Antara Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi: Bangkitnya Monster Leviathan yang Lalim (Bagian 1)

Baru-baru ini saya membaca kembali kumpulan artikel trbitan LP3ES. Judulnya Demokrasi Tanpa Demos, tentang refleksi 100 ilmuwan sosial politik Indonesia tentang kemunduran demokrasi kita. Diterbitkan tahun 2021, ketika pandemi Covid 19 sedang melanda Indonsia. Pemilu 2024 masih jauh.

Membaca Bagian 11 yang mengambil tema Pembangunan Ekonomi, Kesejahteraan dan Demokrasi, ada banyak fakta dan wacana yang rasanya sangat membuka mata saya. Perdebatan klasik apakah pembangunan ekonomi menjadi prasyarat demokrasi atau sebaliknya, demokratisasi menjadi prasyarat terwujudnya kesejahteraan ekonomi. Ekonom Faisal Basri dalam artikelnya Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi, menganggap keduanya harus berjalan seiring. Masing-masing saling mempengaruhi. Pendapat ini sejalan dengan Budi Setiyono yang juga menulis artikel dalam buku itu. Dmokrasi substansial baru dikatakan terwujud ketika hak sipil dan politik terpenuhi sekaligus hak ekonomi, sosial dan budaya warganya terpenuhi.

Faisal Basri kemudian membeberkan Democracy Index tahun 2020, yang menempatkan Indonesia berada di peringkat 64 dari 167, dngan skor 6,30. Angka ini menunjukkan Indonesia berada dalam kondisi flawed democracies (demokrasi cacat) bersama dengan 51 negara lain. Selama kurun waktu 2012-2016, Indonesia memimpin  di ASEAN dalam hal tingginya skor, kemudian disusul Filipina. Sejak 2017, Malaysia melesat ke puncak dengan skor yang meningkat pesat menjadi 7,19. Sebaliknya pada periode yang sama, skor Indonesia menurun dari 7,03 menjadi 6,30.

Kemerosotan paling tajam terjadi dalam komponen “budaya politik” dan “kebebasan sipil” sedangkan komponen “proses elektoral” dan “pluralisme’ menunjukkan kecenderungan membaik. Artinya, secara prosedural demokrasi Indonesia membaik, sedang secara substansial justru memburuk. Efek dari kemunduran demokrasi substansial ini berimbas pada melambatnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia masih tergolong rentan sehingga sensitif terhadap gejolak. Menjadikan masyarakat makin rentan miskin.

Secara umum, demokrasi berkorelasi positif dengan pembangunan. Jika dibuat kurva hubungan antara demokrasi dan pendapatan nasional, secara umum negara-negara berpendapatan tinggi berada di atas kurva. Ini bisa diartikan bahwa negara-negara demokratis cenderung kaya. Perkecualian terjadi lima negara penghasil minyak Timur Tengah, Kuwait, Bahrain, Qatar, Arab Saudi dan UEA. Kekayaan negaranya karena berlimpah minyak tidak beriringan menjadikan negara-negara tersebut demokratis. Gejolak sosial yang memicu ketidakstabilan memang teredam karena tingginya penghasilan masyarakatnya.

Demokrasi menjanjikan perekonomian yang lebih stabil dan menjauhkan suatu negara dari kemerosotan perekonomian yang tajam akibat adanya checks an balances. Kebijakan dan penyelenggaraan negara dalam negara yang demokratis selalu bisa dikoreksi oleh lembaga-lembaga lainnya maupun masyarakat.

Studi-studi empiris dari Acemoglu et al  sepanjang 2008-2019 membuktikan bahwa demokrasi lah yang memengaruhi pertumbuhan dan berakibat memacu tingkat kesejahteraan umum. Studi itu menyimpulkan bahwa demokrasi meningkatkan PDB per kapita sekitar jangka panjang. Sampai di situ bila kita kaitkan dengan keinginan Indonesia menjadi negara makmur pada 2045 atau sekitar 20 tahun lagi, Indonesia harus memenuhi prasyarat menciptakan demokrasi substansial. Artikel Faisal Basri itu ditulis selang beberapa tahun sebelum Pemilu 2024 yang banyak menimbulkan pro kontra sejak tahap persiapannya, namun Faisal Basri menulis:

Kian banyak pertanda Indonesia bergeser ke arah despotic leviathan. Lebih parah lagi jika kekuatan negara bersekutu dengan kekuatan bisnis. Penguasaan media oleh mereka membuat oligarki semakin mencengkeram”

Despotic leviathan, sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes adalah  monster laut yang tangan kanannya memegang pedang besar, sedang tangan kirinya memegang tongkat raja. Manusia, menurut Hobbes, hidup selalu dalam kondisi saling memangsa satu sama lainnya. Digambarkan sebagai “short, brutish, nasty, poor, solitary” (pendek, brutal, keji, melarat, dan sepi). Kondisi buruk membuat masyarakat butuh kekuasaan atau penguasa yang mengayomi. Tanpa kewaspadaan kita akan mendapatkan monster Leviathan.

Sebagai monster berwajah ganda, Leviathan bisa menjadi monster baik budi yang mewujudkan commonwealth atau kesejahteraan umum. Di sisi lain, bila sisi jahat Leviathan yang muncul maka masyarakat akan merasakan hidup yang “pendek, brutal, keji, melarat, dan kesepian”.

Jika Leviathan jahat berkuasa, penguasa akan menjadi lalim, otoriter, dan anti-demokrasi. Hak-hak rakyat akan dikebiri dan hidup rakyat senantiasa dalam bahaya karena kebebasan (liberty) sudah diberangus. Negara menjadi terlalu kuat. Yang diibaratkan sebagai monster Leviathan yang lalim (Despotic Leviathan).

Daron Acemoglu (2019), yang studinya dikutip Faisal Basri itu, melihat bahwa masyarakat dunia saat ini hidup dalam bayang-bayang Leviathan jahat. Setiap saat masyarakat bisa dicengkeram oleh monster itu. Mereka adalah masyarakat yang hidup di bawah rezim-rezim otoritarian dan diktator di pelbagai wilayah.

Demokrasi substansial menawarkan konsep keseimbangan antara kekuatan negara dan civil society (masyarakat madani), sebagaimana yang dikenal dalam konsep check and balances. Negara tidak boleh terlalu kuat supaya tidak menjadi lalim, sebaliknya, masyarakat tidak boleh menjadi terlalu kuat karena akan terjadi anarki karena tidak adanya kekuatan Leviathan (Absent Leviathan).

Keseimbangan ini dalam terminologi modern sekarang, ibarat orang berjalan di atas treadmill, tidak boleh terlalu cepat, tidak boleh terlalu lambat, harus selalu pas dan sejajar. Itulah kondisi ideal demokrasi, ketika kekuatan masyarakat dan negara berada pada keseimbangan. Ketika tercapai keseimbangan itu maka koridor akan terbuka dan masyarakat akan menikmati kebebasannya.

Studi Acemoglu melihat Amerika sebagai contoh keseimbangan kekuatan negara versus masyarakat karena saling mengontrol. Sedangkan China dianggap berada di bawah kekuasaan monster Leviathan yang lalim karena kekuasaan negara yang terlalu kuat.

Di mana Indonesia berada? Dalam artikel Dhimam Abror Juraid, berjudul Monter Leviathan yang Menghantui Kita (19 Januari 2020), Periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo menimbulkan kekhawatiran Indonesia dalam kondisi menuju Despotic Leviathan. Ada kecenderungan ingin menjadikan negara menjadi lebih kuat dibanding civil society. Tidak ada lagi kekuatan oposisi yang efektif untuk mengontrol negara. Terbitnya Undang Undang dan regulasi yang mengecilkan Lembaga negara di luar pemerintah.

Ini sejalan dengan artikel Siwage Dharma Negara, yang juga terdapat dalam Kumpulan Esai LP3ES ini, berjudul Sistem Demokrasi dan Kualitas Pembangunan. Dharma Negara menjelaskan tentang indikator Worldwide Governance Indicators (WGI) di 200 negara. Yang dinilai antara lain keterbukaan, kualitas regulasi dan supremasi hukum. Di antara negara-negara ASEAN, dilihat dari sisi keterbukaan, Indonesia dan Filipina dianggap memiliki indeks yang lebih baik dibanding Thailand dan Vietnam. Indeks keterbukaan mengalami penurunan tajam di Thailand pasca kudeta militer tahun 2006, dan tidak pernah kembali positif sejak itu.

Namun,

Indeks kepastian hukum Indonesia tertinggal jauh, bahkan dibanding Thailand dan Vietnam yang dianggap kurang terbuka itu. Ini sejalan dengan dengan temuan survei bisnis termasuk Ease Doing Business yang dilakukan Bank Dunia. Indonesia menempati ranking 139 dari 190 negara. Thailand menempati ranking 37 sedangkan Vietnam ranking 68. Tidak heran Vietnam menjadi primadona baru para investor.

Kewaspadaan pada hadirnya depotic Leviathan, juga terlihat dalam artikel berjudul Pangan dalam Pusaran Politik tulisan Toto Subandriyo, masih dari kumpulan esai yang sama. Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani, angkanya cenderung stagnan. Pertanian masih ditempatkan sebagai subordinasi sektor industri dan sektor ekonomi lainnya. Pertanian diposisikan tidak lebih sebagai pengganjal/ bantalan rem inflasi. Keberhasilan pembangunan ekonomi hanya diukur dari keberhasilan Pemerintah dalam menekan serendah mungkin angka inflasi. Tidak peduli bila berakibat pada tipisnya keuntungan di tingkat petani, sehingga sulit menjadikan pertanian sebagai pekerjaan untuk hidup layak. Secara paradoks, petani hanya menerima bagian kecil dari nilai tambah kenaikan produktivitas. Nilai terbesar justru dinikmati pelaku di luar usaha tani, dengan alasan adanya perubahan bentuk, tempat dan waktu (form, place and time utility).

Semua ini makin berat lagi, menurut Toto Subandriyo, dengan adanya ancaman liberalisasi pangan yang siap mengancam ketahanan pangan kita di masa depan. Disahkannya UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja menghilangkan banyak pasal perlindungan pada petani/ nelayan terkait dengan kebijakan impor pangan.

Pasal-pasal yang selama ini memayungi dan melindungi petani/ nelayan tereliminasi dari UU Cipta Kerja. Seperti pasal-pasal yang tercantum dalam Undang Undang yang berlaku sebelum ini, secara tegas mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri sebagai pertimbangan dalam kebijakan impor pangan. Dalam UU Nomor 12/ 2012 dikatakan:

Impor hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/ atau tidak tidak dapat diproduksi dalam negeri.” (Pasal 15 ayat 1)

 “Impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan nasional tidak mencukupi.” (Pasal 36 ayat 2)

Kemudian pasal-pasal dalam UU Nomor 19/2013 di antaranya:

Setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/ atau cadangan pemerintah.” (pasal 30 ayat 1).

Semua pasal-pasal perlindungan bagi petani/nelayan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Kini tidak ada lagi aturan batasan minimal untuk impor bahan pangan.

Bayangkan, saat pasal-pasal perlindungan petani/ nelayan masih memayungi mereka, nasib mereka masih tidak menentu. Apalagi ketika tidak ada lagi pasal-pasal perlindungan itu. Padahal jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) menurut Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) dari BPS Tahun 2018, mencapai 27,682 juta orang. Bila diasumsikan setiap rumah tangga itu terdiri dari 3 orang, maka ada 83,046 juta orang yang sangat bergantung pada kebijakan pertanian. Semakin sulit kehidupannya, semakin miskin mereka, semakin rendah kualitas hidup dan tingkat literasinya. Semua ini akan berimbas pada buruknya kualitas demokrasi kita. Dan kualitas demokrasi yang buruk ini, makin menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang kita idamkan selama ini. Lingkaran setan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *