan hidup prihatin dan bekerja keras membangun kembali ekonomi tanpa terlalu bergantung pada bantuan asing, sambil meluncurkan program Wirtschaftswunder (keajaiban ekonomi).

Ucapan-ucapan para tokoh ini mendapat antusiasme masyarakat serta respon positif karena negara mereka kala itu mengalami krisis nyata dan bukan disebabkan oleh kegagalan pemerintah. Ajakan untuk hidup prihatin menjadi wajar. Di sisi lain, ucapan-ucapan yang mendapat respon negatif kerap menjadi blunder ketikaa diucapkan di tengah ketimpangan perekonomian ataupun maraknya kasus korupsi.

Masyarakat akan merespon positif bila ucapan para tokoh tersebut juga didukung dengan tindakan konkret. Visi misi yang jelas dan realistis. New Deal-Roosevelt, National Health Service-Attlee, swadeshi-Gandhi, industrialisasi-Lee Kuan Yew, dan wirtschaftswunder-Adenauer, bisa menjadi contohnya. Rakyat akan merasa pengorbanan mereka menghasilkan kemajuan, layak diapresiasi. Tidak ada perasaan diremehkan.

Kredibilitas para tokoh juga menjadi faktor kunci. Ucapan yang direspon positif biasanya berasal dari tokoh yang dikenal berempati besar dengan rakyat. Gandhi hidup sederhana, Lee Kuan Yew menjalani gaya hidup hemat. Mereka semua bukan pejabat terputus dari realitas di sekitarnya. Faktor lain yang menentukan adalah adanya tujuan bersama seperti pemulihan ekonomi pasca perang dan kemerdekaan.

Kalimat-kalimat ajakan berkorban bagi negara dengan tujuan rekonsiliasi juga cenderung mendapat respons positif. Presiden Afrikan Selatan, Nelson Mandela bisa menjadi contoh. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, Mandela berkata, “Let us build a new South Africa together, where all South Africans, black and white, will be able to walk tall, without any fear in their hearts, assured of their inalienable right to human dignity—a rainbow nation at peace with itself and the world.”

Diucapkan pasca-apartheid, di tengah ketegangan rasial yang masih tinggi dan tantangan ekonomi, Mandela mengajak rakyat untuk berkorban demi rekonsiliasi nasional. Meninggalkan dendam masa lalu, dan membangun negara yang inklusif. Meskipun menuntut pengorbanan besar (memaafkan pelaku apartheid) dan bekerja bersama di tengah kemiskinan, rakyat merespons positif karena Mandela menunjukkan komitmen melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta kebijakan inklusif. Dipenjara selama 27 tahun, menjadi bukti bahwa adalah seorang pejuang. Pidato Mandela menjadi tonggak sejarah persatuan di Afrika Selatan.

Sangat wajar pula jika ucapan para pejabat negara mendapat respon negatif jika di negerinya terjadi hal-hal seperti pemerintah yang berencana meningkatkan pajak dengan agresif, tetapi layanan publik buruk, jaminan sosial minim, bantuan sosial dipolitisasi, korupsi merajalela, dan sumber daya alam (SDA) dieksploitasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Permintaan agar warga tidak menuntut terlalu banyak pada negara berpotensi memperparah krisis kepercayaan publik.

Secara umum, rakyat tidak menyukai tuntutan pengorbanan berlebihan. Thatcher, Pinochet, Marcos, Deng, dan Idi Amin menuntut rakyat untuk menerima kesulitan ekonomi atau kehilangan kebebasan, demi “kemajuan” atau “stabilitas” yang faktanya sering kali hanya menguntungkan elit. Ketidakpekaan terhadap kondisi rakyat juga menjadi salah satu faktor resistensi. Pernyataan seperti “rakyat harus bersyukur” (Idi Amin) atau “beberapa orang harus miskin dulu” (Deng) menunjukkan kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat. Bahwa kemiskinan mereka bukanlah imbas dari kemalasan, namun karena minimnya pekerjaan, represi, atau minimnya akses ke layanan dasar.

Kegagalan negara yang terus diabaikan ini pada akhirnya akan membawa Dampak Sosial seperti kemarahan publik, protes, pemogokan atau bahkan yang lebih menyeramkan, revolusi….

Exit mobile version