AHY kembali cuap-cuap. Kali ini Mas Mayor yang pensiun dini itu menyoroti kondisi harga-harga di Indonesia yang merayap naik serta menuding Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang lupa turun tahta.
OK Mas Mayor, silahkan mengoceh, mumpung kebebasan berbicara dijamin di Indonesia. Siapa tahu juga meningkatkan elektabilitas agar bisa maju nyapres di 2024. Tapi sekadar info aja ya…. Di Amerika, walikota itu disebut Mayor. Artinya, secara kepangkatan Anda setara Walikota, mengapa tidak mencoba menjadi walikota dulu? Menyibukkan diri dengan hal-hal sederhana tapi langsung berarti bagi masyarakat seperti mengurus jalan rusak, parit jebol, rumah tidak layak huni, atau warga miskin. Lebih berarti daripada sekadar cuap-cuap yang belum didukung karya nyata bukan?
Mari kita lihat fakta-fakta soal inflasi yang mungkin Mas Mayor belum paham. Pada tahun 2014, saat Jokowi pertama kali menjabat presiden, tingkat inflasi Indonesia mencapai 8,36 persen. Tentu saja inflasi ini berasal dari era kepemimpinan SBY. Setahun setelah Jokowi menjabat, inflasi Indonesia pada 2015 tercatat turun hingga sebesar 3,36 persen.
Pengendalian inflasi sendiri menjadi salah satu capaian prestasi pemerintahan Jokowi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak era Jokowi tingkat inflasi di Indonesia selalu berada di bawah 4 persen. Menjadi bukti bahwa pemerintahan Jokowi jauh lebih berhasil mengendalikan inflasi dibanding SBY yang cenderung tinggi.
Rendahnya inflasi sepanjang pemerintahan Jokowi menjadi pertanda bahwa pola pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada pemerataan pendapatan, bukan sekadar memacu pertumbuhan ekonomi hingga dampaknya tingkat inflasi tinggi. Di era SBY, SBY berharap pertumbuhan ekonomi akan mengurangi dampak penurunan daya beli akibat inflasi.
Pemerintahan Jokowi berbeda, fokus utama pembangunan adalah pengendalian harga guna mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, pola pembangunan Jokowi akan cenderung mempertahankan tingkat inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah juga. Jokowi memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bukan pertumbuhan semu yang hanya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Pada era Jokowi, UMKM menjadi prioritas untuk digerakkan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Bukan obral konsesi perkebunan dan pertambangan seperti era SBY.
Sampai di sini, Mas Mayor paham arti inflasi kan? Percuma kita bicara sampai njelimet kalau Mas Mayor ternyata tak paham arti inflasi. Inflasi itu artinya kenaikan harga-harga, Mas.
Akibat inflasi yang terkendali selama bertahun-tahun ini bukan tanpa masalah. Di era Jokowi, masyarakat kita menjadi gampang kaget dengan gejolak harga yang tiba-tiba terjadi. Ini ibarat suatu kampung yang tenang, jarang ada keributan, mendadak heboh karena adanya keluarga yang kehilangan ayam peliharaannya. Berbeda dengan kampung yang relatif sering terjadi peristiwa pencurian. Kehilangan mobil pun menjadi berita biasa.
Inilah yang dialami Pemerintahan Jokowi. Rakyat yang kaget dengan inflasi, ditambah dukungan sosial media yang gemar menggaungkan segala berita buruk dengan berlebihan, tanpa didukung bukti nyata.
Dibanding SBY, Jokowi mengalami masa pemerintahan yang relatif berat karena adanya gangguan-gangguan politik dan bencana. Seperti radikalisme dan maraknya Tindakan-tondakan SARA serta bencana Covid. Kedua hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan dunia. Efek berlimpahnya informasi di zaman sosial media, bahkan nasionalisme Amerika saja rontok terkikis isu-isu radikalisme dan SARA. Amerika pun terpaksa dipimpin Presiden yang menang Pemilu karena menjual isu-isu SARA.
Belakangan krisis energi dunia dan invasi Rusia ke Ukraina disinyalir akan memancing hyper inflasi di tingkat dunia. Tentu ini akan berimbas inflasi di Indonesia. Kalau faktor-faktor eksternal itu terjadi di era SBY, kira-kira apa yang Pepo bisa lakukan selain mendekap dada dan berkata prihatin?
Isu perpanjangan masa jabatan sebenarnya juga terjadi di era SBY. Waktu itu isu tersebut dihembuskan oleh Ruhut Sitompul, salah satu kader Partai Demokrat masa itu. Bahkan beredar usulan agar Ibu Ani Yudhoyono menjadi Presiden pada tahun 2014 apabila masa jabatan SBY tidak bisa diperpanjang.
Tentu saja kedua usul tersebut memancing kehebohan, nyaris semua lapisan masyarakat bereaksi keras. Pro dan kontra segera muncul. Tidak kurang dari Prof. A. Syafii Maarif mengkritik keras gagasan presiden tiga periode itu. Ketua MPR Taufik Kiemas menentang keras usulan itu. Kiemas bahkan menjamin tidak akan meluluskan keinginan Ruhut untuk memperpanjang jabatan SBY melalui amandemen.
SBY sendiri mulanya diam menghadapi usulan perpanjangan dari Ruhut tersebut. Seakan mengiyakan sembari melihat animo masyarakat. Ternyata setelah tak ada yang mendukung ide tersebut. Hingga akhirnya SBY terpaksa menolak ide perpanjangan masa jabatannya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow menganalisis, ada perbedaan mendasar terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden di era SBY dan Jokowi. Menurutnya, publik cenderung menolak terhadap wacana SBY untuk maju 3 periode, sementara Jokowi lebih didukung.
“Pak SBY di periode dua tidak didukung luas. Kalau sekarang kan dukungan ke Pak Jokowi masih kuat,” kata Jeirry pada 28 Februari 2022.
Publik masih suka Jokowi, sehingga banyak yang merasa sayang kalau jabatannya berakhir pada 2024. SBY pun tak mendapat dukungan parlemen karena tak ada partai-partai yang menyuarakan dukungan perpanjangan masa jabatan.
Berbeda dengan masa SBY, Jeirry menilai peluang perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi lebih mungkin terwujud. Semua tergantung parlemen selama ada dukungan publik kuat.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai wacana Jokowi 3 Periode muncul setelah Publik melihat angka kepuasan terhadap Jokowi yang cukup tinggi. Popularitas Jokowi tetap tinggi bahkan tak sedikit yang menganggap Jokowi sebagai ‘ratu adil’ yang telah membawa banyak perubahan di Indonesia lewat pembangunan yang masif.
Isu 3 periode muncul didasari capaian-capaian kunci pemerintahan yang mulai terlihat. Bahkan tidak sedikit investor yang berpikir ulang untuk tetap berinvestasi di Indonesia bila Jokowi tak lagi menjabat.
Bila perpanjangan masa jabatan SBY diusulkan oleh kader internal partainya, perpanjangan masa jabatan Jokowi hebatnya justru dilakukan oleh kader-kader di luar PDIP. Salah satunya Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar yang ingin pemilu ditunda dua tahun. Isu ini semakin ramai setelah PAN dan Golkar mendorong isu serupa. Sebelumnya Akademisi Muhammad Qodari mengusulkan wacana periodisasi presiden tiga periode pada 2020. Qodari saat itu menilai presiden tiga periode adalah solusi dari keterbelahan yang terjadi di masyarakat.
Sekarang mari kita lihat perbandingan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja SBY dan Jokowi.
Di tahun 2022, persentase tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi berada di angka 71 persen.
Angka 71 persen merupakan gabungan antara responden yang cukup puas dengan kinerja Jokowi sebesar 51 persen, dengan persentase responden yang sangat puas kinerja Jokowi sebesar 20 persen.
Kita bandingkan dengan survei tingkat kepuasan pada SBY pada tahun 2013. Survei Nasional Pol-Tracking Institute menyebutkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY hanya 40,5 persen. Separuh lebih masyarakat menyatakan tidak puas. Tingkat kepuasaan publik berada di bawah 50 persen sendiri menunjukkan kinerja pemerintahan yang stagnan. Ketidakpuasan masyarakat terutama di bidang ekonomi, hingga 71 persen.
Soal ketidakpuasan di bidang ekonomi tergambar dari persepsi masyarakat terhadap harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mahal. Sedangkan di bidang hukum, masyarakat belum melihat hadirnya koordinasi sistematis dan sinergis antara kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntaskan berbagai skandal. Hasil lembaga-lembaga survei lain pun tak pernah menempatkan kepuasan terhadap kinerja SBY hingga lebih dari 70 persen seperti pada Jokowi. Semoga Mas Mayor AHY paham hal ini.
Di akhir masa jabatan SBY banyak dinilai gagal. Bahkan Forum Masyarakat Sipil Indonesia (ICFP), menilai SBY memiliki rapor merah. Mulai dari investasi yang lebih berpihak kepada korporasi ketimbang masyarakat. Meski investasi asing naik dari 2011 hingga 2013, namun penyerapan tenaga kerja malah menurun, karena investasi tidak bertumpu sektor padat karya.
Di era SBY terjadi laju deforestasi luar biasa karena SBY terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam. SBY juga tunduk Terhadap Korporasi Raksasa dan Multinasional. Terus memberikan dan memperluas konsesi skala besar di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Di sektor sawit, pada tahun 2013, lebih dari 13,5 juta hektar izin perkebunan sawit separuhnya adalah perkebunan milik koorporasi asing. Menjelang perhelatan politik Pemilu 2009, terjadi lonjakan pengeluaran izin dengan luas 4,7 juta hektar.
Berlawanan dengan agresif-nya SBY memberi izin konsesi, SBY ternyata tidak mampu menangani penghindaran pajak. Sedikitnya ada 500 triliun rupiah potensi pajak yang hilang akibat berlindung di surga pajak (tax heavens). Menurut Studi INFID dan Perkumpulan Prakarsa mencatat ada 3.600 triliun rupiah aset orang-orang superkaya yang belum dikenai pajak di era SBY.
Itu semua mungkin Mas Mayor AHY tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Tapi satu hal AHY perlu belajar, ia harus menetapkan karir yang jelas. Menjadi pengamat politik yang kritis atau mencoba menjadi capres. Bila menjadi pengamat politik, ia perlu berbicara dengan didukung data yang kuat. Sedang bila ingin menjadi capres, mengapa tidak membicarakan ide-ide usulan pembangunan dan tak hanya berkampanye dengan menjelek-jelekkan pemerintah atau lawan politik. Asal tahu saja, cara begini tidak pernah berhasil…
Iwan Raharjo