Banyak rumor yang beredar tentang partai legend satu ini. Partai paling ideologis di Indonesia, selain PKS tentu saja. PKS sendiri mungkin tidak lagi terlalu ideologis menyusul langkah politiknya ikut arus berkoalisi dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Rumor-rumor tentang PDIP ini kian gencar dan masif pasca PDIP menjadi satu-satunya partai “yang paling kritis” pada Pemerintah saat ini. Bahkan posisinya diametral terhadap mantan Presiden Jokowi yang dianggap masih punya taring, menjadi “motor” di balik kebijakan-kebijakan Pak Prabowo.
Makin mendekati Kongres PDIP yang rencananya bakal digelar April tahun 2025 ini, berhembus kencang rumor pertentangan di internal PDIP antara faksi Puan Maharani dan faksi Prananda. Meski sama-sama anak biologis dari Bu Mega, keduanya dianggap punya pandangan yang sangat berbeda tentang langkah politik partai di era Presiden Prabowo ini. Faksi Puan dianggap mewakili kelompok moderat namun pragmatis, menginginkan Banteng tidak konfrontatif pada pemerintah, bahkan berkoalisi. Di sisi lain, faksi Prananda, dikenal “galak” bahkan bomber terdepan dalam menyuarakan kegelisahan masyarakat pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Pasca penahanan Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto oleh KPK, yang terasa sekali aroma kriminalisasinya, Kongres PDIP yang akan datang ini menjadi sangat krusial. Bukan saja untuk memilih pengganti Hasto, seandainya kasusnya akan terus berlanjut, tetapi juga untuk melihat sikap politik yang akan menakhodai kebijakan partai. Faksi siapa memegang jabatan kunci, akan sangat menetukan langkah-langkah politik Banteng ke depan. Apakah memilih jalur moderat-pragmatis atau menjadi progresif etis..? Sebagai awam dan bukan seorang kader PDIP, mari kita prediksi.
Untuk memprediksi langkah PDIP, perlu kita kenali masalah besar yang dihadapi pemerintah Indonesia saat ini, yaitu ketidakpercayaan. Meski survei mengatakan kepuasan pada Pemerintahan Presiden Prabowo tembus angka 80 persen, faktanya masyarakat justru kini tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga survei lokal. Ketidakpercayaan publik bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi yang terus menurun. Rupiah makin melemah, bahkan pada 3 Maret 2025, Dollar tembus angka tertinggi sejak krisis moneter 1998. Tembus 16.500 rupiah.
Pelemahan Rupiah diikuti pula dengan rontoknya IHSG plus larinya investor-investor dari Indonesia, yang terbaru adalah Sanken dan Yamaha. PT Sritex, perusahaan tekstil besar bangkrut, menambah deretan panjang PHK massal yang terjadi di Indonesia. Indonesia kini dianggap tak lagi ramah investasi. Ketidakpastian hukum menjadi penyebab utama ketidakpercayaan tersebut.
Bukan hanya indikator ekonomi yang menjadi penanda ketidakpercayaan publik. Demo besar mahasiswa yang terjadi di bukan Februari 2025 menjadi indikator ketidakpercayaan lainnya. Demo besar itu diikuti viralnya tagline “Indonesia Gelap” dan tagar Kabur Aja Dulu. Media asing pun berlomba-lomba meliput demo ini. Berkebalikan dengan media asing, media mainstream Indonesia terasa seperti dikomando untuk tidak meliput demo tersebut. Akibatnya, masyarakat makin menstigma bahwa media besar di Indonesia saat ini telah menjadi buzzer Pemerintah, atau yang kerap disebut dengan julukan “ternak Mulyono”.
Dalam serangkaian demo itu, sikap PDIP terlihat jelas berpihak dan berempati pada demo mahasiswa. Kader-kader PDIP selalu turun berdialog dengan para pendemo. Memahami tuntutan-tuntutan mahasiswa dan siap menyuarakan aspirasi tersebut. Apalagi kita semua tahu, mereka yang berdemo bukan hanya mewakili Pemerintah, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Kelompok ini bukan elite penikmat kebijakan-kebijakan berbau pro oligarki, dan bukan juga kelompok penerima bansos yang memang terkenal “pejah gesang ikut yang ngasih”.
Demo itu sendiri terlihat cukup menggetarkan Pemerintah. Pak Prabowo plus Jokowi, yang konon ‘cawe-cawe’-nya memang masih merasuki semua tindakan dan kebijakan Pak Prabowo. Kegentaran Pemerintah ini terlihat jelas dengan bergegasnya Pak Prabowo melakukan pertemuan dengan berbagai pemred media di Indonesia. Entah ada kaitannya atau tidak, kemudian beredar rumor bahwa PDIP menjadi dalang dari demo-demo itu. Rumor ini cukup masif dan membuat kita layak berpikir, rumor ini tidak organik.
Sebenarnya pemicu demo adalah skandal-skandal yang menunjukkan ketidakbecusan Pemerintah yang terbongkar akhir-akhir ini. Yang paling menonjol tentu saja kasus Pagar Laut, pemangkasan anggaran demi Makan Bergizi Gratis, Danantara… dan yang terbaru skandal Pertamina. Posisi PDIP terhadap semua kritik masyarakat pada Pemerintah itu….? Jelas menjadi bagian aktif kelompok yang kritis pada Pemerintah.
Apakah sikap kritis PDIP ini diapresiasi masyarakat? Pertanyaan sederhana ini sebenarnya bisa menjadi pertimbangan untuk mengambil langkah oposisi atau koalisi, meski untuk menjawabnya tidak bisa sederhana. Merujuk hasil Pilpres, rasanya kita pesimis gerakan kritis PDIP diapresiasi masyarakat, meski kualitas Pilpres banyak dipertanyakan. Tetapi bila mengacu pada hasil Pemilu Legislatif dan Pilkada, dimana PDIP tetap menjadi pemenang, kita layak optimis bahwa sikap kritis PDIP diapresiasi masyarakat.
Banyaknya jokes yang mendiskreditkan PDIP, serangan buzzer (dalam hal ini buzzer Pemerintah yang memang didominasi simpatisan Jokowi alias ternak Mulyono)yang masif, sebenarnya justru indikasi ketakutan kelompok status quo itu pada potensi PDIP meraih hati masyarakat. Semakin banyak olok-olok tentang Mak Banteng, artinya semakin terdepan PDIP memimpin arah perubahan. Masyarakat pun kini paham betapa mudahnya “rekayasa informasi” di era sekarang. Ada semacam kesadaran untuk tidak menerima mentah-mentah semua informasi yang beredar, apalagi jika terasa ada kepentingan penguasa di belakangnya. Inilah kelompok baru yang pelan-pelan menjadi simpatisan PDIP.
Kehadiran simpatisan baru PDIP ini menjadi fenomenal ketika ternyata kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan mereka kini bisa bergandeng tangan dengan barisan Banteng. Kita lihat dalam diskusi-diskusi, seorang Rocky Gerung yang biasanya pedas dan kritis pada PDIP, saling bahu membahu bersama Dedi Yevri Sitorus melawan narasi-narasi penguasa. Yang paling menakjubkan tentu saja kedekatan Anies Baswedan dan Ahok. Sesuatu yang terlihat mustahil beberapa tahun lalu, karena keduanya ibarat Tom and Jerry. Kedekatan para tokoh yang berseberangan ini, tentu saja diikuti oleh mencairnya hubungan antara basis-basis massa para tokoh tersebut. Rukunnya Anak Abah dan Banteng.
Para buzzer anti PDIP kemudian menyebut dengan sinis, kerukunan kedua kelompok tersebut hanya karena faktor emosional “enemy of my enemy is my friend”. Jelas ini tidak benar. Usaha pengebirian pada sikap etis PDIP. Kelompok yang tengah berkuasa seperti menutup mata pada masalah besar di Republik ini. Mulai dari penegakan hukum yang letoy, postur birokrasi yang terlalu gemoy, penghacuran demokrasi dan kegagalan mensejahterakan rakyat… dan yang paling mencekam, upaya membawa Indonesia ke dalam otorianisme.
Kesadaran etis ini menemukan momentumnya saat MK menerbitkan keputusan Nomor 90 yang terasa memberi hak istimewa pada putra Presiden saat itu. Bersamaan dengan itu terkuak pula praktik-praktik kenegaraan yang tidak benar, yang makin menyadarkan masyarakat pentingnya kehadiran kelompok kritis pada Pemerintah. Di titik inilah simpati pada PDIP berdatangan. Di titik ini juga layak seandainya PDIP terus bersikap kritis, beroposisi dengan gagah berani.
Di sisi lain, keraguan internal PDIP untuk bersikap diametral pada Pemerintahan Presiden Prabowo juga bukan tidak memiliki dasar. Berkaca pada penahanan Hasto Kristiyanto, pencekalan Yasonna Laoly ke luar negeri, termasuk juga penahanan Tom Lembong, terbaca jelas adanya kriminalisasi untuk musuh-musuh politik Jokowi, sementara banyak kasus lain yang melibatkan kerugian negara hingga ribuan trilyun, belum tersentuh ke ranah hukum. Fakta ini tidak saja membuat dugaan kita mengarah pada keterlibatan penguasa dalam kasus-kasus hyper korupsi itu, tetapi juga menimbulkan keengganan tersendiri sebagian kader Banteng untuk bersikap frontal.
Sebagian lain kader enggan bersikap kritis karena menganggap sebagian besar masyarakat kita, seperti umumnya masyarakat Nusantara, tidak suka bertindak konfrontatif. Apalagi menurut mereka, pertentangan dengan Jokowi cukup signifikan menggerus massa PDIP. Benarkah demikian..?
Migrasi konstituen ini tidak lepas dari kelompok lemah, wong cilik, yang menjadi basis massa PDIP. Kebutuhan hidup yang mendesak, literasi terbatas, ternyata menjadikan kelompok ini gampang beralih suara, hanya dengan sedikit iming-iming uang atau sembako. Sesimpel itu. Kelompok ini juga bisa mendadak amnesia terhadap bantuan lain yang selalu diberikan oleh jaringan kader PDIP dalam keseharian mereka. Kita tahu bantuan permodalan dan pemasaran UMKM, rehab rumah tidak layak huni, bantuan pendidikan, dan akses untuk mendapat jaminan kesehatan kaum rentan, adalah bantuan bagi masyarakat yang selama berpuluh tahun menjadi ranah pelayanan masyarakat bagi kader PDIP. Ini kunci sukses PDIP membangun jaringan sampai level akar rumput. Bukan isapan jempol di masyarakat, ketika mereka punya masalah akan bersegera menemui kader ataupun anggota legislatif PDIP.
Beralihnya massa, ditambah dengan dugaan pengerahan bansos dan money politic ini pula yang antara lain menggentarkan sebagian kader PDIP untuk konfrontatif pada Pemerintah. Ketakutan jika Pemerintah memainkan politik anggaran terhadap Kepala Daerah dari PDIP. Sehingga kinerja Pemerintah Daerah di sana terganggu yang berimbas ketidakpercayaan masyarakat pada Kepala Daerah PDIP. Mungkinkah hal itu terjadi…? Seperti juga kriminalisasi, politik anggaran itu sangat sangat mungkin terjadi? Ketakutan para kader PDIP menjadi wajar, dan amat sangat bisa dipahami.
Ketika kegamangan hadir, mungkin PDIP sebaiknya mulai kembali melihat sejarah panjang partai tersebut. Lebih setengah abad usia partai, PDIP punya tradisi panjang untuk berjuang terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah dengan gagah berani. Lawan berat seperti rezim represif Orde Baru sekalipun, tidak pernah menggentarkan kader Banteng untuk berjuang, kala sebagian besar tokoh masyarakat memilih tidur nyaman di bawah selimut “cari aman”. Keberanian untuk beroposisi inilah nilai utama partai ini yang tidak dimiliki banyak partai lain.
Keberanian beroposisi ini jelas bukan tidak membawa hasil. Runtuhnya rezim Soeharto membawa kemenangan besar bagi PDIP pada Pemilu 1999. Sepuluh tahun beroposisi di masa pemerintahan Presiden SBY berujung kemenangan dan kembalinya PDIP menjadi pemenang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014. Artinya, rakyat mengapresiasi keberanian ini.
Ketakutan ditinggal massa rasanya juga perlu dihilangkan dari benak para kader. Berkaca dari kemenangan Pramono-Rano Karno di Pilkada Jakarta tahun lalu, juga kemenangan kader PDIP di kota-kota besar seperti Semarang dan Surabaya, juga wilayah-wilayah satelit kota besar seperti Depok, dapatlah kita baca bahwa pemilih PDIP saat ini adalah kelompok masyarakat perkotaan. Wilayah-wilayah perkotaan ini menjadi konsentrasi penduduk yang relatif memiliki literasi baik sekaligus independen dalam bersikap. Tidak mudah terpengaruh oleh bansos dan amplop. Kelas menengah Indonesia.
Para kelas mengah inilah kelompok yang kritis yang kini rawan turun dari kategori kelas menengah karena kondisi perkenomian nasioal yang terus merosot. Kondisi ini makin membuat kelompok ini kritis, dan bersimpati pada barisan yang menyuarakan kebenaran. Inilah massa baru PDIP. Kelompok kritis. Kelompok etis. Dalam lima tahun ke depan, dukungan suara dari mereka akan melesat, dengan catatan PDIP tetap di jalur progresif dan etis. Banyak yang memprediksi, akan ada segmen baru massa PDIP. Bukan hanya massa “wong cilik” tetapi juga kelompok menengah terpelajar dan kritis. Mereka yang menghargai orang yang memelihara nilai-nilai kebaikan.
Bukankah selama ini PDIP selalu mendengungkan tentang “membela nilai” dan bukan membela kepentingan? Sikap yang tegas ditunjukkan dengan menolak usulan Presiden Tiga periode yang dikehendaki Jokowi. Sikap yang sama juga ditunjukkan dengan berani tegas memecat Jokowi sebagai kadernya karena serangkaian pelemahan konstitusi yang ditimbulkannya demi pelanggengan kekuasaan. Sikap dan keberanian “membela nilai” inilah yang menjadikan PDIP tetap bertahan, bahkan menjadi partai paling wahid hampir dalam semua Pemilu.
Ketakutan, seperti kata Bu Mega, sebenarnya hanya ilusi. Sementara membela nilai seharusnya menjadi tradisi dan kekuatan yang membuat Banteng tidak takut untuk menjadi oposisi. PDIP harus terus progresif memperjuangkan nilai-nilai etis.
Satyam Eva Jayate…