Bila Negara Mengalami Krisis Moral

Foto ini diambil beberapa tahun lalu. Di muka bangunan yang menjadi bagian dari komplek Pabrik Gula Colomadu. Di masa lalu kalau tidak salah bangunan tersebut bagian dari kantor Administratur atau malah rumah dinas Administratur. Saat berfoto itu, bangunan tersebut sudah beralih menjadi Resto di bawah pengelolaan salah satu BUMN. Tidak lama kemudian resto tersebut tutup. Hingga kini bangunan indah tersebut terlihat kosong, dan membuat saya bersedih melihatnya.

Tapi posting ini tidak akan menceritakan hal itu…

Beberapa hari lalu saya menonton serial Gadis Kretek. Selain kisahnya yang mengharukan, saya tertarik pada (tentu saja) bangunan yang dijadikan rumah dan pabrik Kretek Dasiyah. Satu lagi, kebaya hitam yang digunakan Jeng Yah. Foto ini sekadar menyenangkan diri sendiri, membuat saya berasa berada di lokasi pabrik Kretek di Kota M itu.

Bukan maksud saya menyamakan diri dengan Dian Sast. Dian Sast bisa depresi kalau tahu saya yang cuma remahan mercon banting lempem merasa sama dengan dirinya. But the point is….

Gadis Kretek versi movie itu bagus sekali. Jauh di atas Bumi Manusia menurut saya. Jarang ada film Indonesia yang lebih baik dari novelnya. Jangankan melebihi, menyamai saja langka. Termasuk Badai Pasti Berlalu yang bagi saya jauh lebih asyik versi novelnya. Gadis Kretek bukan cuma indah dari segi (apa ya istilahnya) gambar, tapi kisahnya pun alami. Tidak lebay, tidak ada penambahan unsur yang membuat film menjadi terlalu drama seperti dalam Bumi Manusia.

Kisah Gadis Kretek bukan kisah hitam putih. Bukan kisah tentang Iblis dan malaikat. Orang super jahat lawan super baik. Semua tokoh punya sisi baik, punya sisi lemah. Raya dan Seno sama-sama mencintai Dasiyah dengan penuh tanggung jawab. Takdirlah yang belum mampu menyatukan mereka sebagaimana konsep happily ever after. Ada tokoh Pak Jagad yang ambisius, menggunakan segala cara untuk memajukan bisnisnya, tetapi semua kejahatan itu baru ketahuan di penghujung cerita. Kita tidak dihadapkan dengan tokoh Pak Jagad yang berlaku penuh intrik, mengendap-ngendap atau pun kejam terang-terangan sepanjang film. Pak Jagad tampil sama innocent-nya dengan tokoh lain.

Yang paling mencekam saya sebenarnya hanya setting 65-66 dalam film itu. Tahun-tahun ketika negara kita bergolak, dan banyak orang tak bersalah menjadi akibatnya. Perebutan kekuasaan di atas, namun rakyat di bawah yang menjadi korbannya. Sekalipun Pak Jagad dalam kisah tersebut jahat misalnya, tanpa adanya Tragedi 65 kejahatan fitnah Pak Jagad tak akan membawa korban. Keputusan-keputusan politik tidak berkeadilan, tidak berkemanusiaan, makin teramplifikasi dengan adanya tokoh-tokoh di masyarakat dengan kecenderungan jahat seperti Pak Jagad.

Inilah yang paling menakutkan saya. Krisis moral di tataran pengambil kebijakan, bertemu dengan orang-orang biasa berkecenderungan negatif, maka imbasnya adalah bencana bagi banyak masyarakat biasa yang tidak salah apa-apa. Semua vibrasi negatif yang bertemu dan menghasilkan energi negatif baru secara eksponensial.

Itulah yang selalu saya takuti ketika ‘negara’ mengalami krisis moral.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *