CINTA tanah air tidak hanya dimiliki mereka yang lahir di Indonesia. Tanah air bukan pula hanya milik mereka yang bernenek moyang asli Indonesia. Bukan bawaan, bukan pula warisan. Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan, ada baiknya kita sedikit merenung tentang arti nasionalisme Indonesia. Di tengah ancaman disintegritas bangsa, kisah-kisah warga Belanda yang kemudian dengan kesadaran penuh memilih menjadi warganegara Indonesia dan berjuang untuk Indonesia ini sungguh menggugah dan mengharukan.
Pada tanggal 6 Desember 1946, dengan menumpangi Kapal Weltevreden, Dolly Zegerius bertolak dari Pelabuhan Rotterdam menuju negeri barunya Indonesia. Kapal Wetvreden tak hanya mengangkut tentara Belanda, tetapi juga lebih dari 200 mantan mahasiswa Indonesia serta warga Belanda yang memutuskan untuk memihak Indonesia, negeri yang baru berumur setahun.
Bersama Dolly, juga berangkat sabahat-sahabatnya, tiga perempuan dari keluarga Kobus: Betsy, Annie dan Miny serta ibu mereka, Mien. Dolly tak pernah bisa melupakan momen keberangkatan itu, bahkan setelah 70 tahun kemudian. Ketika ditanya apa yang membuatnya memutuskan berpihak kepada Indonesia, Dolly menjawab, “Karena yakin bahwa Indonesia benar. Kita pengalaman dijajah sama Jerman beberapa tahun, bisa merasakan dijajah sama orang asing ya toh?”
Dolly Zegerius menikahi Raden Mas Soetarjo Soerjosoemarno, seorang pria dari keluarga Mangkunegaran Solo yang tengah menempuh studi topografi di Delft, Belanda. Dolly mengenal tiga gadis Kobus bersaudara karena mereka juga menikahi pria-pria Indonesia. Keluarga Kobus berhaluan sosialis, dan sejak awal dikenal mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Mien Kobus, ibu ketiga perempuan itu, aktif dalam gerakan bawah tanah melawan penjajahan Jerman di Belanda.
Persahabatan yang berawal dari keberanian menjadikan Indonesia sebagai tanah air baru mereka berlanjut hingga berpuluh tahun kemudian.
Kapal Wltevreden membawa 57 perempuan Belanda yang menikah dengan pria Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, puluhan perempuan Belanda itu melihat Indonesia. Dolly mengaku langsung merasa begitu akrab.”Bayangan saya waktu pertama di Indonesia, kok kayak dejavu? Seperti sudah pernah lihat.” kenangnya.
Sesampai di Jakarta, semua penumpang naik kereta ke Yogyakarta. Saat itu, Jakarta berada dalam kekuasaan Belanda. Perjalanan kereta itu dikawal pasukan militer Belanda sampai ke garis demarkasi yang terletak di Kranji, Bekasi. Di stasiun Kranji, seorang serdadu Belanda melihat Dolly dan Kobus bersaudara. “Dia melihat kami dan berkata, ‘Ke sana?’ Lalu dia menyilangkan jari di dahi. Dia pikir kami orang gila karena rombongan Belanda lain justru menuju Jakarta” papar Dolly.
Di sepanjang perjalanan, mereka berseru kepada penduduk di sepanjang perjalanan kereta: “Merdeka! Merdeka!” Di Yogyakarta, mereka disambut Presiden Soekarno. Mien Kobus ‘menyerahkan’ ketiga anak perempuannya kepada Indonesia, sebagai dukungan kepada republik baru. Soekarno menepuk bahu Mien seraya berkata, “Jangan khawatir, ibu. Kami akan menjaga mereka.”
Mereka dibutuhkan di Jember, Jawa Timur karena Palang Merah Indonesia mendirikan sejumlah tempat penampungan bagi warga Surabaya yang mengungsi. Miny dan Annie kemudian bekerja untuk PMI dan aktif ikut perjuangan saat clash dengan Belanda. Sedang Dolly menetap bersama suaminya di Solo, sebelum akhirnya mereka semua pindah ke Malang.
Pada 21 Juli 1947, lima hari sejak agresi militer pertama dimulai, para serdadu KNIL telah merangsek ke Kota Malang. Selama beberapa hari Dolly, Annie, dan Miny mendengar ledakan dan suara tembakan. Baru pada suatu pagi, awal Agustus 1947, bunyi-bunyi yang memekakkan telinga itu tiba-tiba berhenti. Tiga serdadu KNIL datang menenteng senapan ke depan pintu rumah mereka. Dalam bahasa Belanda, Dolly, Annie, dan Miny memperkenalkan diri dan menyebutkan bahwa suami-suami mereka adalah orang Indonesia.
“Saya ingat mereka omong, ‘Apa kamu tidak bisa dapat laki-laki Belanda, sampai harus menikah dengan orang Indonesia?’,” kenang Dolly.
Kota Malang porak poranda, gedung dan rumah hancur, saluran air rusak karena diledakkan, dan tiang-tiang listrik roboh, mengakibatkan putusnya pasokan air dan listrik. Dolly dan sahabatnya mencukupi kebutuhan air dengan mengambil dari sungai yang jauh.
Tatkala rumah-rumah milik keluarga Belanda sudah mendapat lagi pasokan listrik dan air, lampu di rumah keluarga Kobus dan Dolly masih belum menyala, dan air belum mengalir. Dolly dan Miny lalu menghadap bupati, yang berpihak pada Belanda.
“Bupati tanya kenapa kami datang. Kita bilang minta listrik. Dia lalu berkata ‘Oh ya? Minta sama Soekarno saja!’ Gila, malah dimusuhi sama orang Indonesia sendiri,” kata Dolly, menggelengkan kepala saat mengenang kejadian itu.
Gert Oostindie selaku Direktur Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) mencatat jumlah korban jiwa militer Belanda di Indonesia pada periode 1945-1950 mencapai 4.751 orang. Jumlah korban di pihak Indonesia diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.
Oostindie yang juga mengepalai program riset bertajuk Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950, mewawancarai sejumlah mantan serdadu yang dimobilisasi ke Indonesia pada periode itu.
Banyak dari veteran serdadu Belanda yang diwawancarai merasa bahwa Belanda seharusnya tidak bertempur dalam peperangan itu karena rakyat Indonesia berhak menentukan masa depan mereka sendiri.
Di Indonesia, kehidupan tak selalu memihak mereka pula. Peristiwa 30 September 1965 mengubah segalanya. Karier Sardjono, suami Miny, sebagai direktur pabrik gula di Sragen, Jawa Tengah, dan kemudian jadi penasihat menteri industri gula pada kabinet Presiden Soekarno berakhir karena dituduh terlibat kudeta 30 September.
Pada Mei 1969 Sardjono ditangkap. Pria-pria berpakaian sipil membawanya pergi, tanpa surat penahanan, tanpa mengatakan ke mana.
Pada 16 Januari 1978, Sardjono akhirnya dibebaskan bersama ribuan tahanan politik lainnya. Miny masih juga bertahan di Indonesia di masa berat itu karena ia sudah merasa Indonesia adalah tanah airnya.
Toto, putra Miny, menceritakan jiwa nasionalisme ibunya. Miny aktif di PMI, pernah ikut pekan olahraga nasional sebagai atlet bola keranjang. Miny selalu merasa menjadi bagian dari negeri ini. Selain Miny, Dolly juga menjadi atlet andalan Indonesia untuk cabang olahraga Bridge. Dolly pernah ikut PON dan SEA Games.
Di hari tuanya, Dolly tak sedikit pun jiwa nasionalismenya menurun. Indonesia telah menjadi belahan jiwanya, meski ia akui ada sedikit kegelisahan melihat perkembangan Indonesia. “Indonesia sekarang seperti ini, politis. Dulu kita semua antusias. Kalau ketemu teman, ‘Merdeka bung!’ Sekarang begitu, korupsi besar-besaran,” kata Dolly dengan wajah murung.
Tidak peduli,di mana pun kelahiran kita, apa asal nenek moyang kita, ketika kecintaan pada Indonesia ada dalam hati, kita akan menjadi anak Ibu Pertiwi. Tak peduli keturunan Arab, India, Tiongkok, Eropa, Amerika atau lainnya. Itulah pesan sederhana yang bisa ditangkap dari kisah warga keturunan Belanda yang memilih Indonesia sebagai tanah air baru.
TANAH AIR BARU INDONESIA (1): Kisah Dolly Zegerius dan Gadis-gadis Kobus
Read Also
Recommendation for You
Setelah punya rumah, apa cita-citamu?Kecil saja: ingin sampai rumahsaat senja supaya saya dan senja sempatminum…
Jelang 2024, tak hanya yang terkait Pilpres yang seru. Yang terkait Pemilu legislatif sebenarnya juga…
Politik! Kata ini gampang sekali membuat semangat seseorang membuncah, bergairah ketika membahasnya, dan akan semakin…
Pesta demokrasi pemilihan umum 2024 semakin mendekat. Nama Ganjar dan Ridwan Kamil akhir-akhir ini makin…