Benny Moerdani, Harmoko dan Asian Drama-Gunnar Myrdal

Dalam seminggu ini, saya sempat ngakak lama gara-gara membaca suatu posting di X. Kira-kira isinya begini:
“Suatu ketika Benny Moerdani sedang membaca buku Asian Drama: An Inquiry Into The Poverty of Nations tulisan Gunnar Myrdal. Harmoko menegurnya: Pak Benny sekarang suka drama ya…”

Ada banyak imajinasi setelah membaca postingan itu, di situlah saya tertawa. Kita semua tahu, Harmoko bisa dibilang jubir Presiden Soeharto saat itu. Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko akan selalu menerangkan segala sesuatu tentang pemerintah, tidak peduli kita perlu penerangan atau tidak. Mungkin kalau masa kini, Harmoko menjadi Kepala Kantor Staf Presiden.

Menjadi ironis ketika seorang yang sehari-harinya bertugas sebagai sumber informasi, asing dengan buku yang cukup populer saat itu. Seperti Sapiens-nya Harari di zaman sekarang. Tapi saya mencoba sedikit berpikir positif: jangan-jangan justru Harmoko sedang bercanda. Kalau demikian artinya, Harmoko punya selera humor yang cerdas…
Lebih lagi masa itu kata ‘drama’ belum populer digunakan untuk menggambarkan orang yang suka over acting. Humor futuristis.

Bayangkan, Benny Moerdani seorang Jendral berwajah dingin dan angker, ternyata bacaannya drama. Gambaran ini persis ungkapan yang dulu pernah populer tentang pria-pria mellow: wajah Rambo tapi hati Rinto.

Postingan itu juga membawa saya ke pikiran lain, betapa hebatnya wawasan pejabat masa itu. Bacaannya nggak kaleng-kaleng. Buku Asian Drama ditulis oleh ekonom peraih nobel Gunnar Myrdal. Isinya tentang pesimisme terhadap masa depan negara-negara di Selatan dan Tenggara Asia. Myrdal fokus menyoroti India, tapi Indonesia termasuk juga dalam sorotannya.

Dipublikasikan di tahun 1968, Myrdal mengungkapkan betapa di Asia, kecepatan pertumbuhan ekonomi selalu kalah dibanding kecepatan pertambahan populasi. Masyarakatnya terlalu lunak dan kurang disiplin, sehingga diperlukan pemerintahan yang otoritarian….

Mengingat ini, wajah Benny Moerdani terasa makin angker.

Kepemimpinan otoriter jelas beresiko. Terutama ketika pemerintah tidak fokus untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakatnya. Cina meski otoriter, termasuk yang berhasil karena mengubah negeri terpadat di dunia itu menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi di dunia. Tetapi konon, kemajuan mulai dicapai ketika masyarakat diberi lebih banyak ‘kelonggaran’ pasca kepemimpinan Mao Zedong yang sangat otoriter. Negara komunis yang identik dengan otoriter sendiri sejak awal 90an mulai bertumbangan, dan lahir baru sebagai negara yang mempraktekkan demokrasi.

Masalah utama otoritarianisme tentu saja karena tidak ada mekanisme checks and balances. Bila pemerintahnya tidak fokus pada kesejahteraan rakyat, di sinilah bahayanya otoritarian. Negara bisa diubah bagaikan milik mereka sendiri. Negeri nenek lo, mengutip ungkapan populer. Jelas rakyat akan terpinggirkan meskipun duit rakyat melalui pajaklah yang digunakan untuk membiayai negara. Bukan duit eyang buyut para penguasa otoriter itu.

Kembali ke cerita Benny Moerdani dan Harmoko tadi. Harmoko cukup banyak dihujat selama demo-demo menjelang reformasi. Namanya diartikan sebagai Hari-hari Omong Kosong. Dan setelah reformasi selesai, saat banyak tokoh partainya kembali berkiprah di politik sambil mencitrakan diri dengan ‘paradigma baru’ sebagai seorang reformis,… Harmoko tidak. Dia menepi tanpa banyak omong. Maka cap ’omong kosong’ tidak lagi dilekatkan padanya.

Benny Moerdani sendiri Jendral pendiam. Tak banyak bicara, apalagi berkata-kata menggelegar. Mungkin baginya kata-kata berlebihan rawan menjadi toxic

Kontras antara Benny yang pendiam, dan Harmoko yang selalu bicara serta drama.. inilah yang membuat saya tertawa. Asia memang mungkin negeri drama..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *