Moderator: Pertanyaan yang perlu dijawab. Semua mengatakan pertaruhan bangsa. Tolok ukurnya apa menurut anda?
Teddy: Visi misi semua pasangan jelas. Bisa kita lihat di Google. Tetapi di luar itu, ada isu masa lalu yang masih perlu diangkat. Kenapa tidak diungkap? Minimal seperti kata Presiden kita yang mau habis 2 periodenya dulu, kasus Pelanggaran HAM akan diselesaikan. Pengadilan HAM tidak terjadi. Makanya efeknya berlarut-larut. Jangan salahkan masyarakat bila mengungkit terus hal itu. Biar tidak mengambang.
Moderator: Ketika Mega dan Prabowo telah menjadi capres dan cawapres, berarti konsensus itu sepertinya sudah selesai. Karena berarti Partai sebesar PDIP sudah memafkan dosa sejarah
Teddy: Ibu Megawati saat itu merasa kasihan pada PS yang di luar negeri dengan status kewarganegaraannya tidak jelas. Akhirnya dipanggil pulang ke Indonesia. Menjadi warganegara Indonesia lagi. Difasilitasi dan dibantu dan diberikan ijin usaha.
Ajiyono: Asyiknya kita berdiskusi ini. Mas Teddy menyoroti dalam kacamata kepartaian, sedang saya relawan dengan sudut pandang yang berbeda.
Bila kita lihat visi misi calon. Tidak ada yang bicara jelek. Namun saya punya sisi yang berbada memandang Ganjar. Secara kelengkapan Ganjar hanya belum di Yudikatif saja. Tapi sudah ditutupi Mahfud.
Rocky Gerung yang sering kontroversial itu, pandangan filsafatnya bagus. Dia selalu mengatakan negara kita sering irasional dan emosional. Ini terlihat dalam partai. Partai Golkar, misalnya. Airlangga nemplok PS, pengen jadi wakil. Eh sekarang malah nemplok cah dek wingi sore. Begitu pula Demokrat, anakku ra dadi wakil. Pindah. Eh ya nggak tetap jadi wakil.
Saya kira penting bagi kita melihat rasionalitas dan rekam jejak dari satu kejadian ke kejadian lain.
Ririn Suhanti, Mahasiswa asal Pucangan Kartasura:
Di sini saya tidak berpendapat. Hanya ingin bertanya.Kriteria pemimpin Indonesia, Prsiden itu idealnya seperti apa. Yang membuat Indonesia maju itu yang seperti apa.
Ajiyono: Mahasiwa hatusnya punya kriteria seperti apa
Ririn: Saya belum tahu
Pandapotan Rambe: Kalo dari saya sebagai dosen, cuma punya satu kriteria “PUNYA ETIKA DAN BERADAB…”. Itu saja
Ajiyono: Kira-kira yang punya etika siapa
Edward Flavianus, PMKRI: Saya melihat di sini bukan fanatisme dan rasional.. tapi perebutan untuk menang semata.Saya berusaha obyektif melihat track record Capres dan Cawapres yang sudah ditetapkan. Saya memilah begitu banyak informasi. Dan saya tidak terlalu paham era sebelum 1998.
Prabowo jelas bermasalah dengan reformasi 98. Gibran pengalaman dari segi organisasi dan kaderisasi sangat minim. Masa langsung jadi wapres dari jalur mahkamah keluarga. Saya bicara di sini tentang etika politik. Kalau seperti ini etika politik kita, gimana masa depan pemuda kita. Bisa jadi aturan diganti, yang bisa jadi presiden nanti yang berumur 40 tahun atau yang pernah menjual pisang. Belum lag politik dinasti..
Kalau Anies selalu terikat politik identitas. Pak Muhaimin, saya kurang tahu. Tapi saya kurang simpatik melihat hubungannya dengan Gus Dur. Pak Ganjar punya kasus Wadas dan Kendeng. Tapi saya lihat ada peningkatan. Bisa kerja. Pak Mahfud saya nyaris tidak melihat sisi negatifnya. Justru beliaulah sebenarnya calon yang paling sempurna.
Harapan saya ketiga pasangan calon ini memberikan pendidikan politik yang bagus juga etika politik. Jangan lompat sana sini. Ini saya yang ingin saya sampaikan.
Moderator: Mari kita lihat pandangan para Caleg
Sugeng Santosa, Caleg Perindo Dapil I Serengan: Dari ilmu fingering analysis yang saya pelajari. Otak kita yang paling dominan kita gunakan dalam mengambil keputusan, tergambar di sidik jari. Tahun 2000 saya pernah meriset Solo. Di sini umumnya yang dominan adalah sistem limbic. Emosi yang dominan. Ada lagi tipe Portex dominan logika. Rasionalitas masuk di sini. Tipe lain tipe instuisi. Ini sangat sedikit. Fanatisme masuk di sini. Melihat data ini berarti banyak masyarakat kita tipe emosional.
Sonny ST, Caleg PSI DPR Kota Solo: Kami secara pribadi meyakini fanatisme memang mengalahkan rasionalitas kita. Logika dikalahkan. Terutama tiap 5 tahun. Tiga pasangan yg terpilih saat ini adalah putra-putri terbaik Indonesia.
PSI mendukung anak muda maju. Karena memang ada perbedaan semangat dan pola pikir anak muda dibanding kaum yang lebih tua. Kaum muda lebih cepat mengeksekusi. Saat ini orang pintar banyak, tetapi yang diperlukan bukan cuma pemikiran tapi pengambilan tindakan. Jadi tidak peragu.
PSI telah menetapkan untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran, walaupun sebelumnya PSI sempat mendukung Ganjar Pranowo agar berpasangan dengan Yenni Wahid. PSI memang partai yang kerap membuat keonaran. Nyentrik. Karena bagi PSI, apa yang kita cita-citakan di Indonesia 2045 itu harus tercapai. Patokannya ditetapkan di tahun 2024 ini. Kita harus memilih pemimpin yang punya hati dan semangat memimpin.
Saya pribadi melihat para capres ini adalahnya wayang. Dalangnya adalah Pak Jokowi, Ibu Megawati dan Pak Surya Paloh. Bagaimana mesin politik bergerak, sangat tergantung partai partai yang ada di belakangnya. Kami di PSI ikut Pak Jokowi, terlepas tindakan-tindakan miring yang dicapkan Jokowi. Semua cita-cita Indonesia rasanya hanya Pak Jokowi yang berani eksekusi. Contohnya IKN. Pertimbangannya karena memperbaiki Jakarta lebih sulit dan mahal daripada membangun ibukota baru.
Kami di PSI melihat Pak Jokowi sebagai patokan kami. Dan Gibran adalah representasi Pak Jokowi yang paling kuat. Walaupun mungkin ada isu dinasti politik. Tapi di banyak negara ada dinasti politik ada. Memang ada anak-anak yang terlahir punya darah politik. Terlepas itu memang rakyat yang memilih.
Moderator: PSI mendukung anak muda. Apa pendapat anda tentang menjadi anggota partai dalam 2 hari bisa jadi Ketua Umum?
Sonny: Teman-teman melihat dari luar. Kami di internal sudah berbulan-bulan bergabung dan berinteraksi dengan Kaesang. Termasuk juga terus menerus berkomunikasi dengan Pak Jokowi. Kami melihat bukan dari sisi 2 harinya, tetapi kualitasnya. Jangankan dua hari. Bila dia berkualitas, saat itu juga kami pilih. Kaesang memang berpotensi.
Bonnie: Tolong dirayu saya. Saya tertarik PSI. Tapi begini, di benak saya yang orang bodoh ini, PSI tempat saya menitipkan ideologi. Di PSI itu ada “Jokowiisme”. Misalnya ternyata yang menang Pak Ganjar. Dan ternyata banyak pelanggaran dari Pak Jokowi, mungkinkah PSI akan mengganti ideologi?
Jika kemudian ditemukan beberapa Kepres yang melanggar konstitusi, bisakah “Jokowiisme” diganti?
Sonny: Dua DNA PSI adalah prinsip anti korupsi dan anti intoleransi. Hingga hari ini meski belum punya wakil di partlemen, tidak ada kader kami yang terkena kedua kasus itu.
Bagaimana nanti yang terjadi dengan Pak Jokowi itu baru pengandaian, dan belum terjadi. Seandainya Pak Jokowi melanggar hukum dan terbukti, kami akan menggantinya. Kita tidak boleh membela orang yang salah.
Namun bagi saya pribadi bila suatu ketika Pak Jokowi terlihat melanggar hukum, saya yakin itu bukan untuk pribadi tapi untuk negara Indonesia. Keberanian Pak Jokowi terpaksa menabrak kebijakan-kebijakan tersebut. Bukan untuk memperkaya diri atau kelompok.
Saya melihat infrastruktur yang dibangun Pak Jokowi luar biasa.
Ajiyono: Apakah di PSI ada AD/ART tentang cara pemilihan Ketua Umum?
Sonny: AD/ART pemilihan Ketum ada. Dan dua hari menjadi anggota kemudian terpilih menjadi Ketum dimungkinkan. Rangkaian pemilihan Kaesang sebenarnya sudah berbulan-bulan sebelumnya dan di-KOMANDO langsung Pak Jokowi.
Zaga: Saya merasa heran karena PSI saja tidak masalah. Kenapa di luar itu ribut untuk urusan internal mereka. Saat itu memang muncul Kaesang Effect. Justru harapan bagi kalangan muda. Mereka yang tidak suka hal-hal yang bertele-tele. Dalam kacamata kalangan muda, kami kurang suka partai yang bertahun-tahun ketuanya sama. Artinya kaderisasi tidak muncul.
Cosmas Gunardjo, Aktivis Mafindo: Menyoroti fanatisme dan rasionalisme. Relawan selama ini terlalu fokus pada capres dan cawapres sampai kadang melupakan masyarakat awam dan terpelajar yang belum tahu besok mau coblos apa. Jangan sampai pendukung yang fanatik lupa akan tugas kita mensosialisasikan pada masyarakat. Jangan sampai kita bertengkar di medsos atau di dunia nyata. Tetapi lupa memberi sosialisasi pada masyarakat.
Semoga ini menghapus segala cebong, kampret, kadrun. Karena seekarang kita sudah sekolam semua.
Moderator: Mas Sonny mengatakan ada 3 king maker. Jokowi, Megawati dan Surya Paloh. Tentang publik sewot masalah internal partai itu wajar. Sepanjang sewot yang tidak kelewat batas. Bisakah ketiga King Maker itu berembug. Pemilu selesai… tapi mungkin pendukungnya nanti yang gelut. Bila ada konflik, biar elite saja yang bertempur.
Pertanyaannya bila capres itu hanya wayang, terus apakah rakyat masih bisa memegang mereka semua?
Sonny: Memang mohon maaf, kita yang di bawah yang suka ramai. Padahal di atas, ketika bertemu mereka bertemu dan rukun. Kefanatikan kita mengalahkan rasionalitas kita. Kalau kita cari, setiap calon punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kami di PSI tidak akan menjelek-jelekkan calon lainnya. Soekarno memimpin PNI di usia 26 tahun. Semakin partai kami diexpose kami semakin senang.
Cak Su, Aktivis 96: Kita jangan melupakan sejarah. Apalagi sejarah kelam. Esensinya, ketika memilih pemimpin kita tidak hanya melihat sejarahnya, tetapi kita wajib memfilter. Harus berpegang pada etika, kultur dan Konstitusi. Saya tidak membicarakan siapa melanggar Konstitusi, toh MK saja belum mampu.
Kita harus bersatu. Tetapi memilih pemimpin menggunakan rasio. Integritas harus nomor satu. Setelah itu baru kita melihat kompetensi dan kapasitasnya. Memilih pemimpin juga harus melihat sejarahnya. Karena sejarah itu diperjuangkan dengan berdarah-darah. Kita harus menghargai itu.
Wenny, Ganjarist:Kami tidak mempermasalahkan menjadi ketua dalam sehari atau sejam. Yang harus dipikirkan adalah, ada apa di belakangnya. Campur tangan siapa? Siapa yang cawe-cawe? Apakah itu pantas?
Kami kemudian akan melihat prosesnya. Selanjutnya, untuk siapa pemimpin itu? Apakah benar-benar untuk masyarakat? Jangan-jangan hanya untuk kelompok tertentu atau keluarga
Moderator: Dalam demokrasi kritik itu biasa. Tidak ada seorang pun atau lembaga negara yang bebas dari kontrol. Bila lepas dari kontrol berarti ada pembusukan di situ.
Kami di Forum Diskusi Pasar Gede menjadi melting pot bagi uneg-uneg tentang demokrasi tersebut.