Ke Manakah Suara Gen Z: Hasil Diskusi Publik Forum Diskusi Pasargede

Diskusi publik digelar oleh Forum Diskusi Pasar Gedhe pada Jumat 24 Januari 2024, di Cendhono Cafe, Kota Solo dengan mengangkat tema “Ke Manakah Suara Gen Z”. Berikut notulensinya:

NOTULENSI DISKUSI 24 JANUARI 2024

FORUM DISKUSI PASAR GEDE

Tema: KE MANAKAH SUARA GEN Z?

Moderator: Guntur Wahyu Nugroho

Opening Statement

Wira (W): Preferensi politik Gen Z mungkin berbeda dengan generasi sebelumnya, karena Gen Z terbiasa digital. Bukan lagi generasi baliho, tetapi aktif membuat content di medsos. Dari situ Gen Z mengamati citra para paslon Capres:

  • 01 Kelompok intelektual
  • 02 bersahabat
  • 03 dekat dengan rakyat

Para paslon itu juga berlomba-lomba membuat program agar disukai kelompok anak muda. Ini terutama pada paslon 01 dan 01. Mereka meluncurkan

  • Desak Anies (01)
  • Komandan Fanta (02)

Sebaliknya paslon 03 tidak terlalu khusus menyasar segmen anak muda, tetap setia di jalur ‘dekat dengan wong cilik’.

Sayang semua itu bukan jaminan bila Gen Z nanti akan dilibatkan dalam tiga sendi penting penentu arah masa depan negara yaitu kebijakan, ekonomi dan budaya. Seringkali Gen Z hanya menjadi obyek politik. Para Gen Z ini kemudian mentah-mentah menelan content-content medsos hanya karena viral.

Content-content kampanye ini tidak bisa dipungkiri, awalnya memang berasal dari kreativitas. Tapi kemudian sering menjadi berlebihan sehingga membosankan. Misal paslon 01 yang terlalu mengeksploitasi kesan intelektual dari capresnya, begitu juga dengan pasangan 02 yang terlalu bermain-main dengan kesan gemoy.  Yang perlu diwaspadai juga content yang terlalu jauh dari rekam jejak para calon.

Gan Z harus menggarisbwahi gagasan apa tentang anak muda yang ditawarkan Paslon-paslon itu, mengingat tidak ada Capres yang muda. Atau sejauh apa mereka bisa merealisasikan gagasan tentang anak muda itu hingga implementasinya benar-benar seperti harapan kaum muda. Kita bisa mengambil contoh Techno Park di Solo. Gagasannya tempat ini ingin menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Pada kenyataannya, Techno Park hanya menjalankan fungsi creative hub. Itu pun hanya tempat nongkrong-nongkrong saja. Belum menjadi tempat bertemunya para wirausahawan, atau tempat terbentuknya bermacam-macam ekosistem bisnis.

Bagas (B): Gen Z dan kesehariannya yang sudah ‘born digital’ tentu saja telah mendengar banyak kisah yang memang berhamburan di content-content medsos. Dari situ terbentuk karakter utama Gen Z: tidak suka omdo, omong doang.

Kampanye-kampanye tanpa data dan tidak saintifik, tidak berbasis akademik, apalagi hanya receh dan penuh gimmick sangat tidak disukai umumnya Gen Z. Maka bila ada paslon-paslon yang gemar bermain gimmick, bisa ipastikan tidak akan meraih suara Gen Z. Meski mungkin ada kelompok-kelompok yang masih kurang literasi, sehingga rawan menjadi konsumen bagi content-content dangkal dan penuh gimmick, bahkan hoax.

Sandya (S): Gen Z umumnya memiliki sisi standar yang idealis. Karakter Gen Z umumnya hanya memilih narasi-narasi dengan argumen yang kuat. Tapi kelemahannya, Gen Z sangat suka ikut-ikutan. Mereka inilah yang rawan untuk terpengaruh pada narasi-narasi receh dan gimmick.

Ada PR berat kita terhadap Gen Z, yaitu untuk mengembalikan mereka pada politik gagasan seprti era faounding fathes  dulu. Saat itu para perintis tersebut di usia yang sama dngan Gen Z sekarang. Bagaimana kita harus kagum, bahwa ideologi yang menjadi standar kita hari ini dibentuk para founding fathers saat muda belia. Ambil contoh:

  • Kartosuwiryo dan id DI/TII nya
  • Soekarno dan nasionalisme-nya
  • Musso dan komunism-nya.

Meski masa pra kemerdekaan itu teknologi terbatas, tapi para perintis itu telah mempunyai angan-angan yang jauh melebihi zamannya. Kreativitas, inovasi yang kerap digaung-gaungkan pada kaum muda kekinian, belum mampu melakukan terobosan ide jauh melampaui zaman seperti yang dilakukan para founding fathers itu. Mengapa itu bisa terjadi, karena para founding fathers kuat dari sisi argumen… punya dasar ilmu yang kuat… wawasan yang luas. Literasinya sangat hebat.

Ini yang perlu ditiru oleh Gen Z. Tidak hanya menjadi users atau pengguna teknologi. Generasi yang deep. Tidak dangkal. Sehingga mereka tidak hanya pengguna gimmick, tetapi juga tidak mudah baper. Mengenai paslon yang banyak memproduksi gimmick, paslon 01 dan 02 cukup banyak melakukannya. Sedang paslon 03 terasa kurang menyentuh anak muda, hanya bermain di segmen akar rumput atau wong cilik.

Nurul Sutarti:  Gen Z memang seharusnya berpijak pada data. Tetapi memang perlu menjadi perhatian para kontestan Pemilu bahwa pada data 21 Juli 2023, jumlah Gen Z mencapai 20,58 persen pemilih. Sedangkan kelompok yang pada 14 Februari 2024 akan mencoblos untuk kedua kalinya, mencapai 50 persen. Gen Z ini pada umunya menyukai deep information.

M Rais Mubaroq: Mengapa hanya melihat Tiktok ataupun postingan di Instagram para Gen Z ini?

Bagas: Kita harus cermat mengamati semua posting-posting paslon ataupun pendukung dan timsesnya. Harus paham track record­-nya.

  • Mulai dari kinerja sebagai pejabat publik, maupun perjalanan karirnya sejak awal
  • Bagaimana cara mereka menanggapi atau bertindak terhadap kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena yang terjadi
  • Mencari kesamaan track record dengan janji-janji kampanye. Apabila sangat sedikit, bisa diragukan kapabilitas paslon

Wira: benar yang dikatakan Bagas, dan perlu diingat, setiap Gen Z bebas mempunyai pilihannya sendiri yang berbeda dengan pilihan orang tua maupun circle-nya. Perlu juga dikaji materi-materi kampanye… apakah substansial atau hanya gimmick.

Sandya: Perlu juga dinilai latar belakang:

  1. Siapa yang membuat content
  2. Apakah pembuatnya berintegritas dan punya kapasitas

Guntur Wahyu Nugroho: Gen A termasuk pemilik fanatik atau pemilih rasional?

Gilang: sebagai orang yang berprofesi sebagai digital marketing, saya berpegang pada suatu penelitian di tahun 2023. Dalam penelitian itu dikatakan, dalam menentukan pembelian produk atau jasa, peran Gen Z dan millenial kini cukup besar. Generasi di atasnya kerap mengandalkan advice atau bahkan memasrahkan pilihan produk dan jasa kebutuhan mereka pada Gen Z dan milenial. Mengapa demikian, karena pada kelompok Gen Z dan milennial yang telah bekerja terbukti punya kompetensi dalam mengambil keputusan dengan tepat.  

Mengenai paslon-paslon yang ada kali ini, rasanya tidak ada yang ideal. Tetapi siapa yang ada di belakang paslon itu kelihatannya akan sangat mempengaruhi kemenangan.

Angga: Perlu kita ingat agar jangan sampai suara-suara Gen Z hanya digunakan 5 tahun sekali dan sepanjang menjabat, paslon justru menghambat perkembangan Gen Z.

Didi: fenomena yang saya lihat, paslon-paslon hanya gemar melempar konten-konten yang potensial viral meski nir substansi dan dangkal. Ini jelas mengkhawatirkan bagi masa depan Gen Z bila tidak ada kesadaran untuk meningkatkan literasi mereka.

Jenis-jenis pemilih pada dasarnya adalah:

  • Tradisional
  • Emosional
  • Rasional… Gen Z seharusnya ada di jajaran pemilih rasional.

Sedihnya, justru Gen Z kerap terjebak menjadi dangkal. Menganggap Pemilu hanya sekadar memilih pemimpin yang gemoy dan gemar joged-joged. Dalam kesehariannya ini pun mengakomodasi kecenderungan Gen Z yang suka hal-hal sensasional.

Ada paradoks besar yang terjadi di kalangan Gen Z. Merekalah yang paling aktif melakukan kampanye pentingnya digitalisasi dan isu-isu lingkungan, tapi juga kelompok Gen Z pula yang paling gemar pada hal-hal sensasional. Seharusnya Gen Z digugah agar lebih berkesadaran pasa isu-isu kebangsaan dan kemajuan Indonesia.

Ridho: Gen Z secara umum telah menetapkan pilihan paslonnya. Harus dipastikan Gen  akan memilih. Jangan sampai Gen Z hanya jadi sarana memenangkan Pemilu.

Bagaimana mengukur Gan Z akan dilibatkan dalam program-program pemerintah bisa dilihat dari Visi dan Misi. Ini patut menjadi pertimbangan selain track record.

Nurul: Pejabat negara tidak boleh ber-statement yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu yang menjadi kontestan Pemilu, meski boleh berkampanye. Ini tentu kontradiksi, dan sudah pernah diusulkan revisi atas regilasi tersebut.

Closing Statement

Sandya: di antara 3 capres yang ada, pilihlah yang paling sedikit mudharat-nya. Masyarakat pun harus siap beroposisi untuk memperkuat civil society. Dalam memilih Gen Z harus berbasis data dan tidak terjebak fanatisme

Wira: pilihlah yang ide/ gagasannya mengakomodir kepentingan Gen Z. Jangan memlih karena dasar keuntungan materi, apalagi hanya karena amplop atau bansos.

Selain itu juga perlu dipilih yang memajukan ekonomi kreatif dan juga mngakomodir isu-isu lingkungan.

Bagas: Pilihlah calon yang mrepresentasikan kita sebagai Gen Z, yaitu paslonya yang:

  1. Tidak menabrak aturan
  2. Kapasitas terbaik dalam mengkamodir kepentingan Gen Z.

Guntur: diskusi ini menggembirakan karena wacana golput tidak berkembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *