Anak Lanang tidak jadi datang dalam dialog terbuka yang digelar oleh Muhammadiyah. Pastinya banyak yang penasaran untuk mengetahui gagasan genuine Anak Lanang tentang berbagai isu yang menyangkut kepentingan publik. Lagi pula sudah ada survey yang “membuktikan” kecerdasan Anak Lanang mengungguli Mahfud MD dan Cak Imin.
Jadi, jangan berprasangka buruk dulu terhadap absennya Anak Lanang dari dialog tersebut. Tidak mungkinlah Anak Lanang takut, pengecut, ngeper, keder atau nggak pede. Nggak mungkin itu. Boleh jadi itu justru bagian dari kecerdasannya yang tidak dimiliki oleh dua cawapres yang lain.
Yang penting kerja…kerja dan kerja. Memaparkan Ide, berdialog, bertukar pikiran dan bisa jadi berdebat itu hanyalah membuang-buang waktu. Rakyat butuh kerja nyata bukan omdo. Meskipun belum menjabat sebagai Wakil Presiden, Anak Lanang memilih kerja dan blusukan, menemui masyarakat di seantero Nusantara.
Sungguh mulia sekali Anak Lanang. Bekerja dengan tulus mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih. Bahwa cara terbaik untuk melayani negeri adalah dengan menjadi Wakil Presiden. Bekerja layaknya wakil presiden secara sukarela, pakai duit pribadi lagi. Jadi terharu…pengen nangis. Biarlah publik menilai Anak Lanang minus gagasan, tidak terlatih dalam hal diskursus publik apalagi hal-hal yang ideologis-filosofis. Anjing menggonggong Anak Lanang berlalu.
Untuk memaparkan gagasan dan debat, publik harus bersabar menunggu sampai penyelenggaraan debat Capres-Cawapres oleh KPU. Toh kalau kemudian penilaian publik terbukti benar, maka sudah terlambat bukan? Karena asumsinya calon pemilih sudah menetapkan pilihan dan hanya sedikit saja yang berubah pilihan.
Ha…ha…ha….rasain lu
Jogetin saja !!!
————
Narasi di atas tentu saja satire tapi terus terang saya geli dengan alasan ngeles perihal Anak Lanang fokus kerja…kerja…kerja, tidak mau hanya berdiskusi apalagi berdebat. Seolah-olah aktivitas diskusi dan debat itu aktivitas sia-sia, membuang-buang waktu dan omong-kosong belaka.
Jargon kerja pun akhirnya menjadi kedok ideologis untuk menutupi defisit wacana publik dari Anak Lanang. Kalau levelnya masih kepala daerah, saya bisa memahami. Butuh ketekunan dan kegigihan seorang CEO untuk mengatasi tantangan dan hambatan di daerahnya.
Untuk level nasional, tidak bisa seperti itu, Bung!
Anda harus punya gagasan mau dibawa ke mana Republik ini, agenda-agenda prioritas apa yang hendak anda kerjakan, lalu sasaran-sasaran strategis apa yang hendak anda capai. Belum lagi respon terhadap isu-isu keberagaman, gender, geopolitik, ketahanan pangan sampai pada keamanan nasional.
Mengelola Negara tentu tidak bisa dibandingkan dengan mengelola daerah apalagi perusahaan. Maka, tuntutan publik itu mestinya dipenuhi apalagi kalau yang meminta sekelas Muhammadiyah.
Kalau yang diutamakan adalah kerja…lha wong melayani warga kota Solo saja tidak sepenuh hati. Belum genap 3 tahun menjadi Wali Kota saja sudah menginginkan mainan baru yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Akan terlihat sangat konyol ketika jargon “kerja dan kerja” secara politik formal, namun progres kinerjanya tidak diakui oleh mayoritas wakil rakyat di kota Solo.
Maka pesan buat Anak Lanang… lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Belajarlah untuk melakukan diskursus publik. Kalau semua diserahkan kepada tim konsultan dan tim pemenangan, mending cawapresnya diganti saja dengan robot AI yang super canggih.
Kalau anda politisi dan publik figur, merasa disakiti dan dikhianati, sebaiknya jangan mengumbar-umbar apalagi mengeksploitasi perasaan sakit hati anda secara berlebihan. Maksud hati ingin mengadu pada rakyat sekaligus merebut simpati publik apa daya malah disyukur-syukurin.
Jadilah politisi yang tegar dan determinatif. Sudahi perasaan perih itu. Hadapi kenyataan. Sebab sebetulnya menghadapi kenyataan itu lebih mudah daripada menghadapi rakyat Indonesia yang masih tipikal rakyat di dunia sinetron yang mengharu biru.
Disclaimer: saya tidak mendukung salah satu Paslon Capres/Cawapres.
Namun saya tetap akan menggunakan hak pilih saya, tidak golput. Saya berpegang pada prinsip Minus Malum, memilih yang kurang buruk di antara yang buruk. Dengan kesadaran bahwa siapapun yang terpilih, Indonesia tidak akan baik-baik saja kalau KKN makin vulgar dan merajalela.
Memilih Presiden ibarat kita memilih nahkoda kapal RI yang di depannya telah menunggu badai Taufan. Celakanya di kapal NKRI itu masih banyak tikus-tikus yang menggerogoti Sumber Daya Negara untuk kepentingan sendiri, keluarga maupun kroni. Jadi Pilpres 2024 bukanlah faktor penentu bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Para Elit politik mencoba meyakinkan kita bahwa Pilpres adalah segala-galanya karena mereka berkepentingan langsung dengan positioning kepentingan mereka dan apakah kepentingan mereka tetap diakomodir pasca pilpres.
Bagi kepentingan demokrasi, skandal MK dan praktek KKN yang menghasilkan Anak Lanang Cawapres tentu menjadi concern saya. Nah bagi kawan-kawan yang telah menetapkan pilihan mendukung salah satu Paslon, saya mengapresiasi. Namun 1 hal yang saya minta meskipun itu sulit, mohon jangan berlakukan 2 pasal yang anti kritik. Pasal 1 : Paslon yang saya dukung selalu benar. Pasal 2 : Apabila Paslon yang saya dukung salah, lihat Pasal 1.