KESENJANGAN DI MATA EKONOM 40 TAHUN LALU

Akronim “sembako” berarti “sembilan bahan pokok”. Dalam pengertian kekinian, sembako biasanya merujuk pada bahan pangan yang dibagikan saat bansos atau dijual murah dalam rangka karitas. Yang paling sering tentu saja beras, minyak goreng dan gula pasir. Terkadang masih ditambah dengan mi instan.

Ternyata, lebih dari empat puluh tahun lalu, dari majalah Prisma lawas terbitan 10 November 1978 yang bertajuk “Hidup Sederhana: Siapa yang Suka”, 9 bahan pokok tidak hanya terdiri dari bahan pangan. Dalam artikel yang ditulis Masri Singarimbun, “Pola Konsumsi ke Arah Pemerataan?”, sembilan bahan pokok bukan hanya beras, gula dan minyak goreng, tetapi juga ikan asin teri, garam, minyak tanah, sabun cuci, tekstil kasar dan batik kasar. Kini minyak tanah dalam rumah tangga telah dikonversi dengan gas, sedang mi instan sepertinya menggantikan ikan asin teri.

Perbedaan mencolok antara negara industri maju dan negara berkembang itu bukan hanya terlihat dari besarnya pendapatan per kapita, tetapi juga dari tingkat konsumsi energi yang ekivalen dengan kilogram batubara. Pada tahun 1975, jika konsumsi energi penduduk Amerika Serikat mencapai 10.000 kg, Singapura 2.151 kg, sementara Indonesia hanya 178 kg dan Bangladesh 28 kg.

Dalam artikel tersebut, Masri Singarimbun mengulas tentang perbedaan pola konsumsi. Negara maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, bertumpu pada sektor industri, sedang negara berkembang bertumpu pada pertanian subsisten, pertanian yang bertujuan sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga, nyaris tidak komersial karena tanpa surplus untuk diperdagangkan. Negara-negara berkembang ini, tulis Singarimbun, terjebak dalam masalah kemiskinan dan kurang gizi.

Dalam artikel “Mau ke Mana Kita dengan Pembangunan Ekonomi ini?” yang ditulis Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, juga dalam majalah Prisma yang sama, ternyata Indonesia masuk dalam 34 negara Dunia Ketiga dengan pendapatan rendah. Pada tahun 1976, pendapatan per kapita Indonesia hanya sebasar US$ 240. Ironisnya, negara-negara ASEAN lain berada di kelompok negara berpendapatan menengah. Di tahun 1976 itu, pendapatan per kapita Thailand US$ 380, Filipina US$ 410, Malaysia US$ 860, sedang Singapura dengan pendapatan per kapita US$ 2.700 berada di ambang pintu kelompok “negara industri”.

Baik Masri Singarimbun maupun Dorodjatun kemudian membahas tentang kesenjangan pendapatan yang menganga lebar pada masyarakat Indonesia. Jurang pendapatan ini bukan hanya terjadi antara negara industri dan negara berkembang, tetapi juga di antara golongan-golongan masyarakat dalam satu negara miskin.

Pemerintah sendiri, pada masa itu mengakui jurang pendapatan resmi yang terjadi. Kelipatan antara gaji pegawai terendah dan pejabat tertinggi bisa berkali-kali lipat. Gaji pegawai negeri terendah (golongan IA masa dinas 0 tahun) sebesar Rp 12.000 sebulan, sementara Golongan IVE mencapai Rp 120.000, sebulan, ditambah tunjangan fungsional Rp 100.000, dan aneka fasilitas lain seperti rumah dan mobil dinas. Secara resmi gaji terendah dan tertinggi bisa 1 berbanding 30. Yang menyedihkan, gaji pegawai terendah itu masih di atas upah buruh dan buruh tani. Sementara di negara-negara maju, selisih pendapatan antara kelompok kaya dan miskin jauh lebih kecil.

Kesenjangan pendapatan ini tentu saja mengimbas pada pola konsumsi yang sangat berbeda bagai bumi dan langit. Survey Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1970 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pengeluaran masyarakat digunakan untuk makanan. Di tahun 1976 terjadi sedikit perbaikan dengan penurunan sebesar 1 persen. Sementara di negara maju, prosentase-nya tidak sampai 50 persen, bahkan masyarakat Amerika Serikat hanya 34 persen menggunakan pendapatannya untuk makanan.

Kemiskinan juga ditandai dengan harapan hidup yang lebih pendek. Keluarga miskin masa itu memakan nasi pada saat pendapatan cukup baik, lalu beralih ke makanan campuran seperti gaplek saat keadaan memburuk. Masalah kekurangan gizi membuat masyarakat miskin ini, menurut Singarimbun, berada dalam status tidak sehat tetapi tidak sakit. Dari seribu bayi yang lahir pada keluarga miskin, 150 bayi meninggal sebelum berumur 1 tahun, dan lebih dari seperlimanya meninggal sebelum usia lima tahun. Pada kelompok masyarakat yang lebih mampu kematian bayi sebelum usia satu tahun hanya 60 orang, dan hanya 75 orang sebelum usia lima tahun.

Perubahan pola konsumsi golongan berada sendiri, menurut Singarimbun, telah berubah sekali dibanding “pada zaman sulit tahun enampuluhan”, dimana tidak mudah untuk mendapatkan sabun Sunlight, margarin Palmboom. Sementara di tahun tujuhpuluhan sudah tersedia “corn flakes”, “potato chips”, “glass cleaner”, dan pembalut wanita. Semua ini tak lepas dari massive-nya iklan media massa termasuk RRI dan TVRI. Pola konsumsi tersebut mengingatkan kita pada pendapat John Kenneth Galbraith bahwa “yang menjadi raja bukan lagi konsumen”. Telah terjadi pembalikan urutan (the revised sequence) dimana produsen raksasa melalui mekanisme periklanan yang mutakhir merupakan penentu selera konsumen.

Pemasaran gaya baru itu juga mempromosikan nilai baru tentang ke-“afkiran” (obsolence). Orang dikatakan modern bila mengikuti mode. Sampai di sini, kita perlu membayangkan apa kata John Kenneth Galbraith tentang fenomena pembentukan opini yang makin masif berkat adanya sosial media di masa kini.

Dalam penutup tulisan itu, Masri Singarimbun tidak melihat upaya khusus pemerintah untuk mengatasi jurang kesenjangan yang menyolok itu, dan belum melihat kecenderungan jurang makin mengecil, bahkan justru makin melebar karena mendapat pengakuan dalam masyarakat kita. Diam-diam, masyarakat menerima jurang konsumsi dan gaya hidup yang makin melebar tersebut sebagai sesuatu yang wajar, walaupun di pihak lain didengung-dengungkan pemerataan dan pola hidup sederhana.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sendiri mengutip Bank Dunia, bahwa masalah penduduk pada kelompok pendapatan rendah dan menengah merupakan salah satu penghambat pertumbuhan yang lebih cepat yang akhirnya menyebabkan dualisme ekonomi desa dan kota yang makin membuat jurang menganga. Meskipun banyak negara berkembang telah berhasil membangun perekonomiannya, 52 persen penduduk negara-negara Dunia Ketiga masih dalam kondisi miskin absolut di tahun 1975. Kelompok yang menjadi korban ketimpangan maupun ketidakadilan.

Yang menarik, menurut Dorodjatun, setelah sekian lama usaha pembangunan dilakukan negara-negara Dunia Ketiga itu, termasuk juga dengan bantuan internasional yang tidak sedikit, jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin tetap lebar. Indikasinya terlihat dari kota-kota metropolitan di Dunia Ketiga yang makin menyamai pola hidup negara industri. Semua ini bermunculan tepat di muka masyarakat pedesaan, yang prospek perbaikan hidupnya justru makin melambat.

Apa yang terjadi itu, secara sadar atau tidak, adalah elite penguasa di kebanyakan negara Dunia Ketiga hanya mengutamakan percepatan pertumbuhan pendapatan nasional, dengan modernisasi dan industrialisasi, tanpa memperbaiki pola distribusi pendapatan. Hanya berfokus pada pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan. Akibatnya, sejak dari perencanaan hingga pelaksanaannya, dari tingkat pusat hingga ke desa-desa, dilakukan peniruan pola pertumbuhan ekonomi seperti yang dulu dialami masyarakat Barat dengan industrialisasinya.

Muncul pula berbagai “pemerintah kuat” mulai dari Diktator hingga pemerintahan militer yang bersemboyan “mempercepat pembangunan ekonomi” atau “modernisasi”. Kemudian pemerintahan-pemerintahan itu akan mengaku-aku “mencari jalan sendiri, yang sesuai dengan kepribadian sendiri”. Ini hanya retorika politik. Dalam prakteknya, yang terjadi sesungguhnya adalah “mempercepat pembangunan”. Sejak Meiji, Kemal Attaturk, Nasser, hingga versi-versi baru sekarang ini…..

Demikian tulis Dorodjatun, DI TAHUN 1978….!!!!!

Lebih lanjut dalam artikel itu ditulis, penguasa kuat versi baru ini mengutamakan indutrialisasi bukan untuk kepentingan nasional tetapi untuk memperkuat kedudukan monopolinya, dan pada gilirannya, memperlama umur rezimnya. Penguasa ini juga memprakarsai perencanaan dan kebijakan yang berorientasi ke kota, tetapi bukan dalam rangka menciptakan basis bagi industrialisasi dan modernisasi nasional, melainkan untuk memperkuat kedudukan politiknya dengan menguras potensi ekonomi penduduk pedesaan di sekitarnya. Hasilnya, negara-negara tersebut tidak mampu mempercepat pertumbuhan ekonominya, dan bersamaan dengan itu ketidakadilan nasional makin memburuk.

Modernisasi dan industrialisasi juga membawa pola kehidupan baru, pola konsumsi kota. Secara materi, pola ini jauh lebih besar tingkat konsumsinya dibanding pola kehidupan tradisional ehingga akhirnya diberi status tinggi di masyarakat yang budayanya sangat sadar status, budaya feodalisme.

Di Dunia Ketiga, inilah awal pola hidup berbiaya tinggi. Hanya golongan kaya saja yang bisa menikmatinya. Pasar menjadi terbatas. Skala produksi mengecil, biaya produksi naik dan harga jual makin mahal. Penyerapan tenaga kerja makin sedikit. Akibatnya banyak biaya nasional yang terpaksa dikeluarkan negara untuk menopang industrialisasi ini. Sektor-sektor lain di luar industri, pertanian misalnya, kurang diperhatikan. Pembangunan desa kurang diperhatikan dibandingkan kota. Pengangguran di pedesaan muncul sebagai akibat kemerosotan pertanian. Lingkaran setan.

Makin kuat industrialisasi, makin kuat dualisme antara desa dan kota. Secara berbarengan, bila negara tersebut kaya akan sumber daya alam yang bisa diekspor, seperti minyak bumi, mineral dan kayu, akan terlihat betapa pemanfaatan sumber daya alam itu lebih untuk menjaga tingkat konsumsi tersebut daripada menambah modal. Seperti di Amerika Latin, industrialisasi tidak beranjak ke tingkat yang lebih matang sementara urbanisasi terus berjalan dan sumber daya alam menipis. Penduduk kota yang meledak karena urbanisasi butuh impor bahan pangan karena sektor pertanian tak mampu lagi memenuhinya. Sementara industri yang dibangun sebagai substitusi impor, seringkali terjebak ketergantungan pada impor bahan baku. Lagi-lagi lingkaran setan! Kondisi ini dikatakan Dorodjatun sebagai perekonomian patologis.

Pembagunan yang berorientasi pada peningkatan pembangunan nasional semata ternyata gagal. Menghasilkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar, dan seringkali menyebabkan penguasa tidak mau mengakui jurang ekonomi di dalam negerinya ternyata lebih besar dari jurang internasional antara negara kaya dan miskin. Menyalahkan biang keladinya dari faktor luar negeri, sementara itu, lembaga-lembaga internasional yang akan membantu mulai memprioritaskan bantuan untuk perbaikan nasib rakyat yang hidup dalam kemiskinan absolut. Muncullah semacam trend di antara penguasa-penguasa Dunia Ketiga itu untuk berbicara tentang pemerataan pembangunan. Lagi-lagi ini hanya retorika politik.

Apakah nanti kredit yang diterima benar-benar disalurkan untuk pengentasan kemiskinan absolut…? Itu bisa diatur. Tulis Dorodjatun, “Kemunafikan seperti ini sudah sering kita lihat. Misalnya menyatakan sistem demokrasi yang dianutnya demokrasi, meskipun faktanya kehidupan demokrasi diinjak-injak.Bahwa hak-hak asasi manusia diakui, meskipun dalam kenyataannya tidak, dan sebagainya…”

Pada akhirnya, perbaikan jurang pendapatan nasional hanya mungkin bila strategi pembangunan mengutamakan “kebutuhan pokok” (basic needs) rakyat. Mulai dari kebutuhan pangan-sandang-perumahan dan alat-alat sederhana penunjang produksi, dibukanya kesempatan luas untuk memperoleh jasa publik seperti kesehatan, pendidikan, air minum, pemukiman dengan infrastruktur yang layak, serta pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan serta pengawasan proyek. Bila strategi ini digunakan, prioritas sumber ekonomi yang ada maupun bantuan-bantuan akan tertuju untuk membangun pedesaan dan pertanian. Prioritas kota dan sektor industri diturunkan, dan yang lebih penting, pola konsumsi dikekang.

Apa yang ditulis lebih empat puluh tahun lalu itu rasanya masih aktual untuk saat ini. Masalah-masalah yang terjadi masih sama, hipokrit serupa pun masih ada.

Exit mobile version